Di balik ketenangan Desa Warengi Jati, sebuah tragedi mengoyak rasa aman warganya. Malam itu, seorang penduduk ditemukan tewas dengan cara yang tak masuk akal. Desas-desus beredar, rahasia lama kembali menyeruak, dan bayangan gelap mulai menghantui setiap sudut desa.
Bayu, pemuda dengan rasa ingin tahu yang tak pernah padam, terjebak dalam pusaran misteri ini. Bersama Kevin sahabat setianya yang sering meremehkan bahaya dan seorang indigo yang bisa merasakan hal-hal yang tak kasatmata, mereka mencoba menyingkap kebenaran. Namun semakin dalam mereka menggali, semakin jelas bahwa Warengi Jati menyimpan sesuatu yang ingin dikubur selamanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NonaNyala, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 4: Bayangan Di Rumah Kosong (1)
Malam itu udara Desa Warengi Jati terasa lebih dingin dari biasanya. Kabut tipis menggantung di jalan tanah yang menghubungkan pos ronda dengan deretan rumah tua. Lampu jalan hanya beberapa buah, redup, sebagian mati, menyisakan bayangan panjang dari pepohonan di kanan-kiri jalan. Kevin berjalan agak pelan di belakang Bayu. Napasnya berat, matanya sesekali melirik ke arah rumah kosong yang menjadi bahan omongan warga sejak tadi siang. Bayu, dengan langkah santai dan gaya seenaknya, malah bersiul kecil sambil mengantongi tangan.
“Serius, Bay, gua nggak yakin ini ide bagus,” gumam Kevin dengan suara pelan.
Bayu menoleh sambil nyengir. “Pin, justru kalo bukan ide bagus, itu yang seru. Masa kita kalah sama rumah kosong doang? Lagian lu kan punya kelebihan… siapa tau bisa kepake. Ini kesempatan.”
Kevin mendengus. “Kesempatan? Lu pikir ini film hantu? Dari kecil gua dihantui, lu malah seneng.”
Bayu menepuk bahu Kevin. “Nah itu. Dari kecil lu udah akrab sama mereka. Anggep aja nostalgia. Santai aja, kalo ada apa-apa gua pasang badan.”
Mereka akhirnya berdiri di depan rumah kosong itu. Cat dindingnya mengelupas, jendela-jendela pecah sebagian, tirai robek menggantung seperti tangan-tangan renta yang menjulur ke luar. Pintu kayu kusamnya setengah terbuka, menimbulkan suara berderit setiap kali angin malam menerpa.
Kevin berhenti, matanya menajam. Di dalam, samar-samar ia melihat siluet seorang perempuan berdiri di ujung ruangan. Rambut panjang menutupi wajahnya, bajunya lusuh, warnanya pudar. Bayu tidak melihat apa pun, hanya menunggu dengan tenang.
“Dia ada di sana,” bisik Kevin, suaranya hampir tak terdengar.
“Bagus. Lu liat, gua denger. Lu bilangin apa yang dia lakuin,” jawab Bayu enteng, padahal matanya waspada.
Kevin menggertakkan gigi, menelan ludah, lalu melangkah masuk. Lantai kayu berderit di bawah sepatu mereka. Bau pengap bercampur amis memenuhi hidung Kevin, membuatnya mual. Bayu mengeluarkan senter kecil dari sakunya, sinarnya menyorot dinding penuh lumut dan debu.
Siluet itu bergerak. Perempuan itu berputar, seakan menghindar dari cahaya, lalu menghilang di balik pintu menuju dapur.
“Dia ke belakang,” ujar Kevin.
Mereka mengikuti. Ruangan dapur berantakan: kursi patah, piring pecah berserakan, dan di sudut lantai ada noda hitam kecokelatan yang sudah meresap ke kayu. Kevin menatap noda itu lama.
“Darah,” bisiknya.
Bayu jongkok, menyorot dengan senter. “Udah kering banget. Bisa tahunan ini. Pin, lu yakin?”
Kevin memejamkan mata sebentar, lalu terhenyak ketika suara perempuan itu berbisik langsung di telinganya “Di sini aku mati…”
Kevin mundur cepat, wajahnya pucat. Bayu sigap menahan pundaknya. “Kenapa?”
“Dia… dia bilang di sini dia mati.”
Suasana mendadak senyap. Angin yang tadi berhembus seakan berhenti. Dari atap, suara tikus berlari membuat Kevin kaget setengah mati. Bayu hanya menarik napas panjang.
“Berarti ini bukan sekadar rumah kosong, Pin. Ada sejarah kelam.” Bayu berdiri, menyorot ke langit-langit. “Pertanyaannya, kenapa orang-orang nutupin?”
Kevin menatap sahabatnya, berusaha mengendalikan ketakutan. “Bay, ini serius. Dia nggak diem. Dia pengen sesuatu disampaikan. Gua takut ini bukan akhir, tapi baru awal.”
Bayu menoleh dengan senyum tipis, tapi matanya tajam. “Bagus. Kalo gitu, kita gali. Besok kita cari orang yang tau cerita rumah ini. Mbah Suto mungkin.”
Sebelum keluar, Kevin menoleh sekali lagi. Di ujung dapur, perempuan itu kembali muncul. Kali ini lebih dekat. Wajahnya separuh hancur, seperti bekas luka parah, darah hitam menetes dari sudut bibir. Kevin tercekat. Dia ingin berteriak, tapi suara itu membeku di tenggorokannya. Perempuan itu mengangkat tangan, menunjuk lurus ke lantai tempat noda hitam berada, lalu menghilang.
Bayu menarik Kevin keluar sebelum sahabatnya jatuh pingsan. “Udah cukup buat malam ini. Kalo lama-lama, lu bisa ikut-ikutan jadi penghuni.”
Di luar, angin kembali berembus. Lampu jalan berkelip, seolah hampir padam. Kevin masih gemetar, sementara Bayu menyalakan rokok dengan santai.
“Pin, lu tau nggak?” katanya sambil menghembuskan asap. “Rasanya gua makin yakin… ini bukan hantu iseng. Ini saksi. Saksi pembunuhan.”
Kevin menunduk, tangannya bergetar. “Kalo bener… berarti ada pembunuh yang masih bebas di luar sana.”
Bayu menepuk bahu Kevin pelan, kali ini lebih serius dari biasanya. “Dan kita bakal nyari tau siapa dia.”
Pagi berikutnya, desa Warengi Jati kembali ramai oleh aktivitas warganya. Anak-anak berlari di jalan tanah, ibu-ibu sibuk menjemur pakaian, sementara bapak-bapak duduk di warung kopi kecil dekat sawah. Namun bagi Kevin, suasana cerah itu terasa kontras dengan bayangan yang masih melekat di benaknya. Sepanjang malam tadi ia sulit tidur. Wajah hancur perempuan di rumah kosong itu terus muncul setiap kali ia memejamkan mata. Lebih buruk lagi, telinganya masih terasa dingin akibat bisikan “Di sini aku mati.”
Sementara Kevin termenung di beranda rumahnya, Bayu datang sambil mengunyah gorengan. “Pin! Nih, gua bawain tahu isi. Makan biar nggak pucat kayak orang abis ketemu mantan.”
Kevin hanya melirik lesu. “Bay, ini serius. Dia bukan sekadar muncul. Dia minta sesuatu.”
Bayu duduk seenaknya di kursi bambu, menyilangkan kaki. “Makanya hari ini kita tanya orang yang paling tau sejarah desa ini. Siapa lagi kalo bukan Mbah Suto.”
Kevin mengernyit. “Lu yakin dia mau cerita? Orang tua kayak gitu biasanya lebih suka diem.”
Bayu terkekeh. “Kalo gua yang ngomong, pasti mau. Gua punya trik sendiri.”
Mbah Suto tinggal di ujung desa, di sebuah rumah joglo tua dengan halaman penuh tanaman obat. Orang-orang mengenalnya sebagai tetua bijak, meski ada juga yang bilang beliau menyimpan banyak rahasia.
Akankah kelanjutannya mereka menemukan solusi dari simbah Suto? Biasanya orang tua tak mau bercerita tentang hal rahasia..see you in the next episode...
......**-------------------**...
...
DISCLAMER❗️⚠️
Cerita ini hanya karangan semata jika ada perilaku/kata yang kasar mohon di maafkan. Dan apabila jika ada kesalahan dalam pengetikan kata/typo saya mohon maaf, namanya juga kan manusia mimin juga manusia lohh, jadi mohon dimaklumi ya hehe..
Sekali lagi mimin mengucapkan mohon maaf jika per episode di dalam cerita yang mimin buat terlalu pendek soalnya mimin sengaja membagi agar BAB nya banyak, dan biar kaliannya juga greget hehehe...😜