"Kembalikan benihku yang Kamu curi Nona!"
....
Saat peluru menembus kaki dan pembunuh bayaran mengincar nyawanya, Mora Valeska tidak punya pilihan selain menerima tawaran gila dari seorang wanita tua yang menyelamatkannya untuk mengandung penerus keluarga yang tak ia kenal.
5 tahun berlalu. Mora hidup tenang dalam persembunyian bersama sepasang anak kembar yang tak pernah tahu siapa ayah mereka. Hingga akhirnya, masa lalu itu datang mengetuk pintu. Bukan lagi wanita tua itu, melainkan sang pemilik benih sesungguhnya—Marco Ramirez.
"Benihmu? Aku merasa tak pernah menampung benihmu, Tuan Cobra!" elak Mora, berusaha melindungi buah hatinya.
Marco menyeringai, tatapannya mengunci Mora tanpa ampun. "Kemarilah, biar kuingatkan dengan cara yang berbeda."
Kini, Mora harus berlari lagi. Bukan untuk menyelamatkan diri sendiri, tapi untuk menjaga anak-anaknya dari pria yang mengklaim mereka sebagai miliknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kenz....567, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kejaran Marco
Aroma lili memenuhi rongga hidung Mora, memberikan sedikit ketenangan di tengah hari yang sibuk. Ia baru saja menyelesaikan pesanan karangan bunga terakhir untuk hari itu. Sambil menyeka keringat di pelipisnya, Mora duduk di kursi kayu kecil di sudut ruang istirahat, meraih ponselnya yang berkedip menandakan pesan masuk.
Senyum tipis terbit di bibirnya saat melihat layar ponsel. Itu pesan suara dan sebuah foto dari putrinya. Di foto itu, Rakael terlihat tertawa lebar dengan pipi gembilnya yang memerah, sedang berj0ngk0k di halaman rumah sambil mengelus seekor kucing liar belang tiga. Kucing itu tampak pasrah, sementara Rakael terlihat begitu antusias.
Mora memutar pesan suara dari Vier. "Cepat pulang, Mom. Pisahkan mereka segera. Aku muak lihatnya. Bulunya bisa terbang kemana-mana, itu kotoooor!" suara Vier terdengar ketus namun menggemaskan, khas gaya bicaranya yang sok dewasa.
Mora terkekeh pelan, menggelengkan kepalanya. "Entah mengapa anak itu tak suka kucing, padahal kucing itu sangat lucu. Sifatnya terlalu kaku, sementara adiknya selalu gemas dengan apapun yang bernapas. Hais, ada-ada saja kelakuan si kembar."
Mora bangkit dari duduknya, berniat mengisi ulang botol minumnya di dispenser yang terletak di dekat area kasir sebelum bersiap pulang. Hatinya terasa ringan, membayangkan akan segera memeluk kedua buah hatinya.
Kringgg!
Lonceng di atas pintu berbunyi nyaring, menandakan pelanggan masuk. Mora yang sedang membelakangi pintu, sibuk menekan tuas dispenser, tidak langsung menoleh. Ia pikir itu hanya pelanggan biasa yang mencari bunga mawar satuan.
"Selamat sore! Ada yang bisa saya bantu?" Siska, rekan kerjanya yang berdiri di dekat rak anggrek, menyapa dengan nada ceria dan senyum lebar yang sudah terlatih.
Namun, senyum Siska perlahan memudar ketika melihat siapa yang datang. Tiga orang pria, satu pria berwajah tampan yang sering menggoda Mora, Xyro. Di sebelahnya, seorang pria lain yang tampak seperti asisten dengan wajah lelah. Dan di tengah mereka ... berdiri seorang pria dengan aura yang begitu gelap dan mendominasi hingga membuat udara di dalam toko bunga itu terasa menipis.
"Saya mencari seorang pencuri," suara berat dan dingin itu terdengar, memotong keheningan toko. "Di mana dia?"
Tubuh Mora membeku. Suara itu ... itu bukan suara pelanggan biasa. Itu adalah suara yang ia kenal. Jantung Mora seolah berhenti berdetak detik itu juga. Botol minum di tangannya nyaris terlepas. Dengan gerakan patah-patah yang dipenuhi ketakutan murni, kepalanya perlahan menoleh ke belakang.
Pupil matanya melebar sempurna. Di sana, berdiri Xyro, Jack, dan Marco Ramirez. Pria pemilik benih yang ia kandung. Pria yang ia hindari m4ti-m4tian selama bertahun-tahun. Waktu seolah berhenti berputar, dunia di sekeliling Mora terasa runtuh.
"Pencuri?" tanya Siska bingung, matanya berpindah-pindah antara ketiga pria itu. "Maaf Tuan, kami tidak ...,"
Xyro yang terlihat canggung segera menyela, "Em, begini, Nona. Teman saya ini sedang mencari ... pencuri benih-nya. Dia temanmu yang saya taksir itu loh, siapa namanya ... eum, yang cantik itu, dia—"
Kalimat Xyro terputus saat matanya menangkap pergerakan di sudut ruangan. Ia melihat Mora yang sedang berusaha mengendap-ngendap menuju pintu belakang, wajahnya pucat pasi seperti mayat.
Mata Xyro membulat. Ia menunjuk lurus ke arah Mora dengan jari telunjuknya yang gemetar.
"ITU DIA! MARCO, ITU DIA!" teriak Xyro lantang.
Marco mengikuti arah telunjuk Xyro. Tatapannya yang tajam bak elang langsung mengunci sosok Mora. Detik itu, insting berburu Marco bangkit.
"Berhenti!" geram Marco.
Mora tidak menunggu sedetik pun. Ia menyambar tasnya yang tergeletak di meja dan berlari sekencang mungkin menuju pintu belakang, menabrak beberapa ember berisi bunga krisan hingga tumpah berserakan di lantai.
"KEJAR!" perintah Marco. Ia berlari menerobos masuk, melompati meja kasir dengan tangkas.
Mora membanting pintu belakang hingga terbuka, berlari menyusuri gang sempit yang becek. Napasnya memburu, d4danya terasa sakit saking kencangnya jantungnya memacu adrenalin. Ia tidak boleh tertangkap. Jika tertangkap, habislah sudah. Anak-anaknya akan diambil.
"BERHENTI! BERHENTI ATAU AKU HILANGKAN KAKIMU!" teriak Marco dari kejauhan, suaranya menggema di lorong gang.
Mora tidak peduli. Ia terus berlari hingga mencapai jalan raya yang ramai. Matanya liar mencari kendaraan.
"Taksi! Taksi!" teriak Mora histeris sambil melambaikan tangan.
Sebuah taksi biru melambat. Tanpa menunggu mobil itu berhenti sempurna, Mora membuka pintu dan melompat masuk.
"Pak, tolong jalan! Cepat! Ada orang jahat mengejar saya! Cepat!" seru Mora dengan napas tersengal, wajahnya basah oleh keringat dingin.
Sopir taksi yang kaget melihat kepanikan penumpangnya langsung menginjak gas, membawa mobil itu melesat membelah kemacetan sore.
Di trotoar, Marco, Xyro, dan Jack baru saja keluar dari gang. Marco menggeram marah melihat taksi itu menjauh. Tanpa pikir panjang, ia berbalik dan berlari menuju mobil sedan hitamnya yang terparkir tak jauh dari sana.
"Masuk mobil!" bentak Marco pada kedua temannya.
Xyro yang masih ngos-ngosan langsung masuk ke kursi penumpang depan tanpa curiga. Namun, Jack berhenti di trotoar. Ia menatap mobil Marco, lalu menatap jalanan.
"Ayo Jack! Cepat masuk, b0d0h!" seru Xyro gemas dari dalam mobil.
Jack meringis, menggelengkan kepalanya. "Duluan saja. Tuan sedang dalam mode membvnuh, aku tidak mau m4ti muda di dalam mobil itu," tolak Jack cerdas.
Belum sempat Xyro memprotes, Marco sudah menginjak pedal gas dalam-dalam. Ban mobil berdecit nyaring, meninggalkan asap putih dan bau karet terbakar. Tubuh Xyro terhentak keras ke sandaran kursi.
Wajah Xyro berubah pucat pasi. Ia menatap spion dan tidak lagi melihat bayangan Jack. Kini ia tahu kenapa asisten temannya itu menolak ikut. Ia terjebak bersama singa yang sedang mengamuk.
"Marco ... Marco ... kamu tahu kan aku masih single? Aku belum pernah menikah, aku ... tolong pelankan mobilnya! Kita bisa m4ti!" seru Xyro sambil mencengkeram pegangan tangan di atas pintu erat-erat, matanya terpejam rapat.
Marco tidak menggubris. Matanya fokus ke depan, memburu taksi biru dengan nomor plat yang sudah ia hafal dalam sekejap mata tadi. "Diam atau kulempar kau keluar," desis Marco dingin.
Sementara itu, di dalam taksi, Mora terus menoleh ke belakang. Jantungnya serasa mau copot saat melihat sebuah mobil sedan hitam meliuk-liuk di antara kendaraan lain, mendekat dengan kecepatan yang tidak wajar.
Mora mencondongkan tubuhnya ke depan, mencengkeram jok sopir. "Pak, mobil hitam di belakang itu mengikuti kita. Tolong, Pak! Tolong hindari dia. Nyawa saya terancam. Saya akan bayar berapapun!" ucap Mora dengan suara bergetar menahan tangis.
"Baik, Mbak. Pegangan!" balas sang sopir. Merasa iba dan tertantang, sopir taksi itu membanting setir, mengambil jalur busway, lalu berbelok tajam ke jalan-jalan tikus yang sempit untuk memutus pengejaran.
Setelah lima belas menit yang menegangkan, Mora tak lagi melihat mobil hitam itu di spion. Ia menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi, menghela napas panjang meski tangannya masih gemetar hebat. Ia berhasil lolos. Untuk saat ini.
Dengan tangan gemetar, Mora merogoh ponselnya. Ia menekan nomor ibunya, Kirana.
"Ma ... Halo, Ma!" sapa Mora begitu telepon diangkat. Suaranya pecah.
"Halo, Mora? Kenapa suaramu begitu, Nak?" suara Kirana terdengar khawatir di seberang sana.
"Ma, dengarkan aku. Siapkan baju Mama dan anak-anak. Sekarang. Jangan tanya kenapa. Masukkan ke koper, ambil yang penting saja. Kita pergi sekarang. Kita pergi malam ini juga," ucap Mora cepat, air mata mulai mengalir di pipinya. "Pria itu ... dia tahu tempat kerjaku. Dia mengejarku, Ma. Dia sudah tahu."
Hening sejenak, lalu terdengar suara Kirana yang tegas namun panik. "Astaga ... baik, Mama siapkan sekarang. Kamu hati-hati di jalan."
Mora mematikan telepon dan menggigit kukunya, kebiasaan lamanya saat panik kambuh lagi. Pikirannya kacau. Kemana mereka harus lari? Stasiun? Bandara? Tidak, bandara terlalu berisiko.
Sesampainya di depan rumah, Mora melempar beberapa lembar uang ratusan ribu tanpa meminta kembalian. Ia berlari masuk ke dalam rumah, mengunci pintu, dan menutup gorden. Ia pikir ia aman karena berhasil menghilangkan jejak mobil Marco.
Namun, tanpa ia sadari, sebuah ojek motor baru saja berhenti di ujung jalan, tersembunyi di balik pohon besar. Jack turun dari ojek itu, membuka helmnya perlahan. Matanya menatap tajam ke arah rumah yang baru saja dimasuki Mora. Jack tidak mengikuti taksi itu lewat jalan utama, ia menggunakan aplikasi pelacak plat nomor taksi yang ia retas dari sistem perusahaan taksi tersebut.
Jack mengeluarkan ponselnya, menghubungi Marco. "Halo, Tuan ... saya sudah dapat alamat wanita itu. Dia masuk ke rumah di Jalan Anggrek," lapor Jack dengan nada pelan.
"Share location, Jack! Si4lan, aku kehilangan jejak taksi itu!" teriak Marco dari seberang telepon.
"Baik, Tuan. Segera meluncur," balas Jack, lalu mengirimkan koordinat lokasi.
Walau terkesan santai, tp Raka jeli
Itu bagus
Tau & kelak bergerak dlm senyap
Bkn mengawal...tp mengawasi !
Pacti celuuu nyanyi baleenngg 😆😆
Suruhan siapa lagi ini