Bagi Fahreza Amry, hinaan dan cemoohan ayah mertuanya, menjadi cambuk baginya untuk lebih semangat lagi membahagiakan keluarga kecilnya. Karena itulah ia rela pergi merantau, agar bisa memiliki penghasilan yang lebih baik lagi.
Namun, pengorbanan Reza justru tak menuai hasil membahagiakan sesuai angan-angan, karena Rinjani justru sengaja bermain api di belakangnya.
Rinjani dengan tega mengajukan gugatan perceraian tanpa alasan yang jelas.
Apakah Reza akan menerima keputusan Rinjani begitu saja?
Atau di tengah perjalanannya mencari nafkah, Reza justru bertemu dengan sosok wanita yang pernah ia idamkan saat remaja?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Moms TZ, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
2. Dilema
Reza mulai dilanda dilema. Batinnya menolak mempercayai apa yang dilihatnya, tetapi tatapan mata itu mengisyaratkan sesuatu. Sebagai seorang pria dewasa yang pernah mengalami jatuh cinta, tentu ia tahu apa arti tatapan mata seorang pria yang begitu dalam terhadap lawan jenisnya.
"Nggak mungkin...! Mereka nggak mungkin menjalin hubungan, kan?" tanya Reza pada diri sendiri seraya meremat dadanya. Ia kemudian mengelengkan kepalanya untuk mengenyahkan pikiran-pikiran buruk yang terus menghantuinya.
Reza pergi ke toilet, dia membasuh wajah hingga kepala agar otaknya lebih segar. Dia bahkan membiarkan bajunya bagian atas basah oleh air.
Hal itu memancing perhatian rekan kerjanya dan bertanya-tanya ada apa gerangan dengan Reza. Pria yang tidak banyak bicara tetapi sangat gila kerja.
"Ada apa denganmu, Za? Kenapa kamu membasahi kepalamu macam anak kecil yang menahan rasa haus ketika berpuasa, hhhh?" tanya sebut saja Agus sambil terkekeh geli.
"Entahlah, otakku rasanya panas," sahut Reza sekenanya.
"Kalau ada masalah, nggak ada salahnya kamu berbagi sama kami di sini. Siapa tahu kami bisa membantumu," sambung Bagas.
Reza tampak menarik napas berat, sebelum mengatakannya. "Akhir-akhir ini istriku sulit dihubungi. Dia...seperti menghindariku. Entah ini perasaanku saja atau memang ada sesuatu yang dia sembunyikan."
Kedua temannya itu saling berpandangan, lalu Agus bertanya dengan hati-hati, "Apa kamu sudah menghubungi saudara kamu, atau teman istrimu?"
"Sudah... Terakhir aku menghubungi istriku, dia bilang, 'lagi nggak enak badan.' Lalu aku menghubungi sepupunya juga mengatakan hal yang sama." Reza menghela napas panjang lalu mengeluarkan dengan kasar.
"Tapi aku merasa mereka menutupi sesuatu dariku," lanjutnya menambahkan.
"Mungkin istrimu lagi sibuk atau punya kegiatan lain, sehingga tidak sempat menerima telepon darimu," respon Bagas mencoba berpikir positif.
"Sudah, Bro. Jangan terlalu dipikirkan. Inilah resiko kita mencari nafkah jauh dari keluarga. Meski terkadang pikiran-pikiran negatif selalu datang menghampiri," cetus Agus.
"Benar kata Agus, Za. Tujuan kita di sini bekerja mencari nafkah untuk keluarga di kampung. Jadi, lebih baik berpikir positif---semoga istrimu baik-baik saja," timpal Bagas seraya menepuk pundak Reza.
Obrolan ketiganya terhenti ketika melihat mandor mereka datang mendekat.
"Ada apa ini? Kenapa kalian berkumpul di sini, bukannya kerja?" tanya Mandor Sobri. Tatapan matanya sangat tajam seakan ingin menerkam ketiganya.
"Tidak ada apa-apa kok, Pak. Cuma ini--- tadi ada ular, jadi kami rehat sebentar untuk mengusirnya," jawab Bagas beralasan.
"Ya sudah, kerja lagi sana. Awas kalau sampai kalian bermalas-malasan!" gertak Mandor Sobri lalu meninggalkan ketiga orang itu.
"Baik, Pak." Ketiga pria dewasa itu menjawab serentak, lalu kembali ke tempat kerja masing-masing.
Meskipun pikiran Reza masih berkecamuk, tetapi dia berusaha untuk tetap fokus agar tidak membuat kesalahan yang bisa berakibat fatal.
Reza tidak menyadari bahwasannya sejak tadi ada sepasang mata yang terus memperhatikannya dari balik kaca jendela di salah satu ruangan.
Fahreza Amry, pria berparas lumayan tampan, meski terkadang harus berpanas-panasan di bawah terik matahari. Seorang pria yang menarik perhatiannya dan berhasil membuat jantungnya bergelenyar aneh, sejak pertama kali melihatnya bekerja di perkebunan. Namun sayangnya, pria itu adalah suami orang.
Sore itu selepas jam kerjanya, Reza buru-buru pulang ke mess. Wajahnya tampak lelah. Bukan badannya saja tetapi juga pikirannya.
Reza segera mandi, lalu setelah itu meraih ponselnya--berniat menelpon sang istri. Namun, kembali dia harus menelan kekecewaan karena hanya disambut oleh suara operator.
"Ada apa... apa yang sebenarnya terjadi denganmu, Jani? Ya Tuhan, jangan biarkan pikiran buruk terus menghantuiku."
Reza menggigit bibirnya dengan mata terpejam. Seketika bayangan istrinya bersama pria lain berkelebat di pelupuk mata.
"Tidak...! Aku tidak bisa terus begini. Lebih baik aku minta ijin untuk pulang ke kampung sebentar. Besok aku akan menemui Bu Marisa," pikir Reza.
"Kalaupun dipaksa untuk bekerja, toh, aku juga tidak akan tenang dan fokus," imbuhnya.
*
*
*
*
*
Sementara itu, di tempat yang jauh, beribu² kilometer dan terpisah pulau dari sang suami, Rinjani bersama Dhea-anaknya, dan seorang pemuda tampak berjalan menyusuri tepian pantai yang berpasir putih sambil bergandengan tangan. Rona bahagia tampak terpancar dari wajah mereka.
Tawa renyah mengiringi langkah mereka lewat candaan kecil yang terlontar dari bibir Farhan, mampu menciptakan nuansa hangat dan menyenangkan yang mewarnai suasana pantai nan cerah di sore hari itu.
Sekumpulan awan putih menggantung di langit biru menciptakan panorama yang sayang untuk dilewatkan.
Ketiganya kemudian duduk di atas bebatuan dengan Dhea berada di pangkuan pemuda itu, menikmati keindahan senja yang menghiasi langit di Pantai Klayar sore itu.
"Dhea, seneng nggak pergi sama, om?" tanya pemuda itu.
Dhea mengangguk sambil memainkan ujung bajunya.
Pemuda itu pun menciumi pipi Dhea sambil menggelitik badannya membuat sang bocah memberontak kegelian.
Tiba-tiba ponsel Rinjani berdering, lalu ia mengambilnya dan melihat nama sang suami tertera di layar.
"Ck..."Rinjani berdecih, sambil menatap ponselnya dan memilih mengabaikan panggilan tersebut. Hingga berulang kali panggilan itu terus berlanjut, tetapi Rinjani dengan sengaja tidak berniat mengangkat panggilan telepon dari Reza-suaminya.
"Siapa yang menelpon, Sayang?" tanya pemuda itu.
"Mas Reza," sahut Rinjani singkat dengan bibir menyebik serta mengangkat bahunya.
"Sudah hampir gelap, sebaiknya kita pulang. Jangan sampai kemalaman--kasihan Dhea. Angin malam tidak baik untuk anak kecil."
Satu jam perjalanan, mereka tiba di rumah Rinjani dan Reza. Pemuda itu menghentikan motornya di halaman.
"Aku pulang, ya. Jangan terlalu banyak berpikir. Nikmati saja apa yang bisa membuatmu bahagia," ucapnya dengan lembut.
"Aku akan selalu bersamamu dan mendukungmu," lanjutnya seraya melabuhkan kecupan di kening Rinjani.
Rinjani menganggukkan kepalanya menatap sang pemuda. Keduanya saling melemparkan senyuman dengan pandangan penuh arti.
"Kamu sama dia makin dekat aja, Jan. Tapi ingat, statusmu itu istri orang. Jangan dekat-dekat sama pria lain yang bisa menimbulkan fitnah," celetuk Rani, setelah melihat pemuda yang mengantar Rinjani pergi.
Wanita itu baru saja keluar dari rumahnya dan melihat interaksi yang menurutnya tak wajar.
"Nggak usah kepo, deh. Lebih baik urus saja urusanmu sendiri," balas Rinjani dengan sewot.
"Bilang saja kamu itu sebenarnya iri sama aku. Sampai umur segitu kamu bahkan belum laku," lanjutnya sarkas.
Rani tergelak lalu berdecih, "Cih... Siapa juga yang iri. Aku itu cuma kasihan aja sama Reza."
"Dia kerja keras banting tulang sampai ke seberang pulau demi kalian. Bahkan kemarin dia menghubungiku saking khawatirnya sama kamu karena susah dihubungi, tapi ternyata..." sindir Rani seraya memutar bola matanya.
Rinjani tertegun sesaat, tetapi kemudian menguasai dirinya. "Kamu tidak tahu apa-apa tentang hidupku dan Mas Reza," kata Rinjani ketus.
"Jadi, jangan sok ikut campur urusanku. Paham!" lanjutnya menegaskan. Lalu Rinjani bergegas masuk ke rumahnya.
Rani menatap kepergian Rinjani dengan pandangan rumit, seraya menggelengkan kepala.
*
*
*
Malam ini Reza mencoba untuk tidur dengan tenang guna melepaskan beban pikirannya yang terus dibelenggu oleh pikiran-pikiran buruk. Namun, baru saja dia sedikit terlelap ponselnya berdering.
Reza tersenyum, ketika nama "My Wife" tertera di layar. Dengan antusias dia segera mengangkatnya panggilan tersebut.
"Halo, Sayang. Syukurlah kamu menghubungiku. Aku kangen sekali sama kamu juga Dhea. Apa kamu sudah sembuh? Aku sangat khawatir dari kemarin kamu susah sekali dihubungi..." cerocos Reza saking bahagianya.
"Kamu ini apa-apaan sih, Mas? Nyerocos kaya petasan rombeng!" sembur Rinjani dari seberang telepon.
Reza mengernyit bingung, 'apa ada yang salah dengan ucapannya?'
"Sayang...kamu kenapa? Maaf, apa ada ucapanku yang salah?" tanya Reza sambil mengacak kepala belakangnya.
"Kamu itu ya, Mas. Ngapain sih, pakai nelepon si Rani segala tanya kabar aku!" kesal Rinjani.
"Memangnya nggak bisa sabar, apa? Apa kamu pikir yang punya kepentingan itu kamu saja, Mas? Sehingga aku harus selalu standby nungguin telepon kamu terus?" lanjutnya masih dengan rasa kesal.
"Sayang, bukan begitu maksudku..."
"Oooh...aku tahu. Jangan-jangan kalian ada hubungan di belakangku... iya?" tuduh Rinjani yang membuat Reza membeku beberapa saat, tak mampu berkata-kata.
masih mending Sean berduit, lha Farhan?? modal kolorijo 🤢
Siapa yg telpon, ibunya Farhan, Rinjani atau wanita lain lagi ?
Awas aja kalau salah lagi nih/Facepalm/
maap ya ibuu🙈🙈
Rinjani....kamu itu hanya dimanfaatkan Farhan. membuang Reza demi Farhan dan ternyata Farhan sudah mencari mangsa yang lain😂