Lin Zhiyuan, adalah pemuda lemah yang tertindas. Ia menyelam ke kedalaman Abyss, jurang raksasa yang tercipta dari tabrakan dunia manusia dan Dewa, hanya untuk mendapatkan kekuatan yang melampaui takdir. Setelah berjuang selama 100.000 tahun lamanya di dalam Abyss, ia akhirnya keluar. Namun, ternyata hanya 10 tahun terlalui di dunia manusia. Dan saat ia kembali, ia menemukan keluarganya telah dihancurkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SuciptaYasha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
9 Kegelisahan Keluarga Wang
Sedangkan:
Aula besar keluarga Wang dipenuhi hawa mencekam—lebih pekat dari kabut kematian di luar. Obor-obor raksasa yang biasanya bersinar terang kini bergetar, seolah ikut gentar. Dinding emas dan relief naga yang biasanya tampak megah kini terasa seperti saksi bisu dari bencana tak terlihat.
Patriark Wang duduk di singgasana tinggi, matanya merah dan tatapannya tajam seperti pedang yang nyaris keluar dari sarungnya. Di bawahnya, puluhan tetua serta para komandan berdiri kaku. Tak ada yang berani bernapas terlalu keras.
“Para penjaga sumur.” Suaranya dalam, bergemuruh. “Maju.”
Empat pria dengan seragam penjaga spiritual berjalan maju, tubuh mereka gemetar hebat. Keringat dingin membasahi pelipis mereka.
“Katakan... apakah ada sesuatu yang mencurigakan semalam, sebelum sumur spiritual mengering?”
Hening.
Lalu—
DUG!
Keempat penjaga itu menjatuhkan diri bersujud hingga wajah mereka mencium lantai marmer.
“Pa-Patriark! Ampuni kami! Kami tidak sengaja!”
“B–bukan maksud kami lalai—!”
“Kami—kami tidak tahu apa yang terjadi—!”
Mereka menggigil, suara mereka pecah oleh ketakutan. Tetua-tetua saling melirik, wajah mengeras. Patriark Wang menggertakkan gigi, suaranya meledak bagaikan guruh:
“Apa kalian masih berani menyebut diri kalian penjaga sumur spiritual keluarga Wang?!”
Penjaga pertama memukul lantai, hampir menangis. “Kami… kami tidak sempat melihat apapun, Tuan! Kami… pingsan!”
Aula menjadi sunyi. Sangat sunyi. Bahkan suara nafas tercekat terdengar jelas.
Salah satu tetua mengangkat tangan, meredakan suasana. “Pingsan? Bagaimana bisa?”
Penjaga kedua menelan ludah keras-keras. “Ada… kabut, Tuan…”
“Kabut merah.” Penjaga ketiga menambahkan dengan suara serak. “Kami menghirupnya… lalu mata kami berat… dan…”
“M–mendadak semuanya gelap.” Penjaga keempat menggigil. “Saat kami bangun, sumur sudah mati. Dan kota sudah kacau.”
Hening jatuh lagi.
Kabut merah. Kata itu masih tergantung di udara, memotong nalar semua orang. Patriark Wang berdiri pelan—gerakannya sederhana, tapi tekanan aura yang keluar membuat sebagian penjaga hampir pingsan kembali.
“…Kabut merah?” suaranya rendah, seperti magma yang siap meletus kapan saja. “Sihir macam apa yang mampu menyelimuti seluruh kota tanpa terdeteksi?”
Kata “sihir” saja sudah cukup membuat beberapa tetua saling melirik dengan gelisah.
Salah satu penatua menunduk dalam, suaranya penuh hormat sekaligus ketakutan. “Ini bukan teknik dari dunia fana… ini pasti ulah kultivator pada tingkat yang sangat tinggi.”
“Lebih tinggi dari ranah Kaisar Alam?” Patriark Wang bergumam dingin.
Tidak ada yang menjawab.
Jawabannya terlalu menakutkan untuk diucapkan.
Akhirnya, Patriark Wang mengalihkan tatapan pada para penjaga gerbang.
“Kalian.” Suaranya bagaikan pedang yang mengiris jiwa. “Apa ada orang mencurigakan yang memasuki kota kemarin?”
Penjaga gerbang awalnya tampak akan menjawab “tidak”. Namun tiba-tiba wajah mereka berubah pucat. Tangan dan bibir mereka bergetar.
“A… ada, Tuan Patriark.”
Seluruh aula menoleh ke arahnya.
“Dua orang berkerudung hitam,” katanya lirih. “Kami tidak melihat wajah mereka. Mereka berjalan pelan… tenang… seakan… seakan kota ini hanya semut di bawah kaki mereka.”
Patriark Wang mengepalkan tangan, urat-urat menonjol di lengan. “Dua orang… berkerudung hitam. Itu mereka...”
Bisikan itu menggema di dalam aula—penuh kepastian dan teror.
Seolah baru teringat oleh sesuatu yang janggal, Patriak Wang kemudian menoleh kearah penatua di sampingnya.
“Penatua Mo,” suaranya rendah dan berat, “Apakah putraku, Wang Qiang, sudah kembali ke kota?”
Penatua Mo, pria tua berumur tujuh puluh lebih dengan janggut perak panjang, menunduk hormat. Ia tampak ragu sejenak sebelum menjawab.
“Belum, Patriark.”
Alis Patriark Wang langsung berkerut.
Penatua Mo menelan ludah, suaranya sedikit menurun.
“Setelah mendapat kabar bahwa salah satu anggota Keluarga Lin yang menghilang selama sepuluh tahun itu telah kembali… Tuan Muda Wang Qiang langsung berangkat bersama para pengawal elit. Mereka menuju Kota Linzhang, namun…”
Ia berhenti sejenak. “…Sampai sekarang belum ada kabar dari mereka,” lanjutnya.
Aula menjadi dingin seperti es di dasar jurang. Patriark Wang perlahan membuka matanya, sinar tajam memancar dari tatapannya.
“Anggota keluarga Lin… yang hilang sepuluh tahun lalu…” ia bergumam pelan. “Satu-satunya yang hilang selama itu hanya…”
“Lin Zhiyuan,” jawab Penatua Mo lirih, menunduk lebih dalam. “Anak keluarga Lin yang dikabarkan tak dapat berkultivasi.”
Nama itu bergulir di udara seperti belati berlumur darah. Hening. Sangat hening.
Patriark Wang menyandarkan diri ke singgasananya, wajahnya berubah dari keheranan menjadi penghinaan datar.
“Lin Zhiyuan?” ia mendengus pelan. “Anak sampah itu? Dia bahkan tidak mampu membuka meridian dasar. Anak seperti itu bisa dibunuh oleh Qiang'er sambil minum teh.”
Ia mengusap dagunya, namun fikirannya bergerak cepat. "Tapi kenapa dia belum kembali?"
Patriark Wang menggeleng pelan, mengusir pikiran buruk itu. Sekarang, ia punya masalah yang lebih penting daripada mengkhawatirkan putranya yang sudah dewasa.
Ia kemudian menatap para penjaga dan berkata dengan lantang: “Kerahkan seluruh prajurit kita! Periksa semua penginapan dan rumah warga, temukan kedua orang berkerudung hitam itu. Tidak peduli siapa mereka—dunia akan tahu bahwa keluarga Wang bukan mangsa sembarangan.”
Para penjaga dan tetua mengangguk, meski wajah mereka pucat.
Namun satu hal memenuhi pikiran semua orang—tak ada yang berani mengatakannya… tapi semua tahu. Jika orang misterius itu bisa mengeringkan energi satu kota semudah menguap segelas teh, maka keluarga Wang…Mungkin hanya seekor semut bagi mereka.
....
Tak lama kemudian, Kota Wangzen bergemuruh—bukan oleh perang, melainkan kecemasan. Prajurit dan mata-mata keluarga Wang tersebar di setiap sudut kota, meneriakkan perintah, memeriksa wajah demi wajah untuk menemukan pelaku dibalik kekeringan yang melanda kota.
Di antara hiruk-pikuk itu, dua sosok berkerudung hitam berjalan dengan santai, Zhiyuan dan Jinzu. Lebih tepatnya hanya Zhiyuan yang tampak santai, sementara Jinzu telah bermandikan keringat.
Zhiyuan mencicipi sepotong sate kambing, mengunyah perlahan dengan mata tertutup, menikmati rasa seolah dunia tak sedang memburu dirinya.
“Aneh…” ia bergumam ringan. “Di Abyss, daging monster terasa seperti besi karat. Tapi ini… ah, daging ini benar-benar hidup.”
Penjual sate yang gemetar hanya bisa menelan ludah. Zhiyuan tersenyum lembut padanya, senyum yang seharusnya memberi rasa aman, namun entah bagaimana malah membuat kulit merinding.
“Kau baik,” ucapnya tenang. “Kalau kau pergi dari kota ini sebelum fajar besok… Maka kau dan keluargamu tidak akan merasakan penderitaan.”
Penjual itu membeku, tak berani menjawab.
Dari satu kedai ke kedai lainnya, Zhiyuan belanja tanpa sepeserpun uang, ia hanya memberi wejangan singkat pada mereka yang memberinya makanan gratis untuk segera meninggalkan kota, seperti seorang biksu bijak dan baik hati.
Jinzu berdiri di sampingnya, wajahnya sudah seperti kain basah terendam hujan kecemasan. Matanya terus menatap kiri-kanan, melihat para penjaga mulai memaksa orang-orang membuka tudung kepala mereka.
“Tuan muda…” ia berbisik tergesa, “bukankah Anda berniat pergi ke keluarga Wang? Kenapa Anda malah— malah…”
Ia memandang sate di tangan Zhiyuan dengan frustrasi.
“…memilih sate kambing?!”
Zhiyuan hanya menaikkan bahu ringan. “Karena besok…” ia menggigit satu potong lagi, senyum tipis terukir di bibir pucatnya. “Kota ini sudah tidak ada.”
mlh kalo baru awal2..kek semua tokoh tu mukanya smaaaaaaa..🤣🤣