Sagala terkejut bukan main saat tetangga depan rumah datang menemuinya dan memintanya untuk menikah dengan putri mereka secepatnya. Permintaan itu bukan tanpa alasan.
Sagala mendadak pusing. Pasalnya, putri tetangga depan rumah adalah bocil manja yang baru lulus SMA. Gadis cerewet yang sering mengganggunya.
Ikuti kisah mereka ya. Ketika abang adek jadi suami istri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon F.A queen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pernikahan Diujung Waktu
Saat Sagala dan Annisa datang. Sudah ada kedua orang tua Sagala di sana, Bu Yuni dan Pak Karta. Lalu berapa orang yang Sagala tidak tahu siapa.
Annisa segera berlari ke ruangan itu.
Ruangan itu dipenuhi kesunyian yang menyesakkan. Hanya suara alat medis yang berbunyi pelan, beriringan dengan tarikan napas lemah seorang wanita tua yang terbaring di ranjangnya. Nenek Annisa.
Annisa duduk di sampingnya, jemarinya menggenggam tangan rentanya yang terasa semakin dingin. Air matanya terus mengalir, tapi tak ada suara yang keluar dari bibirnya. Ia takut. Takut kehilangan sosok yang ia sayangi.
Sagala berdiri di sudut ruangan. Rahangnya mengeras, dadanya terasa sesak melihat pemandangan itu.
Nenek Annisa sudah tidak bisa bicara lagi. Matanya terpejam. Nafasnya pendek. Namun genggamannya, meski lemah, cukup kuat untuk membuat Annisa mengerti.
Nenek ingin melihatnya menikah sebelum pergi. Annisa menggelengkan kepala pelan, tangisnya semakin deras. "Nenek... jangan tinggalkan aku..." Suaranya pecah.
Pak Suprap menghela napas berat. Mengusap punggung putrinya dengan lembut mencoba menenangkan. Sementara Bu Hanifah menangis diam si samping Annisa.
Tubuh Annisa bergetar. Sebenarnya, hatinya belum siap untuk menikah tapi bagaimana bisa ia menolak keinginan terakhir wanita yang telah merawatnya dengan penuh kasih sayang?
Sagala melangkah mendekat. Sorot matanya tajam, tetapi di balik ketenangannya, ada sesuatu yang bergejolak di dalam dirinya. Ini keputusan besar. Pernikahan bukanlah sesuatu yang seharusnya terjadi dalam keadaan seperti ini.
Tapi melihat Annisa yang menangis dengan tatapan penuh luka, keadaan nenek, kesedihan keluarga ini, ia tahu… tidak ada jalan lain. Sagala menatap gadis itu dalam-dalam. "Nisa, kamu yakin?" Dia bertanya sendiri pada Annisa.
Annisa mendongak, menatap Sagala dengan mata nanar dan air mata yang belum berhenti mengalir. Lalu, pelan, ia mengangguk.
Dengan suara berat, Sagala berlutut di samping nenek Annisa, menggenggam tangan wanita tua itu dengan penuh hormat. "Nek, ini Sagala, restui kami. Saya janji akan menjaga Annisa dengan sangat baik."
Diiringi isak tangis, akad nikah itu berlangsung sederhana. Sagala mengucapkan ijab kabul dengan suara tegas, sementara Annisa hanya bisa menunduk, menahan getaran di tubuhnya. Saat cincin itu melingkar di jarinya, nenek Annisa menggerakkan jemarinya pelan, seolah berusaha menggenggam tangan cucunya untuk terakhir kalinya.
Beberapa jam kemudian, wanita tua itu menutup mata untuk selamanya.
Dan di hari pertama pernikahannya, Annisa menangis lebih lama dari yang pernah ia lakukan seumur hidupnya.
*** @ ***
Nenek sudah dikebumikan sore tadi. Namun rumah duka masih dipenuhi pelayat. Beberapa kerabat duduk di ruang tamu, berbicara pelan agar suasana tetap khidmat. Namun, di pojokan ruangan, Annisa masih saja terisak. Tangannya memegang erat foto sang nenek yang tadi siang ia cium penuh haru.
"Sudahlah, Nak… yang pergi sudah tenang di sana," ujar salah satu bibinya, menepuk pundaknya dengan lembut.
Namun, bukannya mereda, tangis Annisa justru semakin pecah. Hatinya terasa kosong. Sakit.
Sejak tadi, Sagala duduk jauh darinya. Tak ikut campur, tak ikut menenangkan. Dia hanya mengamati dengan diam.
Beberapa kali para saudara mencoba menghibur Annisa, membujuk gadis itu agar istirahat, tapi Annisa tetap terisak, menolak melepas kesedihannya.
Sagala menghela napas pelan. Akhirnya, setelah sekian lama hanya memperhatikan, ia melangkah masuk. Dengan tenang, ia berjalan ke arah Annisa.
Tanpa sepatah kata pun, Sagala menarik pelan tangan istrinya itu, membuat Annisa menoleh menatapnya dengan mata sembab.
"Abang…" suaranya parau.
Sagala mengangguk. "Ikut, Abang," ucapnya. Dengan gerakan lembut namun tegas, ia membantu Annisa berdiri. Lalu, tanpa meminta izin siapa pun, ia membawa Annisa pergi melewati pintu samping rumah.
Langkah Sagala mantap, seolah tahu persis ke mana harus membawa Annisa. Gadis itu tak melawan, hanya menurut sambil terisak pelan, membiarkan dirinya dipandu oleh pria yang kini resmi menjadi suaminya.
Mereka melangkah keluar dari rumah duka, menuju rumah Sagala yang sudah terlihat di depan mata. Tanpa banyak bicara, tanpa banyak tanya.
Hanya ada keheningan malam dan suara tangis Annisa yang masih tersisa.
🌱🌱🌱
Catatan Penulis.
Jangan lupa masukin novel ini ke rak kalian ya.
😁😁😁
tiati lho bang gala nanti kalo Nisa gak manja lagi ke Abang,Abang yg kelimpungan lho🤣