Sinopsis
Rania, seorang gadis desa yang lembut, harus menanggung getirnya hidup ketika Karmin, suami dari tantenya, berulang kali mencoba merenggut kehormatannya. Belum selesai dari satu penderitaan, nasib kembali mempermainkannya. Karmin yang tenggelam dalam utang menjadikan Rania sebagai pelunasan, menyerahkannya kepada Albert, pemilik sebuah klub malam terkenal karena kelamnya.
Di tempat itu, Rania dipaksa menerima kenyataan pahit, ia dijadikan “barang dagangan” untuk memuaskan para pelanggan Albert. Diberi obat hingga tak sadarkan diri, Dania terbangun hanya untuk menemukan bahwa kesuciannya telah hilang di tangan seorang pria asing.
Dalam keputusasaan dan air mata yang terus mengalir, Rania memohon kepada pria itu, satu-satunya orang yang mungkin memberinya harapan, agar mau membawanya pergi dari neraka yang disebut klub malam tersebut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maple_Latte, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab: 18
"Tuan..." suara lembut Rania menggema di koridor lantai atas, mencari keberadaan Airon di kamarnya. Namun, ruangan luas beraroma maskulin itu kosong. Hanya gorden yang tersibak angin malam, menampilkan siluet kota yang jauh di ufuk.
Rania menuruni tangga dengan langkah perlahan, matanya menyapu setiap sudut ruang tengah. Ada sesuatu yang mendesak ingin ia sampaikan. "Tuan Airon..." panggilnya lagi, lebih keras sedikit.
"Ada apa?"
Suara bariton itu tiba-tiba muncul tepat di belakang telinganya. Rania terlonjak kaget, jantungnya seolah melompat ke tenggorokan. Ia berbalik dengan cepat, dan pemandangan di depannya seketika membuat lidahnya kelu.
Airon berdiri di sana dengan tubuh atletis yang terpampang nyata. Ia tak mengenakan sehelai benang pun di tubuh bagian atasnya. Hanya sehelai handuk putih yang melilit pinggangnya hingga batas lutut. Tetesan air sisa mandi masih mengalir di otot-otot dadanya yang keras, menciptakan kilau di bawah lampu vila yang temaram.
"Ada apa? Kamu mencari saya sampai seperti itu?" tanya Airon lagi. Ia menyadari tatapan Rania yang terpaku pada tubuhnya, meski gadis itu mencoba membuang muka dengan wajah yang merona merah.
"Sa...saya... saya hanya ingin bertanya," Rania terbata, berusaha mengatur napasnya. "Apa Tuan ingin makan malam di rumah? Saya berniat memasak sesuatu."
Airon mengangkat sebelah alisnya. Ia teringat laporan Ergan tempo hari tentang betapa nikmatnya masakan Rania, masakan yang membuatnya terbakar cemburu meski ia tak mau mengakuinya. "Memangnya bahan makanan apa yang tersisa di kulkas?"
"Hanya ikan dan sayur bayam, Tuan. Tapi jika Tuan mau, saya bisa mengolahnya sekarang," ujar Rania dengan binar harapan.
Airon terdiam sejenak. Secara logika, ia bisa memesan makanan dari restoran bintang lima mana pun dalam hitungan menit. Namun, rasa penasaran terhadap "rasa" yang membuat Ergan terkesan jauh lebih besar. "Boleh. Kebetulan saya sedang malas keluar malam ini," ucapnya datar, menutupi alasan sebenarnya.
Rania tersenyum girang. Ini adalah momen pertama kalinya ia diizinkan melayani suaminya dengan masakan rumah. "Baik, Tuan! Saya masak dulu. Jika sudah siap, saya akan memanggil Tuan."
Rania bergegas ke dapur dengan semangat yang meluap-luap. Suara pisau beradu dengan talenan terdengar ritmis. Namun, karena terlalu bersemangat, atau mungkin masih terdistraksi oleh bayangan tubuh Airon tadi, pisau dapur yang tajam itu tergelincir dan mengenai jari telunjuknya.
"Aww!" jerit Rania pelan.
Langkah kaki yang berat segera mendekat. Airon, yang belum sempat mengenakan baju, langsung berlari ke dapur begitu mendengar rintihan istrinya. "Ada apa? Apa yang terjadi?"
"Tidak apa-apa, Tuan," Rania mencoba menyembunyikan tangannya di balik punggung. Ia tak ingin merepotkan pria itu.
"Perlihatkan tanganmu, Rania. Sekarang," perintah Airon dengan tatapan tajam yang tak bisa dibantah. Rania menciut, lalu perlahan menjulurkan tangannya yang bersimbah darah.
Tanpa ragu, Airon menarik tangan Rania. Refleks primitifnya bekerja, ia memasukkan jari telunjuk Rania ke mulutnya untuk menghentikan pendarahan. Rania mematung, wajahnya terasa sangat panas. Sentuhan lidah dan kehangatan mulut Airon di jarinya menciptakan sengatan listrik yang menjalar ke seluruh sarafnya.
"Ini luka kecil, Tuan. Tidak apa-apa," Rania mencoba menarik tangannya dengan canggung.
"Diam. Biarkan saya selesaikan dulu," desis Airon. Setelah darah berhenti, ia mengambil plester luka dari kotak medis dan membalutnya dengan sangat telaten. "Lain kali lebih hati-hati. Jangan ceroboh. Paham?!"
"Iya, Tuan..." sahut Rania patuh.
Rania bermaksud kembali ke meja dapur, namun saat ia berbalik dengan terburu-buru, kakinya tersangkut pada ujung karpet ruang tengah yang tebal. Tubuhnya limbung. Sebelum wajahnya mencium lantai, sepasang lengan kekar menangkap pinggangnya dengan sigap.
Mata mereka bertemu. Jarak di antara mereka terkikis habis. Airon bisa mencium aroma sabun dan bawang yang bercampur dari tubuh Rania, sementara Rania bisa merasakan panas dari kulit dada Airon yang menempel pada wajahnya. Hasrat yang ditahan Airon selama beberapa hari ini mendadak meledak.
"Bagaimana dengan sariawanmu? Apa sudah benar-benar sembuh?" bisik Airon, suaranya kini serak dan berat.
"Su...sudah, Tuan..."
"Bagus," kata Airon. Ia tak memberikan celah bagi Rania untuk bicara lagi. Ia langsung melumat bibir tipis itu dengan buas, menyalurkan segala rasa frustrasi dan kepemilikan yang ia rasakan.
"Mmm... Tuan..." Rania mencoba melepas tautan itu sejenak. "Masakan saya... nanti gosong."
"Biarkan saja," gerutu Airon, bibirnya beralih ke leher Rania.
"Tapi nanti Tuan lapar..."
"Saya lebih lapar kamu daripada makanan," balas Airon tanpa ampun. Ia kembali melahap bibir ranum Rania. Kali ini Rania tak lagi menolak. Ia memejamkan mata, tangannya perlahan melingkar di leher Airon, membalas ciuman suaminya dengan kepolosan yang justru semakin menyulut gairah Airon.
Tepat saat suasana semakin memanas dan Airon mulai kehilangan kendali diri...
Ting! Tong!
Suara bel vila berbunyi nyaring, memecah atmosfer intim diruangan itu. Airon membeku, wajahnya mengeras menahan geram. "Dasar pengganggu!" gerutunya dengan suara rendah yang penuh ancaman.
Rania segera memperbaiki bajunya yang sempat berantakan dengan wajah merah padam. "Tuan, ada tamu..."
"Biar saya saja yang membuka pintunya," Airon melangkah menuju pintu depan dengan napas yang masih memburu. Handuknya masih melilit di pinggang, wajahnya tampak seperti singa yang baru saja diganggu saat sedang makan.
Pintu terbuka lebar. "Selamat malam, Tuan Airon..."
"Ada apa? Kenapa kamu datang malam-malam begini, Ergan?" tanya Airon tajam. Jika tatapan mata bisa membunuh, Ergan mungkin sudah terkubur sekarang.
Ergan tersentak melihat penampilan bosnya yang setengah telanjang dan wajahnya yang terlihat sangat... dongkol. "Maafkan saya, Tuan. Saya datang untuk meminta tanda tangan Anda pada berkas kontrak properti yang harus dikirim besok pagi."
"Apa tidak bisa menunggu besok di kantor?"
"Bukankah tadi di kantor Tuan sendiri yang menyuruh saya mengantarkannya ke sini malam ini karena Tuan tidak mau diganggu di kantor besok pagi?" Ergan mengingatkan dengan wajah polos tanpa dosa.
Airon memijat pangkal hidungnya. Ia merasa dikhianati oleh perintahnya sendiri. "Masuklah," ucapnya menyerah. Hasratnya kini harus mengalah pada tumpukan kertas.
Rania keluar dari dapur, mencoba bersikap normal meski wajahnya masih hangat. "Selamat malam, Ergan."
"Malam, Nyonya Muda," sapa Ergan dengan senyum tulus, yang langsung dibalas senyum manis oleh Rania.
"Sini berkasnya," potong Airon cepat, menyambar dokumen dari tangan Ergan. Ia ingin asistennya ini segera menghilang.
"Ergan, apa mau kopi? Saya sedang di dapur," tawar Rania ramah.
Airon nyaris tersedak ludahnya sendiri. Kopi? Lagi? pikirnya kesal.
"Boleh, Nyonya. Terima kasih banyak," sahut Ergan, yang tampaknya sama sekali tidak menyadari aura gelap yang dipancarkan Airon.
"Kenapa tidak sekalian saja kamu mengajaknya makan malam bersama kita, Rania?" sindir Airon dengan nada sarkastik yang kental.
Rania, dengan kepolosan yang luar biasa, justru menganggap itu sebagai saran yang bagus. "Oh, iya ya, Tuan! Sekalian saja, Ergan. Mari makan bersama, saya sedang memasak sayur bayam dan ikan goreng."
Airon mengusap wajahnya dengan kasar. Rencananya untuk menikmati malam berdua saja kini hancur total.
Ketiganya berakhir di meja makan. Aroma masakan rumah yang sederhana namun menggoda memenuhi ruangan. Airon menatap piring di depannya dengan ragu. Sayur bayam bening dan ikan goreng? Ini bukan makanan yang biasa masuk ke perutnya yang terbiasa dengan menu ala fine dining.
"Tuan Airon biasanya tidak makan menu rumahan seperti ini, Nyonya," celetuk Ergan sambil melahap nasi gorengnya.
"Benarkah? Maaf, Tuan, saya tidak tahu kalau Tuan tidak terbiasa dengan masakan sederhana ini," Rania menatap Airon dengan rasa bersalah.
"Kata siapa saya tidak makan ini?" Airon menepis ucapan Ergan. "Ergan hanya sok tahu."
Airon menyuapkan sesendok nasi dan sayur bayam ke mulutnya. Detik berikutnya, matanya sedikit melebar. Rasanya... sangat mengejutkan. Gurih, segar, dan ada kehangatan yang tak bisa diberikan oleh restoran semahal apa pun. Rasanya seperti. rumah.
"Bagaimana, Tuan?" tanya Rania penuh harap.
"Lumayan. Bisa dimakan," sahut Airon ketus, padahal tangannya dengan cepat kembali menyendok nasi untuk suapan kedua. Ia tak ingin mengakui bahwa ia sangat menyukainya.
Ergan yang melihat itu hanya bisa tersenyum geli. Ia tahu betul bosnya itu sedang berakting. Tampaknya Mr. Arogan benar-benar sudah menemukan pawangnya, batin Ergan puas.
*****
Jangan lupa untuk dukung terus kisah Airon dan Rania dengan klik VOTE/BINTANG, berikan LIKE, dan tuliskan KOMENTAR kalian yang paling seru! Dukungan kalian adalah semangat buat Author. Salam sayang.
masa tangan kanan ga punya rencana 🤦🤦