Najla anerka ariyani arutama
Nama dia memang bukan nama terpanjang di dunia tapi nama dia terpanjang di keluarga dia
Memiliki 4 saudara laki laki kandung dan 3 saudara sepupu dan kalian tau mereka semua laki laki dan ya mereka sangat overprotektif akhh ingin sekali menukar merek semua
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon biancacaca, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PART 28
🔥🔥🔥
Mereka berjalan pelan di gang sempit, lampu senter menari-nari di dinding retak dan semak liar.
Najla menggenggam pita merah, matanya sesekali menatap bayangan di sekeliling.
> “Rasa familiar ini… kayak rumah lama ibu dulu. Tapi… kenapa malam-malam gini kita ke sini lagi?”
Arlen menatap rumah tua yang setengah runtuh dari kejauhan.
> “Karena masa lalu nggak akan menunggu kita siap. Kalau kita nggak hadapi sekarang… kita cuma jadi penonton.”
Darren membawa tas slempang, memeriksa peralatan: kamera saku, beberapa kabel, dan benda-benda kecil lain.
> “Kalau ada yang sengaja menyembunyikan sesuatu di sini, gue mau siapin alat biar nggak cuma nebak-nebak.”
Kenzi menatap tangga depan rumah.
> “Ini… masih aman ya? Atapnya bocor, pintunya lapuk, tapi kita… masuk?”
Kaelan tersenyum tipis, tapi tegang.
> “Kalau lo pikir aman, berarti lo belum baca petunjuk dari kardus tadi. Kita datang bukan buat jalan-jalan nostalgia. Kita disuruh ‘ingat siapa kita’. Dan itu… bisa bikin mental goyah.”
Arlen menekan pintu yang sudah lapuk, perlahan mendorong masuk. Bunyi kayu tua berderit panjang.
Di dalam, debu menari di cahaya senter, aroma lembap dan kayu tua menusuk hidung.
Najla menatap dinding yang penuh bekas bingkai foto lama. Ada bayangan samar di setiap sudut.
> “Foto-foto ini… sebagian wajah orang yang kita kenal, sebagian lagi… orang asing. Tapi kenapa rasanya… mereka semua ada hubungan sama kita?”
Darren membuka salah satu laci meja tua. Di dalamnya, sebuah kotak kayu kecil dengan ukiran yang sama seperti pita merah.
> “Ini… kenapa gue punya feeling kalau ini… rahasia keluarga?”
Kenzi mencondongkan tubuh, menatap ukiran.
> “Simbol ini… ibu gue pernah punya yang mirip. Tapi dulu gue kira cuma perhiasan biasa. Sekarang… gue mulai ngerti.”
Arlen mengangguk.
> “Ini bukan mainan. Setiap simbol, setiap benda… bagian dari sejarah kita. Dan mereka ingin kita sadar, bukan cuma melihat, tapi memahami.”
Najla menatap pita merah di tangannya.
> “Kalau masa lalu ini bisa bicara… kira-kira dia bakal bilang apa?”
Kaelan menatap foto lama, kemudian menatap semua orang.
> “Dia bakal bilang… kalian belum lengkap kalau nggak berani lihat kebenaran. Dan kebenaran itu… bisa bikin kalian ngeri.”
Raga, yang selama ini diam, akhirnya bicara. Suaranya pelan tapi tajam:
> “Tapi kebenaran itu juga kekuatan. Kalau kalian berani hadapi, kalian nggak cuma belajar tentang masa lalu… tapi bisa tentukan masa depan sendiri.”
Arlen menatap semua anggota timnya.
> “Oke. Kita mulai telusuri rumah ini. Tiap ruangan, tiap benda… bisa jadi jawaban. Dan mungkin juga… jebakan.”
Najla menatap Arlen, lalu tersenyum tipis.
> “Kita siap. Bareng-bareng.”
Darren mengangguk.
> “Dan kalau ketemu hal aneh… minimal kita punya cerita buat Kenzi nge-bully kita besok pagi.”
Kenzi tersenyum lebar, meski matanya tetap waspada.
> “Bener. Tapi kali ini, aku yang pegang senter. Gak mau ada kejutan kayak dulu lagi.”
Arlen menatap foto, pita, dan rumah tua itu.
> “Ini bukan sekadar nostalgia… ini panggilan. Rahasia yang lama tersembunyi… akan kita ungkap. Satu per satu.”
Mereka menyalakan lampu senter, melangkah ke lorong gelap rumah tua.
Debu, bayangan, dan aroma kayu tua… menyelimuti mereka.
Dan kali ini… mereka tidak akan lari. Mereka akan menatap masa lalu—langsung.
Arlen menyalakan senter lebih terang, menuntun mereka ke lorong sempit. Debu beterbangan setiap kali mereka melangkah, suara kayu tua berderit mengisi keheningan.
Najla menahan napas saat melihat rak buku yang miring, penuh buku dan dokumen tua. Beberapa di antaranya terlihat seperti jurnal harian—kertas menguning, tulisan tangan hampir pudar.
> “Ini… bisa jadi catatan keluarga,” bisik Najla.
Kaelan mengangguk, menatap tulisan dengan cermat.
“Setiap halaman kayak meninggalkan jejak… tapi jejak yang sengaja disamarkan.”
Darren membuka kotak kecil yang tadi ditemukan di laci. Di dalamnya, ada beberapa benda: kunci kecil berkarat, sebuah medalion dengan ukiran yang sama seperti pita merah, dan sebuah surat yang digulung rapi.
Kenzi menyentuh medalion itu pelan.
> “Aku pernah lihat ini… tapi gue lupa kapan. Ibu gue dulu punya yang mirip. Apa ini… warisan?”
Arlen mengambil surat itu, membuka gulungannya. Tulisan tangan yang rapi tapi tegas tertulis di dalam:
"Jika kalian menemukan ini, berarti waktunya menghadapi yang tersembunyi. Jangan takut, tapi jangan lengah. Yang hilang belum tentu pergi."
Najla menatap Arlen, suara pelan:
> “Yang hilang… itu… siapa?”
Arlen menghela napas, menunduk.
> “Itu yang pernah kita pikirkan sudah selesai… tapi ternyata tidak. Ada hal-hal dari keluarga kita yang kita lupakan, atau sengaja disembunyikan. Dan sekarang, semuanya mulai menuntut jawaban.”
Kaelan menatap ke sekeliling, matanya berhenti di satu pintu tua yang separuh tertutup kayu lapuk.
> “Itu… kayak ruang bawah tanah kedua. Atau semacam ruang rahasia.”
Darren menambahkan, serius:
> “Kalau ini beneran ruang tersembunyi, bisa jadi di situ ada benda-benda yang menjelaskan semua teka-teki ini. Dan… jangan salah langkah.”
Kenzi menatap mereka semua dengan ekspresi setengah cemas, setengah penasaran:
> “Oke… siapa yang duluan buka pintunya?”
Arlen menatap mereka, wajahnya datar tapi tegas.
> “Kita buka bareng. Semua harus siap, semua harus lihat. Karena apa pun yang ada di balik pintu itu… akan mengubah cara kita lihat keluarga kita sendiri.”
Najla menggenggam pita merah, Kaelan memegang senter tambahan, Darren membawa kotak alat kecil, dan Kenzi menggenggam senter sendiri. Mereka saling bertukar pandang singkat, seperti memberi semangat tanpa kata-kata.
Arlen menekan engsel pintu tua itu, dan perlahan mereka membuka…
Debu beterbangan, cahaya senter menembus kegelapan, dan aroma kayu tua yang kuat mengisi ruangan.
Di dalam… ada rak-rak penuh kotak kayu, dokumen, dan beberapa benda aneh. Tapi di tengah ruangan, sebuah foto besar tergantung di dinding—wajah seseorang yang jelas mereka kenal, tapi usianya jauh lebih muda, dan ada sesuatu yang… aneh di matanya.
Najla menelan ludah.
> “Itu… Arlen?”
Arlen menatap foto itu dengan mata sedikit menyipit.
> “Bukan. Itu… salah satu orang yang kita pikir sudah hilang. Tapi ternyata, mereka tidak pernah pergi. Mereka hanya menunggu kita mengerti.”
Hening sejenak. Semua menatap foto itu. Atmosfer tegang tapi berbeda—sekarang bukan hanya tentang misteri, tapi tentang menghadapi kebenaran keluarga yang selama ini tersembunyi.
Kenzi menelan ludah, setengah bergurau tapi tegang:
> “Oke… jadi kita masuk ke ruang ‘rahasia keluarga versi horor’. Siapa duluan yang pegang dokumen itu?”
Arlen tersenyum tipis, lalu berkata:
> “Bareng-bareng. Kita lihat, kita pahami, dan kita hadapi. Semua jawaban ada di sini. Dan kali ini… kita tidak akan lari lagi.”