“Gajimu bulan ini mana, Ran? Orang tua butuh uang.”
“Adik butuh biaya kuliah.”
“Ponakan ulang tahun, jangan lupa kasih hadiah.”
Rani muak.
Suami yang harusnya jadi pelindung, malah menjadikannya mesin ATM keluarga.
Dari pagi hingga malam, ia bekerja keras hanya untuk membiayai hidup orang-orang yang bahkan tidak menghargainya.
Awalnya, Rani bertahan demi cinta. Ia menutup mata, menutup telinga, dan berusaha menjadi istri sempurna.
Namun semua runtuh ketika ia mengetahui satu hal yang paling menyakitkan: suaminya berselingkuh di belakangnya.
Kini, Rani harus memilih.
Tetap terjebak dalam pernikahan tanpa harga diri, atau berdiri melawan demi kebahagiaannya sendiri.
Karena cinta tanpa kesetiaan… hanya akan menjadi penjara yang membunuh perlahan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shaa_27, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Andi berulah
Sore itu, matahari mulai condong ke barat ketika Rani melangkah pulang dari pabrik. Peluh masih menempel di keningnya, tapi wajahnya tampak tenang. Ia baru saja menyelesaikan hari yang cukup berat, namun semangatnya masih utuh—ia bahkan sempat mampir membeli sedikit sayur untuk makan malam.
Begitu membuka pintu rumah, suara keras menyambutnya.
“Akhirnya pulang juga!” seru Andi yang sudah menunggu di ruang tamu dengan wajah tegang.
Rani berhenti di ambang pintu, menatap suaminya dengan dahi berkerut.
“Mas? Ada apa?”
Andi melangkah cepat mendekatinya.
“Mana tasmu?”
Nada suaranya membuat dada Rani menegang.
“Untuk apa?” tanyanya pelan.
Namun Andi tak menjawab. Dengan gerakan kasar, ia merampas tas yang masih tergantung di bahu Rani.
“Mas! Jangan seenaknya—”
Belum sempat Rani menyelesaikan kalimatnya, Andi sudah membongkar isi tas itu, mencari sesuatu dengan mata liar. Dompet, ponsel, beberapa kertas slip gaji, semuanya berantakan di lantai hingga akhirnya tangannya menemukan sebuah kartu berwarna biru.
ATM Rani.
Andi mengangkatnya tinggi-tinggi, matanya berkilat puas.
“Ini yang aku cari. Mulai sekarang, aku yang pegang semua uangmu!”
Rani terperanjat, wajahnya memucat. Ia segera berusaha merebutnya kembali.
“Mas, jangan! Itu uangku! Hasil keringatku sendiri! Kamu nggak punya hak—”
Andi menepis tangan Rani dengan kasar, membuat tubuh perempuan itu terhuyung ke belakang.
“Jangan ngelawan, Rani! Aku ini suamimu! Semua yang kamu punya, hakku juga! Dengerin baik-baik, mulai sekarang aku yang atur keuangan rumah ini. Nggak ada lagi kamu seenaknya berhenti kasih uang ke Ibu!”
Suara bentakan Andi menggema di ruangan kecil itu. Barang-barang di meja bergetar karena dorongan tangan mereka yang saling berebut.
Rani berdiri dengan napas tersengal, air matanya menetes tapi matanya tetap menatap tajam ke arah Andi.
“Kamu nggak malu, Mas? Lelaki tapi ngambil uang istrimu sendiri! Semua ini kamu dapet dari hasil keringatku, bukan dari tanganmu yang cuma bisa nyalahin!”
Andi mendengus, wajahnya memerah menahan marah.
“Kamu keterlaluan! Kalau bukan karena aku, kamu nggak akan punya tempat tinggal ini! Sekarang malah berani ngatur aku?!”
Teriakan mereka semakin keras. Dari luar rumah, beberapa tetangga mulai mengintip dengan rasa khawatir.
Rani mengepalkan tangan, air mata menetes tapi suaranya bergetar kuat.
“Aku nggak takut lagi, Mas. Ambil aja kalau itu yang kamu mau. Tapi ingat, semua yang kamu rampas hari ini… akan aku rebut kembali, dengan caraku sendiri.”
Andi terdiam sejenak mendengar kalimat itu, namun genggamannya di kartu ATM justru makin kuat. Wajahnya tegang, matanya gelap.
Sementara itu, Rani berdiri tegak—untuk pertama kalinya tidak lagi menunduk dalam ketakutan.
Dari luar, langit sore perlahan memerah, seolah ikut menjadi saksi bahwa perang dalam rumah tangga itu baru saja dimulai.
Keributan di rumah itu belum juga reda ketika suara langkah tergesa terdengar dari halaman. Tak lama kemudian, pintu rumah terbuka keras—dan muncul sosok Bu Marni dengan daster bunga-bunga serta wajah yang sudah diliputi amarah.
“Ada apa ini ribut-ribut siang bolong?!” bentaknya sambil menatap ke arah Rani dan Andi yang berdiri saling berhadapan.
Andi masih menggenggam ATM Rani di tangannya. Wajahnya merah, napasnya berat. Rani menunduk sesaat, berusaha menenangkan diri, tapi sebelum sempat bicara, Bu Marni sudah memotong dengan nada tajam.
“Kamu ya, Rani?! Bikin anakku teriak-teriak kayak orang gila di rumah sendiri! Kurang ajar kamu!”
Rani mendongak, menatap ibu mertuanya dengan mata sembab.
“Bu, saya cuma mau ambil kembali ATM saya. Itu hasil kerja saya sendiri. Saya cuma minta hak saya, Bu.”
Bu Marni mendengus sinis, tangan kirinya bertolak pinggang.
“Hak kamu? Sejak kapan perempuan kayak kamu punya hak? Semua yang kamu punya itu dari anakku! Rumah ini, makan tiap hari, hidup kamu—semua dari Andi! Jadi jangan berani ngomong hak di rumah ini!”
Rani menggigit bibirnya, mencoba menahan diri.
“Maaf, Bu. Tapi yang kerja tiap hari itu saya. Saya yang ngeluarin tenaga buat dapetin uang. Saya juga yang nyukupin kebutuhan rumah selama ini.”
Tapi kalimat itu malah membuat Bu Marni semakin berapi-api.
“Ih, sombong banget kamu! Baru bisa kerja di pabrik aja udah ngerasa hebat! Kalau bukan karena Andi, kamu tuh nggak akan punya apa-apa! Lihat tuh, sekarang malah berani ngelawan suami! Nggak tahu diri kamu, Rani!”
Andi yang sedari tadi diam akhirnya ikut menimpali dengan nada tinggi, suaranya menggema di ruangan kecil itu.
“Udah, Bu! Percuma ngomong sama dia! Sekarang dia udah nggak hormat lagi! ATM-nya udah aku ambil, biar aku aja yang atur semua keuangannya mulai sekarang.”
Rani melangkah maju, air matanya mengalir tapi suaranya tetap mantap.
“Kalian bisa ambil uang saya, tapi kalian nggak akan pernah bisa ambil harga diri saya. Suatu hari nanti, kalian bakal tahu… siapa yang sebenarnya kehilangan segalanya.”
Bu Marni menatapnya tajam, bibirnya melengkung sinis.
“Halah, perempuan miskin mana ngerti harga diri. Udah sana, masuk kamar! Jangan bikin malu lebih jauh. Kalau bukan karena rasa kasihan, aku udah lama nyuruh anakku ceraiin kamu!”
Kata-kata itu menancap di dada Rani seperti duri. Tapi kali ini, ia tidak menangis terisak seperti dulu—ia hanya menatap dua orang di hadapannya dengan tatapan dingin, penuh tekad.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Rani mengambil tasnya yang berserakan di lantai, menunduk, lalu melangkah menuju kamar. Pintu ditutup perlahan—bukan karena takut, tapi karena ia tahu, hari ini bukan akhir.
Ini awal. Awal dari sesuatu yang akan membuat Bu Marni dan Andi menyesal telah menginjak perempuan yang salah.
★★★★
Pagi itu udara masih terasa lembap sisa hujan semalam. Burung-burung mulai berkicau di atap genteng, tapi suasana di rumah kecil itu justru penuh ketegangan.
Andi terbangun dengan wajah kusut. Begitu melangkah ke dapur, alisnya langsung berkerut—meja kosong, tak ada nasi, tak ada lauk, bahkan air panas pun belum disiapkan.
“Rani! Ini gimana sih?! Kamu nggak masak?!” teriaknya dari dapur.
Dari dalam kamar, Rani muncul dengan pakaian kerjanya yang rapi, wajah segar dengan sedikit bedak tipis yang membuatnya tampak lebih hidup dari biasanya. Ia hanya menatap Andi datar.
“Saya berangkat kerja dulu,” ucapnya tenang.
Andi melangkah mendekat, suaranya meninggi.
“Saya tanya, kamu nggak masak?!”
Rani menatapnya singkat lalu berkata datar,
“Saya nggak masak karena kamu nggak kasih uang belanja. Kalau kamu mau sarapan, masak sendiri aja. Saya bukan pembantu di rumah ini, Andi.”
Andi menatapnya tak percaya, darahnya naik ke kepala.
“Kamu mulai kurang ajar, ya! Gara-gara siapa kamu bisa hidup di sini?!”
Rani hanya tersenyum miring.
“Justru gara-gara kamu, saya tahu rasanya hidup tanpa harga diri. Tapi mulai sekarang, cukup. Saya nggak mau terus-terusan jadi sapi perah kamu dan ibumu.”
Tanpa menunggu balasan, ia melangkah keluar. Sambil menenteng tasnya, Rani memesan ojek online lewat ponsel jadulnya—kali ini, ia tak peduli soal penghematan. Udara pagi terasa lebih ringan, seolah beban yang menindih bahunya mulai terangkat sedikit demi sedikit.
---
Sesampainya di pabrik, beberapa teman kerjanya langsung menyapanya.
“Ran, makin cantik aja sekarang!”
“Iya nih, keliatan beda banget, kayak udah nemu semangat baru!”
Rani tersenyum tipis, meski hatinya masih bergetar di dalam. Tapi hari ini, ia punya tujuan.
Begitu jam istirahat tiba, ia segera menghampiri Nadia yang sedang duduk sambil membuka bekal.
“Nad… aku mau minta tolong,” ucap Rani pelan.
Nadia mengangkat wajahnya, menatap sahabatnya dengan cermat.
“Tolong apa, Ran?”
Rani menarik napas panjang, lalu berkata hati-hati,
“Aku mau gajiku bulan ini ditransfer ke rekening kamu. ATM aku diambil Andi. Aku udah bilang hilang, tapi aku belum sempat urus yang baru. Aku nggak mau dia tahu gajiku masuk.”
Nadia terdiam sejenak, menatap serius.
“Kamu yakin, Ran? Ini bakal bikin Andi makin marah kalau tahu.”
Rani mengangguk mantap.
“Biarin. Aku udah terlalu lama diem. Sekarang, aku cuma mau jaga hasil kerja aku sendiri. Tolong ya, Nad… bantu aku.”
Tanpa banyak tanya, Nadia menggenggam tangan Rani.
“Oke. Kita ke HRD sekarang.”
---
Beberapa menit kemudian, keduanya sudah duduk di ruang HRD. Rani dengan suara tenang namun tegas menjelaskan,
“Maaf, Mbak, ATM saya hilang. Jadi sementara gaji saya bisa ditransfer ke rekening teman saya ini dulu. Nanti kalau ATM baru sudah jadi, saya update lagi datanya.”
Petugas HRD sempat bertanya singkat, tapi melihat Rani menjawab dengan yakin dan disertai data lengkap, akhirnya ia mengangguk.
“Baik, Bu Rani. Nanti kami proses untuk bulan ini ke rekening yang baru.”
Setelah keluar dari ruangan itu, Rani menghembuskan napas lega.
Nadia menepuk bahunya sambil tersenyum,
“Langkah kecil, tapi berarti besar, Ran. Kamu udah mulai ngambil kendali atas hidup kamu.”
Rani tersenyum lembut.
“Iya, Nad. Mungkin selama ini aku diam… tapi sekarang, aku nggak mau lagi dijadikan budak atas nama cinta.”
Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, langkah Rani terasa ringan ketika kembali ke ruang kerjanya—seolah setiap deru mesin pabrik menjadi saksi awal kebebasannya.
bukan ada apanya🤲🤲🤲
apa dibilang temanmu n tetanggamu itu betul sekali sayangila dirimu sendiri
kamu itu kerja banting tulang kok gak perna dihargai sih
mendingan pisa ajah toh blm punya anak
Nasibmu bakal tragis marni andi ma melati