NovelToon NovelToon
Jodoh Ku Sepupuku

Jodoh Ku Sepupuku

Status: sedang berlangsung
Genre:Cerai / Keluarga / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Cinta Seiring Waktu / Romansa
Popularitas:5.1k
Nilai: 5
Nama Author: Ann,,,,,,

Menikah dengan seseorang yang tumbuh bersama kita sejak kecil—yang rasanya sudah seperti saudara kandung sendiri—namun harus terpaksa menikah dengannya. Itulah yang kualami.

Namaku Alif Afnan Alfaris, seorang arsitek.
Sedangkan dia, Anna Maida, adalah adik sepupuku sendiri. Sepupu, kata ayahku, sudah sah untuk dinikahi—alasannya demi mendekatkan kembali hubungan darah keluarga. Namun sungguh, tak pernah sedikit pun terlintas di benakku untuk menikah dengannya.

Hubungan kami lebih mirip Tom and Jerry versi nyata. Setiap bertemu, pasti ribut—hal-hal kecil saja sebenarnya. Dia selalu menolak memanggilku Abang, tidak seperti sepupu-sepupu yang lain. Alasannya sederhana: usia kami hanya terpaut satu hari.

Anna adalah gadis cerdas yang menyukai hidup sederhana, meski ayahnya meninggalkan warisan yang cukup banyak untuknya. Ia keras kepala, setia, penyayang… dan menurutku, terlalu bodoh. Bayangkan saja, ia mau dijodohkan dengan pria yang sama sekali tidak ia kenal, di usia yang masih sanga

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ann,,,,,,, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

sisi rapuh Anna

“Dari mana, Nak?”

Om Rusli berdiri. Tangannya mencengkeram bahu Anna—erat, tapi bergetar. Bukan kasar, melainkan seperti seseorang yang sedang menahan sesuatu yang besar agar tidak meledak. Dari raut wajahnya, aku bisa menebak… amarahnya sedang ditahan mati-matian.

Anna menatap paman sekilas.

Lalu tubuhnya melemas.

Ia jatuh berlutut tepat di hadapan Om Rusli.

Tangisnya pecah. Bukan isak pelan, tapi sesenggukan yang keluar dari dada—mentah, jujur, menyakitkan untuk dilihat. Tangis yang selama ini ia simpan rapat-rapat akhirnya runtuh di satu titik: di depan adik kandung ayahnya.

Dadaku ikut terasa sesak.

Selama ini aku mengenal Anna sebagai perempuan yang selalu tegak. Tenang. Keras kepala. Bahkan saat dunia seolah runtuh, dia tetap berdiri seperti tidak terjadi apa-apa.

Tapi sekarang?

Ia menangis seperti anak kecil yang akhirnya pulang setelah terlalu lama menahan sakit sendirian.

“Maaf, Paman…” suaranya patah. “Anna gagal…”

Om Rusli membeku.

Sesaat, aku pikir amarahnya akan tumpah. Tapi yang terjadi justru sebaliknya—tangan besar itu bergerak, mengangkat tubuh Anna dari lantai, menariknya ke dalam pelukan.

Pelukan seorang ayah.

Bahu Om Rusli bergetar. Rahangnya mengeras, matanya memerah, tapi suaranya tetap ditahan saat ia berkata pelan, nyaris berbisik,

“Kamu bukan gagal, Nak…”

Aku menunduk. Tenggorokanku tercekat.

Untuk pertama kalinya aku sadar—

bukan cuma Anna yang terluka hari ini.

Seorang paman juga sedang patah hati,

karena tak bisa melindungi anak yang ia anggap darah dagingnya sendiri.

Mace segera bergerak. Dengan sigap ia menghampiri Bian dan Ayyan, menepuk lembut pundak mereka.

“Ayo, Nak. Ikut Nenek ke dapur,” ajaknya dengan suara hangat, seolah tak ada apa-apa yang perlu mereka khawatirkan.

Kedua bocah itu menuruti, meski beberapa kali menoleh ke arah ibunya. Pintu ditutup pelan, menyisakan ruang keluarga yang tiba-tiba terasa sunyi dan berat.

Aku masih terpaku di tempatku. Kakiku seperti tertanam di lantai. Ingin mendekat, tapi rasanya ini bukan ruangku. Ini ruang luka yang terlalu sakral.

Tangis Anna perlahan mereda, tinggal isak pendek yang tersangkut di dadanya. Om Rusli menuntunnya duduk di sampingnya. Tangannya yang besar dan kekar menggenggam kedua telapak tangan Anna—erat, hangat—seakan ingin menyalurkan seluruh kekuatan yang ia punya.

Telapak tangan itu masih bergetar.

“Anna,” suara Om Rusli lebih lembut dari yang pernah kudengar, “ayo cerita, Nak. Paman di sini.”

Ia mencondongkan tubuh, menatap wajah Anna dengan penuh keyakinan.

“Kau putriku. Kau singa kecil kami,” katanya tegas namun penuh kasih. “Bukan. Bukan lemah.”

Anna menunduk, air matanya jatuh ke punggung tangan mereka yang saling bertaut.

“Dalam darahmu mengalir darah seorang perajut,” lanjut Om Rusli. “Kamu itu tangguh, Nak. Sejak kecil kamu tahu caranya bertahan.”

Dadaku bergetar mendengarnya.

Aku baru paham sekarang—

kenapa Anna bisa setenang itu,

kenapa ia memilih diam,

kenapa ia berdiri tanpa meminta dikasihani.

Karena sejak kecil, ia dibesarkan untuk kuat.

Dan hari ini, untuk pertama kalinya, ia diizinkan… untuk lelah.

Aku membawa Ayyan dan Bian ke kamar tamu. Dua bocah itu menurut tanpa banyak tanya—mungkin mereka sudah terlalu sering belajar diam. Setelah memastikan mereka terlelap, aku keluar sebentar.

Mace sudah tidak terlihat. Sepertinya beliau masuk ke kamar Anna, menemani sepupuku yang malam itu akhirnya runtuh setelah terlalu lama berdiri tegak.

Sementara Om Rusli…

beliau tidak tidur.

Aku melihatnya duduk di sofa ruang keluarga, punggungnya tegak seperti patung penjaga. Di meja, beberapa cangkir kopi kosong berjejer, dan di asbak—penuh puntung rokok.

Aku terdiam di ambang pintu.

Aku tidak tahu sejak kapan beliau merokok. Seingatku, Om Rusli bukan perokok. Setidaknya, tidak pernah di depanku. Dan malam itu… adalah pertama kalinya aku melihatnya seperti ini.

Sendirian. Diam. Marah—pada dirinya sendiri.

Asap rokok melayang pelan, bercampur dengan bau kopi pahit dan udara malam yang berat. Seolah tiap puntung itu adalah kegagalan yang ia hisap, satu per satu.

Aku tidak mendekat.

Ada luka yang tidak butuh ditanya.

Ada amarah yang lebih aman dibiarkan reda sendiri.

Malam itu, aku sadar—

kalau seorang lelaki seteguh Om Rusli saja bisa runtuh tanpa suara,

maka luka Anna bukan hal kecil.

Jam empat subuh, kami berangkat ke masjid.

Aku, paman, dan kedua keponakanku melangkah keluar rumah saat langit masih gelap, udara dingin menyelinap ke kulit. Dari dapur, suara aktivitas mace terdengar pelan—beliau sudah sibuk sejak tadi, seolah dengan memasak ia bisa menenangkan pikirannya.

Anna…

aku tidak tahu dia di mana. Tidak terlihat sejak tadi.

Paman menggendong Ayyan dengan satu lengan, sementara tangan satunya menggenggam tangan Bian. Aneh—atau mungkin tidak—Bian menurut saja diperlakukan seperti anak kecil. Tidak menolak, tidak bersikap dingin seperti biasanya. Seolah di dekat paman, ia merasa aman untuk sekadar menjadi cucu.

Aku berjalan di belakang mereka.

Melihat punggung paman yang tegap, dua anak kecil di sisinya, hatiku terasa penuh sekaligus sesak. Langkah kami pelan, hanya suara sandal yang beradu dengan aspal dan desah napas di subuh yang hening.

Dalam diam itu, aku berpikir—

keluarga memang tidak selalu menyelesaikan masalah,

tapi setidaknya, mereka memastikan kita tidak menghadapinya sendirian.

Dan pagi itu, di bawah langit yang belum sepenuhnya terang, aku tahu…

apa pun yang menunggu setelah matahari terbit,

kami akan menghadapinya bersama.

Dan besok…

akan jadi hari yang panjang.

1
Dew666
🍭🔥
Ann: terimakasih banyak 🙏🙏🙏
total 1 replies
DEWI MULYANI
cerita sebagus ini kok gak ada yg baca sih
semangat thor
Ann: terimakasih 🙏🙏🙏
total 3 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!