Satu malam yang kelam … mengubah segalanya.
Lidya Calista, 23 tahun, gadis polos, yang selama ini hanya bisa mengagumi pria yang mustahil dimilikinya—Arjuna Adiwongso, 32 tahun, suami dari kakaknya sendiri, sekaligus bos di kantornya—tak pernah membayangkan hidupnya akan hancur dalam sekejap. Sebuah jebakan licik dalam permainan bisnis menyeretnya ke ranjang yang salah, merenggut kehormatannya, dan meninggalkan luka yang tak bisa ia sembuhkan.
Arjuna Adiwongso, lelaki berkuasa yang terbiasa mengendalikan segalanya. Ia meminta adik iparnya untuk menyimpan rahasia satu malam, demi rumah tangganya dengan Eliza—kakaknya Lidya. Bahkan, ia memberikan sejumlah uang tutup mulut. Tanpa Arjuna sadari, hati Lidya semakin sakit, walau ia tidak akan pernah minta pertanggung jawaban pada kakak iparnya.
Akhirnya, gadis itu memilih untuk berhenti kerja, dan menjauh pergi dari keluarga, demi menjaga dirinya sendiri. Namun, siapa sangka kepergiannya membawa rahasia besar milik kakak iparnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Ghina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32. Melupakan Bukan Berarti Tidak Peduli
Pagi di Jakarta tampak sibuk seperti biasa. Di depan gedung tinggi berlogo Adiwongso Group, mobil hitam berhenti perlahan di area drop-off. Arjuna keluar lebih dulu, menutup pintu dengan gerakan tenang. Lidya ikut menyusul, langkahnya mantap tapi tanpa ekspresi. Dari luar, keduanya tampak seperti dua rekan kerja yang terburu waktu — rapi, teratur, tanpa banyak bicara. Tapi bagi siapa pun yang jeli, aura tegang di antara mereka jelas terasa.
“Terima kasih sudah memberi tumpangan, Kak,” ucap Lidya datar, sebelum melangkah ke arah pintu utama.
Arjuna tidak menjawab. Ia hanya mengangguk kecil, wajahnya tetap dingin. Dari balik kacamata hitamnya, matanya sempat melirik sekilas ke arah Lidya — sekilas saja, cukup untuk memastikan perempuan itu berjalan tanpa goyah.
Begitu mereka masuk ke lobi, suasana langsung berubah formal. Aroma kopi dari kafe kecil di pojok ruangan bercampur dengan wangi parfum karyawan yang lalu-lalang. Resepsionis menyambut mereka dengan senyum sopan.
“Selamat pagi, Pak Arjuna, Mbak Lidya.”
Lidya membalas senyum profesional. “Selamat pagi. Ada surat masuk untuk Pak Arjuna?”
“Sudah kami letakkan di meja Anda, Mak Lidya.”
Sebelum Arjuna sempat menoleh, Raffi, asisten pribadinya, datang menghampiri dengan iPad di tangan.
“Pagi, Pak. Agenda meeting hari ini sudah saya siapkan, dan dokumen presentasi terakhir sudah diunggah di drive kantor klien.”
Arjuna menepuk bahu Raffi singkat. “Baik. Kita langsung naik.”
Tatapannya sempat jatuh ke arah Lidya — hanya sedetik — sebelum melangkah menuju lift.
Lidya menatap punggung tegap itu sesaat, lalu menarik napas panjang. Ia menuju meja resepsionis lagi, menandatangani beberapa dokumen masuk, lalu masuk lift lain menuju lantai direksi. Hatinya masih terasa berat, tapi ia menutup semua dengan sikap tenang.
Ia sudah berjanji pada dirinya sendiri: di kantor, Lidya hanyalah sekretaris Arjuna Adiwongso. Tidak lebih.
***
Jam sembilan tepat, ruang rapat besar dipenuhi suasana serius. Arjuna duduk di ujung meja panjang dengan laptop terbuka, sementara Lidya di sampingnya menyiapkan file dan mencatat beberapa poin penting.
Ekspresi Arjuna dingin seperti biasa, suaranya stabil setiap kali ia memberi arahan. Para staf dan tim proyek mendengarkan dengan seksama.
“Untuk bagian tender, saya minta laporan lengkap sebelum sore. Jangan ada data yang belum diverifikasi,” katanya sambil menatap layar.
“Baik, Pak,” jawab salah satu manajer.
Lidya menulis cepat di notulen digitalnya.
Sesekali Arjuna menoleh padanya. Gerakan kecil — sekadar memastikan ia menangkap arah pembicaraan. Tapi entah mengapa, setiap kali mata mereka hampir bertemu, Lidya menunduk lebih cepat, berpura-pura sibuk mengetik.
Ada sesuatu yang menahan napas di antara mereka — bukan cinta, bukan benci, tapi semacam jarak yang menyakitkan.
Selesai rapat, Arjuna berdiri lebih dulu.
“Lidya, siapkan dokumen untuk meeting luar jam sebelas. Kita berangkat setengah jam lagi.”
“Baik, Pak,” jawab Lidya sopan, suaranya dingin tapi stabil.
Raffi menghampiri, menyerahkan beberapa berkas tambahan.
“Pak, mobil sudah siap di basement.”
Arjuna hanya mengangguk. “Oke. Lidya ikut dengan saya.”
***
Mobil melaju melewati padatnya lalu lintas. Lidya duduk di belakang bersama Arjuna, sementara Raffi di depan bersama sopir.
Tidak ada obrolan. Hanya suara mesin dan radio yang pelan. Arjuna sibuk memeriksa file di tabletnya. Lidya menatap keluar jendela, matanya kosong menatap deretan gedung tinggi.
Raffi sempat melirik dari kaca spion, lalu berdehem pelan. “Ehm, Pak, nanti setelah meeting jam dua, ada jadwal makan siang dengan pihak relasi. Saya sudah pesan restoran.”
Arjuna menjawab tanpa menatap. “Batalkan. Saya dan Lidya saja yang makan.”
Lidya sontak menoleh cepat, tapi segera menahan diri.
“Baik, Pak,” sahut Raffi, sedikit canggung.
Sisa perjalanan mereka jadi lebih hening.
***
Pertemuan dengan relasi berjalan profesional. Lidya membantu menampilkan presentasi, sesekali membisikkan urutan slide pada Arjuna. Ia sangat tenang, sangat efisien — seperti tak ada sejarah di antara mereka.
Arjuna pun tampak fokus sepenuhnya. Setiap kali berbicara, nada suaranya penuh wibawa. Para rekan bisnis memujinya dengan pandangan kagum.
Begitu rapat selesai, mereka berpamitan dengan sopan.
“Saya sudah pesan restoran di lantai 45, Pak,” ucap resepsionis relasi mereka. “Tempatnya cukup nyaman, dengan pemandangan kota.”
Arjuna mengangguk. “Terima kasih. Kami makan siang di sana saja.”
***
Restoran itu elegan, dengan jendela kaca besar yang memperlihatkan panorama Jakarta dari ketinggian. Langit tampak biru pucat, dengan awan menggantung di sela-sela gedung pencakar langit.
Lidya duduk di kursi dekat jendela, sementara Arjuna duduk di seberangnya. Suasana mewah, tapi justru menambah dinginnya atmosfer di antara mereka.
Pelayan datang, memberikan buku menu.
Namun sebelum Lidya sempat membuka, Arjuna berkata datar, “Saya pesan salmon panggang dengan saus lemon butter. Dan untuk dia, chicken steak saus mushrom, lalu jus alpukat.”
Lidya menatapnya singkat. “Kok Kak Arjuna tahu seleraku?”
Arjuna menatap piring kosong di depannya. “Dulu kamu sering pesan itu, makanya aku selalu ingat.”
Nada datarnya membuat Lidya terdiam. Ia ingin menanggapinya dengan sinis, tapi memilih diam. Pelayan mencatat dan pergi.
Beberapa menit pertama hanya diisi suara gelas dan piring disusun.
Lidya menatap ke luar jendela, menenangkan diri.
Arjuna tampak santai, tapi jari-jarinya mengetuk pelan di atas meja — tanda ia sedang menahan sesuatu.
Saat makanan datang, Lidya mengambil sendoknya perlahan. Aroma daging ayam panggang memenuhi udara. Ia memotong kecil-kecil, lalu mulai makan dengan tenang. Arjuna sesekali menatapnya di sela waktu, seperti seseorang yang sedang mengamati kenangan.
“Kamu kelihatan capek,” ucap Arjuna akhirnya.
Lidya berhenti sejenak. “Ya, mungkin karena kerja terus.”
“Kalau kamu sakit, jangan dipaksakan. Aku bisa minta Raffi bantu urusan kantor.”
Lidya menatapnya datar. “Terima kasih, tapi aku masih sanggup.”
Arjuna tidak menatapnya langsung. Ia mengaduk kopinya perlahan.
“Lidya,” ucapnya pelan, “aku tahu kamu marah padaku.”
Nada suaranya rendah, tapi cukup untuk membuat udara di antara mereka menegang.
Lidya meletakkan garpunya. “Kita masih dalam jam kerja, Kak. Aku pikir nggak ada gunanya bahas hal pribadi.”
“Kadang, hal pribadi justru yang paling sulit dilupakan,” jawab Arjuna dengan suaranya yang pelan.
Mata mereka bertemu sesaat.
Arjuna menatapnya lama, dalam, seperti mencoba membaca isi hati Lidya yang kini berlapis tembok.
Namun Lidya hanya menghela napas pelan. “Aku sudah melupakan semuanya, Kak. Seperti yang Kak Arjun pinta.”
“Benarkah?” Suara Arjuna nyaris berbisik.
“Ya,” jawab Lidya, tegas. “Dan aku harap Kak Arjuna juga begitu.”
Arjuna memalingkan wajah ke luar jendela. Matanya menatap gedung-gedung tinggi di kejauhan, tapi pikirannya melayang entah ke mana.
Senyum getir terbit di ujung bibirnya. “Terkadang melupakan bukan berarti berhenti peduli.”
Bersambung ... 💕
andai arjuna lebih bisa berani pasti situasinya tidak akan sesulit itu.
tapi itu se andai nya 😁
Dan sekarang sudah hadir 2 jagoan kembar, hanya mama Riri dan orangtua Juna yang tahu.
Orangtua Arjuna begitu bijaksana menanggapi kehamilan Lidya.
arjuna dah pnya anak kembar kasian tanpa dia tahu
Berat beban yang kamu tanggung selama ini Lidya