Jing an, seorang penulis yang gagal, secara ajaib terlahir kembali sebagai Luo Chen, Tuan Muda lugu di dalam novel xianxia klise yang ia benci. Berbekal 'Main Villain System' yang bejat dan pengetahuan akan alur cerita, misinya sederhana... hancurkan protagonis asli. Ia akan merebut semua haremnya yang semok, mencuri setiap takdir keberuntungannya, dan mengubah kisah heroik sang pahlawan menjadi sebuah lelucon tragis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ex, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8 Bunga Iblis, Phoenix yang Terluka, dan Benih Sang Pahlawan
Aku melangkah keluar dari halaman pribadiku, jubah hitam baru ini terasa ringan dan benar-benar pas di badan. Perbedaannya langsung terasa. Tubuhku yang telah ditempa oleh 'Ancient Fiendgod's Metamorphosis' terasa padat dan terisi penuh kekuatan.
Langkahku nyaris tak bersuara, dan indraku menjadi luar biasa tajam. Aku bahkan bisa mendengar bisikan dua pelayan yang bergosip dari jarak tiga puluh meter, dan hidungku bisa mencium aroma bunga Spirit Jade Orchid yang mekar di taman utama.
Para pelayan dan penjaga yang kulewati di koridor utama buru-buru menundukkan kepala mereka dalam-dalam. Tidak ada lagi pandangan kasihan atau cemoohan tersembunyi seperti yang biasa diterima Luo Chen yang asli. Yang ada hanyalah rasa takut yang murni.
'Ah, lihat itu, para penonton. Ini adalah kekuatan dari Villain's Aura. Hormat itu tidak didapat dari kebaikan hati. Hormat didapat dari rasa takut. Pelajaran nomor satu di buku panduan penjahat.'
Aku tiba di depan sebuah pagoda tua berlantai tiga yang tampak mengesankan. Inilah Paviliun Teknik Kultivasi Klan Luo. Tempat ini memancarkan aura kuno dan bau debu yang sudah mengendap lama.
Di pintu masuk, seorang tetua dengan janggut abu-abu panjang duduk bersila di atas bantal, matanya terpejam. Ini adalah Tetua Ketiga, penjaga paviliun, seorang kultivator Foundation Establishment Realm tingkat menengah yang terkenal pemarah.
Dia pasti sudah merasakan kedatanganku, tapi dia tidak beranjak membuka matanya, jelas menganggapku tidak penting. Luo Chen yang asli mungkin akan berdiri di sini dengan gugup seperti domba, menunggu sang tetua selesai bermeditasi.
Aku? Aku tidak punya waktu untuk drama murahan itu.
"Tetua Ketiga," kataku, suaraku dingin dan datar, memotong keheningan.
Mata sang tetua terbuka seketika, kilatan kesal yang jelas muncul di dalamnya karena meditasinya diganggu.
"Siapa yang berani..." Kata-katanya terhenti tepat saat melihatku.
Ekspresinya berubah cepat. Dari kesal, menjadi bingung, lalu menjadi kaget.
"Tuan Muda Luo Chen?" Dia menatapku dari atas ke bawah, alisnya berkerut. Dia pasti merasakan perubahan drastis pada auraku. "Apa yang kau lakukan di sini? Lantai pertama penuh sesak hari ini, kenapa kau malah datang ke tempat ini..."
Dia mungkin ingin berkata, 'tempat ini bukan untukmu bermain-main'.
Aku tidak membuang waktu untuk berdebat. Aku mengangkat tanganku dan melemparkan Token Pewaris berwarna hitam ke arahnya.
Clack.
Token itu mendarat di meja rendah di depannya. Mata Tetua Ketiga melebar saat melihat ukiran 'Luo' yang khas di atasnya. Dia buru-buru mengambil token itu, memeriksanya dengan energi spiritualnya, dan wajahnya langsung pucat.
"Ini... Token Pewaris!" Dia menatapku lagi, kali ini dengan syok yang tidak bisa lagi disembunyikan. "Kenapa... kenapa Patriarch memberikan ini padamu?"
"Ayah mengirimku," kataku singkat, melangkah maju. "Aku punya izin penuh untuk mengakses lantai tiga. Lagipula, beliau sudah memberimu instruksi, bukan?"
Tetua Ketiga tersentak, seolah baru teringat sesuatu. Memang benar, beberapa saat yang lalu dia menerima pesan spiritual dari Patriarch yang membuatnya bingung setengah mati. Dia sempat pikir kalau dia salah dengar. Ternyata tidak.
Dia buru-buru berdiri, sikap pemarahnya lenyap, digantikan oleh ekspresi yang sulit diartikan—campuran antara tidak percaya dan... ketakutan.
"Patriarch... memang telah memberi izin." Dia menatapku, masih tidak percaya. "Tuan Muda, lantai tiga berisi teknik rahasia klan kita. Dengan kultivasimu saat ini..."
"Kultivasiku adalah urusanku, Tetua," potongku, nada suaraku terdengar tidak sabar. "Dan urusanku saat ini adalah mencari teknik yang bisa mengimbangi para jenius dari Klan Xiao. Apakah kau akan menghalangi pewaris klan untuk menjadi lebih kuat?"
Gertakanku berhasil. Sang tetua menundukkan kepalanya.
"Tidak, Tuan Muda. Tentu saja tidak."
Dia melambaikan tangannya ke sebuah formasi di dinding. Pintu masuk paviliun berdengung dan terbuka.
"Silakan, Tuan Muda. Lantai tiga ada di atas."
Aku berjalan melewatinya tanpa sepatah kata pun. Aku bisa merasakan tatapannya yang penuh kebingungan terpaku di punggungku.
'Bagus,' pikirku. 'Semakin mereka bingung, semakin sedikit pertanyaan yang akan mereka ajukan nanti.'
Lantai pertama dan kedua penuh dengan rak-rak berisi gulungan bambu dan buku-buku kuno. Aku mengabaikan semuanya. Teknik-teknik ini adalah sampah di mata Sistem. Aku menaiki tangga berdebu menuju lantai tiga.
Lantai tiga jauh lebih kecil dan terasa lebih sesak. Anehnya, hanya ada lima buah gulungan kuno yang diletakkan di atas lima tiang batu giok yang berbeda. Masing-masing memancarkan fluktuasi energi yang samar. Ini pasti lima teknik terkuat Klan Luo.
Aku melihat sekilas nama-namanya, 'Raging Waves Palm', 'Wind Chasing Sword', 'Mountain Splitting Axe'... Semuanya terdengar klise dan biasa saja.
Tapi tujuanku bukan ini. Aku hanya butuh sebuah alibi.
Aku mengambil gulungan yang tampak paling tua di sudut ruangan, berjudul 'Asura's Gaze'. Sebuah teknik mental yang katanya bisa mengintimidasi lawan. Sempurna. Ini akan menjadi alasan yang bagus untuk menjelaskan 'Villain's Aura' milikku.
"Tetua!" teriakku ke lantai bawah. "Aku memilih 'Asura's Gaze'. Aku juga butuh ruang latihan terpencil terbaik yang kau punya. Aku akan berlatih tertutup selama sebulan penuh. Jangan biarkan siapa pun menggangguku, mengerti?"
Di lantai bawah, Tetua Ketiga tersentak kaget lagi. Berlatih tertutup selama sebulan? Tuan Muda yang malas ini?
"Ba-baik, Tuan Muda! Ruang Latihan A-1 akan segera disiapkan!"
Pintu batu yang berat itu bergeser menutup di belakangku, dan seketika aku terputus dari dunia luar. Ruang Latihan A-1 ini memang istimewa. Udara di dalamnya begitu padat dengan energi spiritual murni hingga hampir terasa cair, berkat lokasinya yang tepat di atas nadi Spirit Vein kecil. Bagi Luo Chen yang asli, tempat ini mungkin akan membuatnya mengantuk. Bagiku? Ini adalah inkubator yang sempurna.
Tidak ada jendela. Tidak ada suara. Hanya ada aku dan balok-balok Dark Steel Stone yang dingin di sekelilingku, yang dirancang untuk mengisolasi fluktuasi energi apa pun.
"Sistem," perintahku dalam benakku, suaraku bergema di dalam lautan kesadaranku yang sunyi. "Mulai hitung mundur. Tiga puluh hari. Aku ingin laporan kemajuan setiap 24 jam."
[Perintah diterima. Waktu hingga Turnamen Akbar: 30 Hari, 0 Jam, 0 Menit.]
Aku tidak membuang waktu sedetik pun. Aku duduk bersila di tengah ruangan, memejamkan mata.
'Waktunya bekerja. Pertama, fondasi dari segalanya... Asura's Blood Devil Scripture.'
Aku menarik napas dalam-dalam, menenangkan pikiranku, lalu mulai mengedarkan energi di dalam tubuhku sesuai dengan diagram sirkulasi yang rumit, biadab, dan menyimpang dari teknik iblis itu.
Ini sama sekali tidak seperti kultivasi biasa yang damai. Teknik normal bekerja dengan menyerap energi, memurnikannya, dan menyimpannya. Teknik ini... adalah sebuah perampokan yang kejam.
Energi spiritual murni di dalam ruangan disedot paksa ke dalam tubuhku seperti pusaran air. Tapi alih-alih memurnikannya, Asura's Blood Devil Scripture merobek-robek energi murni itu, menghancurkannya, dan merakitnya kembali. Energi itu dirusak secara paksa, diubah menjadi Demonic Qi berwarna merah pekat yang penuh dengan aura haus darah dan kehancuran total.
Dantianku yang tadinya tenang kini terasa seperti kuali berisi darah yang mendidih. Meridianku terasa panas seperti dialiri lahar cair. Rasa sakitnya menusuk, seolah ribuan jarum panas menembus setiap jengkal saluran energiku.
Tapi di balik rasa sakit itu... ada kekuatan. Kekuatan mentah yang memabukkan.
'Sakit... tapi sial, rasanya enak sekali!'
Aku bisa merasakan level kultivasiku meroket dengan kecepatan yang tidak masuk akal.
Level 6 Qi Refinement Awal...
Level 6 Qi Refinement Menengah...
Level 6 Qi Refinement Puncak...
Dalam waktu kurang dari tiga jam, aku sudah merasakan penghalang tipis menuju Level 7. Kecepatan ini benar-benar curang. Seorang jenius biasa saja butuh berbulan-bulan untuk mencapai ini.
Setelah delapan jam berkultivasi tanpa henti, tubuhku mulai terasa kebas karena rasa sakit. Aku berhenti, beralih ke menu latihan selanjutnya selagi Demonic Qi-ku penuh dan bergejolak.
'Ancient Fiendgod's Metamorphosis.'
Aku berdiri. Ini adalah bagian yang paling kubenci sekaligus paling kunikmati. Aku mengalirkan Demonic Qi yang baru saja kumurnikan itu, bukan ke Dantian, tapi ke seluruh penjuru tubuhku... ke tulang, otot, organ, dan kulit.
Ini adalah siksaan murni secara fisik.
CRACK!
Aku menggertakkan gigiku kuat-kuat, menahan erangan yang nyaris keluar dari tenggorokanku. Aku bisa mendengar dengan jelas suara tulang-tulang di lenganku retak di bawah tekanan, sebelum Demonic Qi itu meresap ke dalamnya, menyambungnya kembali menjadi lebih keras, lebih padat. Otot-ototku serasa terkoyak di tingkat sel, lalu ditenun kembali menjadi lebih kuat.
Keringat dingin membasahi jubah hitamku. Rasa sakitnya setidaknya sepuluh kali lipat lebih buruk dari kultivasi Qi tadi. Tapi aku tahu, untuk menjadi iblis, aku harus menghancurkan cangkang fana yang rapuh ini terlebih dahulu.
Ketika siksaan fisik itu akhirnya mereda setelah terasa seperti satu jam yang panjang, aku mengambil pedang latihan yang terbuat dari besi di sudut ruangan.
'Netherworld Slaughter Sword.'
Aku memejamkan mata, membiarkan niat membunuh yang dingin dan tajam yang tertanam dalam teknik itu mengambil alih pikiranku. Jurus pertama, Reaping Shadow.
Swosh!
Pedangku bergerak. Sepintas, itu hanya tebasan horizontal sederhana. Tapi berkat wawasan dari Sistem, gerakanku sangat efisien. Demonic Qi melapisi bilah pedang yang tumpul itu, meninggalkan jejak bayangan merah samar di udara.
Jurus kedua, Blood Cross. Dua tebasan diagonal cepat, membentuk 'X' di udara.
Jurus ketiga, Soul Pierce. Tusukan lurus yang cepat dan tanpa ampun.
Aku berlatih tiga jurus itu berulang-ulang. Lagi, dan lagi. Reaping Shadow. Blood Cross. Soul Pierce. Mungkin sudah ribuan kali. Sampai tubuhku bergerak murni berdasarkan insting.
Di luar ruangan batu ini, hari berganti malam, lalu berganti hari lagi. Di dalam sini, benar-benar tidak ada konsep waktu. Hanya ada rasa sakit, energi iblis yang semakin pekat, dan suara tebasan pedang yang membelah udara.
Bunga iblis sedang mekar dalam kesunyian yang paling dalam.