Nara Anjani Sukma berada di situasi harus menikah dengan adik angkat pria yang akan melamarnya. Sakti Pradana tidak menduga ia akan bertukar jodoh dengan kakak angkatnya. Dua karakter bertolak belakang, pertemuan tak terduga dan pernikahan mendadak seperti tahu bulat, drama rumah tangga apa yang akan mereka jalani.
===
“Sudah siap ya, sekarang aku suamimu. Bersiaplah aku buat kamu bahagia jiwa dan raga.” Sakti Pradana.
“Aku penasaran, apa milikmu bisa sesakti namamu.” Nara Anjani Sukma
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dtyas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
8. Pekerjaan Sakti
(Baca ini dulu, bab 8 real. Yang kemarin salah upload seharusnya bab 9)
BAb 8
Nara menggeram kesal dan menghentak kakinya. Sudah senang, perjodohan dengan Samir batal, malah menikah dengan Sakti. Opanya memang tidak bisa diprediksi BMKG. Setelah akad nikah, mereka sempat berfoto. Bukan hanya foto dengan keluarga dari pihak Nara saja, tapi juga dengan keluarga Sakti dan foto berdua. Sempat canggung saat diarahkan agar lebih mesra dan tersenyum.
“Senyum dong, kalau hasilnya nggak bagus karena wajah kamu ditekuk kayak kardus minuman kan nggak lucu,” ejek Sakti.
“Gue mau merem, mau nganga udah pasti cantiklah.”
“Ah, masa,” ejek Sakti. “Jangan sampai hasilnya nggak estetik karena aku ganteng kamu kusut.”
“Heh ….”
“Mbak Nara, aduh jangan gitu.” Bibi menahan Nara agar tidak berulah lagi. Tamu dan keluarga yang hadir sedang ramah tamah dan menikmati hidangan, tapi Nara dan Sakti bisa menimbulkan perang dunia. “Mbak sudah menikah, sudah menjadi istri. Harus lebih sabar dan lembut, panggilannya jangan lagi gue dan lo.”
“Nah, itu. Nasehati bik,” ujar Sakti lalu menuju sofa.
“Masih mending sebut elo, coba kalau aku panggil kera,” ujar Nara. Bibi sampai istighfar dan Sakti menggeleng pelan sambil fokus dengan ponsel.
Malas bergabung dengan yang lain, apalagi melihat Samir yang masih sinis dan menatap seakan jijik juga mulut Serli yang kadang perlu dilem besi agar rapat sempurna. Nara ikut menempati sofa terpisah dengan Sakti.
“Mas Sakti dan Mbak Nara mau saya ambilkan makan, belum makan toh?”
“Tidak usah Bik, nanti saya ambil sendiri. Bibi layani aja tuan putri yang itu. Biar aman dunia persilatan.”
“Heh!”
“Sudah mbak, mas Sakti Cuma bercanda. Kayaknya rumah tangga kalian akan seru,” tutur Bibi lalu terkekeh.
“Seru nggak, horror iya.”
“Kak Nara, ya ampun kak, aku nggak nyangka kakak akhirnya menikah juga,” ujar Weni -- asisten Nara yang baru datang dan langsung duduk di samping majikannya. Bukan hanya Weni tapi Indro sang supir pun ikut bergabung meski hanya berdiri. “Selamat ya kak, semoga samawa.”
“Selamat apaan, kamu kemana aja.” Nara memukul lengan Weni yang meringis lalu tersenyum sambil menunjukan dua jari seolah mengajak damai.
“Kalau kamu bisa dihubungi, nggak akan ketemu dia.” Nara menunjuk Sakti. “KAmu juga Ndro, pake laporan segala ke Opa. Kerja sama opa aja sana.”
“Maaf Non, bukan laporan. Beliau Cuma tanya saya ada di mana, ya saja jawab masih di hotel. Nggak salah dong.”
“Nggak kamu nggak salah,” cetus Sakti.
“Tuh, masnya aja setuju kalau saya nggak salah.”
“Kamu diam, nggak usah ikut campur!” kali ini Nara menunjuk Sakti.
“Eh iya Kak, kenapa nikah mendadak. Nggak mungkin deh Kak Nara hamil duluan, udah lama jomblo juga.”
Sakti tidak bisa menahan tawa, ia tergelak.
“Kalian pro sama siapa sih, udah bubar sana. Siap-siap aja terima surat pemecatan.”
“Ih, kak, jangan gitu. ‘Kan Cuma tanya. Suami kak Nara yang itu.” Weni menunjuk Sakti dengan lirikannya.
“Iya,” sahut Nara sambil bersedekap.
“Ya ampun kak, bisaan deh. Aku juga pengen yang kayak gitu untuk teman halal, pesen satu ya.” Weni merengek sambil memeluk lengan Nara.
Nara berdecak malas menanggapi, Sakti pamit keluar hendak menjawab telepon.
“Aahhh, gemes.” Weni memukul manja lengan Nara.
“Kamu kenapa sih, nggak jelas. Mana ada kera sakti menggemaskan.”
“Bae-bae kualat kak, suami sendiri dibilang kera sakti.”
***
Nara masih menunggu di sofa, Opa di luar bersama Sakti mengantarkan keluarganya pulang. Pak RT juga penghulu dan yang lainnya sudah pamit lebih dulu. Hanya nikah siri, itu yang Nara pikir dan bisa minta talak kapan saja. Namun, nasihat dari penghulu agar segera mendaftarkan pernikahan mereka sah secara negara sudah disetujui oleh Opa.
“Bgeitu ya,” ujar Opa dan Sakti menjawab siap.
Nara menoleh, kedua pria beda usia itu sudah kembali. Entah apa yang dibicarakan, Sakti tampak mendukung dan menganggukan kepala begitu hormat saat Opa bicara.
“Oke, opa mau istirahat.” Opa menepuk bahu Sakti.
“Silahkan opa.”
“Hm. Nara, ajak suamimu ke kamar. kalian pasti lelah.” Baru juga Nara akan bicara, tapi sudah di sela lagi. “Tidak usah ada drama. Kamu dengar tadi pak ustad bilang apa, pernikahan bukan permainan dan kalian sudah ditakdirkan untuk bersama, berjodoh dan terikat takdir.”
“Iya, opa.”
Pak Ali, asisten opa yang selalu sigap mendampingi dan memastikan kebutuhan serta kesehatan opa membantu pria tua itu menuju kamarnya. Memastikan sudah aman, karena opa masuk kamar dan hanya menyisakan para asisten rumah tangga dan pekerja di rumah itu masih beres-beres. Nara menoleh ke arah Sakti.
“Kita harus bicara.”
“Oke.”
Sakti mengekor langkah Nara, menaiki anak tangga ke lantai dua. Melewati beberapa kamar juga area terbuka untuk bersantai dan menonton tv bahkan ada home theater di sana.
Nara berhenti menunjuk pintu kamar dengan gantuangan tulusan princess.
“Itu kamar Serli, sebelahnya kamar ibunya. Jangan berurusan dengan mereka berdua kalau mau hidup tenang.”
Sakti menatap ke arah yang ditunjuk lalu mengangguk.
“Kalian saudara seperti tidak akur.”
“Sama kayak lo dan Samir,” ujar Nara melanjutkan ucapannya.
“Ingat nasihat Opa dan Bibi, jangan gue lo harusnya panggil yang lebih mesra.” Sakti hendak tergelak mengatakan itu.
Nara menghentikan langkahnya dan menoleh.
“Mesra kepalamu!”
“KAmu tahu sendiri aku hanya anak angkat di keluarga itu, jadi wajar kalau hubungi kami tidak hangat.”
“Serli putri sambung ayah, mereka nggak tahu diri aja masih tinggla di sini jadi benalu. Itu balkon agak lebar dan ruangan di sana ada beberapa alat untuk fitnes, tapi nggak lengkap. Kalau mau merokok di balkon jangan di dalam ruangan atau sana ngumpul sama security.”
“Iya,” sahut Sakti.
Nara membuka pintu kamarnya, Sakti ikut masuk.
“Heh, mau ngapain ikut masuk?”
“Lah, ini kamar kamu ‘kan?”
Nara mengangguk masih dengan wajah heran.
“Ya udah berarti aku di sini juga.” tanpa rasa bersalah, Sakti langsung menuju sofa dan menghempaskan tubuhnya.
“Kamu bisa pakai kamar lain!” Masih berdiri di dekat pintu, berharap Sakti cepat keluar dari sana.
“Ra, kita sudah menikah akan aneh kalau pisah kamar atau aku tanya opa pakai kamar yang mana,” ujar Sakti.
Dari pada berurusan dengan opanya dan kembali dinasehati parahnya dimarahi. Nara menutup pintu dan menuju meja rias. Sakti tersenyum simpul. Pria itu menyandarkan kepala lalu memejamkan mata. Benaknya penuh memikirkan kelanjutan rumah tangga mereka. Mendapati Nara yang biasa hidup mewah, apa bisa ia menafkahinya.
“Gara-gara kamu kita malah nikah.” Nara sibuk menghapus make up di wajah, mulutnya terus mengoceh, mengeluhkan hubungannya dengan Sakti. “Eh iya.” Nara berbalik menatap Sakti. “Pekerjaan kamu, apa?”
###
ada aja bahasa lo sak, kalau kata nara mah lebay tapi dia demen mesam mesem sendiri😂😂
heran orang ko ribet banget ya biarin aja toh mereka ini yang nikah. situ kalau iri ya tinggal nikah nih sellir nganggur 😂😂
gayanya ngentol abis ra ehhhhhh demen juga kan di sekop sekop kerasakti🤭🤣🤣🤣🤣
bakal gimana itu keseruannya???