Di tengah hiruk pikuk kota Bandung yang modern, seorang pemuda terjebak dalam cinta yang tidak seharusnya. Ia tak tahu, bahwa wanita yang ia cintai menyimpan masa lalu yang kelam — dan hubungan mereka bukan sekadar kisah cinta biasa, melainkan takdir yang berulang dari masa lampau...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon gilangboalang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BABAK II: BENIH TRAGEDI ADIEGAN 6: WAKTU YANG MENIPU (10 TAHUN KEMUDIAN) Waktu
Waktu adalah penipu terbesar bagi Nawangsih. Sepuluh tahun telah berlalu sejak hari-hari cerah di mana Reza (kini berusia 15 tahun) masih merengek meminta es krim di gerbang sekolah TK. Selama satu dekade itu, Nawangsih tetap terperangkap dalam kulit mudanya, sebuah patung yang menolak menua. Ia kini terlihat seperti wanita berusia akhir dua puluhan atau awal tiga puluhan—hanya matanya yang menyimpan kelelahan dan kekhawatiran yang seharusnya dimiliki wanita setengah baya.
Kontrasnya sangat tajam dengan REZA (15 tahun). Anak yang dulu rajin dan manis itu kini tumbuh menjadi remaja yang sulit diatur, tinggi, dengan raut wajah keras yang mewarisi temperamen ayahnya.
Sore itu, suasana rumah yang dulu harmonis kini tegang dan dingin. Nawangsih berdiri di ambang pintu, menatap jam dinding dengan cemas. Sudah lewat jam maghrib, dan Reza belum pulang. Jantungnya selalu berdebar kencang setiap kali matahari terbenam.
Akhirnya, pintu berderit. Reza masuk dengan langkah gontai. Kaus putih seragam SMP-nya sudah lusuh, terdapat noda kering berwarna kecokelatan yang jelas merupakan darah. Di sudut bibirnya ada luka kecil yang membiru.
Nawangsih tidak perlu bertanya. Ia tahu apa yang telah dilakukan putranya.
"Dari mana kamu, Reza?" tanya Nawangsih, suaranya pelan namun mengandung kekecewaan yang menusuk.
Reza melempar tasnya ke lantai dengan kasar, suaranya terdengar malas dan dingin.
"Bukan urusan Mama. Main saja."
"Main? Main apa sampai bajumu kotor begini? Itu darah, Reza! Kamu tawuran lagi?" desak Nawangsih, berjalan mendekat.
Reza mundur selangkah, menolak disentuh. Ia sudah terlalu besar dan terlalu angkuh untuk dicemaskan.
"Biasalah. Kenapa sih, Ma? Mama kayaknya senang banget ngatur-ngatur hidup Reza. Reza sudah besar. Sudah bisa jaga diri."
"Jaga diri bagaimana? Mama tahu pergaulanmu di luar sana! Mereka anak-anak berandal, Reza! Kamu sudah janji akan jadi Nahkoda, akan jadi orang sukses! Bukan malah berkelahi setiap hari!"
"Nahkoda? Itu janji anak lima tahun! Reza nggak butuh jadi Nahkoda! Reza cuma mau bebas!" teriak Reza, amarah remajanya meledak.
Reza selalu membantah, selalu melawan. Setiap kata yang keluar dari mulut Nawangsih, seolah menjadi tantangan yang harus ia langgar. Cinta tulus yang dulu ia pupuk kini dihadapinya dengan penolakan keras.
Tuduhan dan Kenyataan yang Pahit
Beberapa hari setelah pertengkaran itu, ketegangan semakin memburuk. Nawangsih menyadari ada yang hilang dari tas kerjanya—uang tunai yang ia sisihkan untuk membayar tagihan sekolah Reza.
Ia mencari ke seluruh rumah. Tidak ada.
Nawangsih menunggu Reza pulang. Begitu Reza masuk, Nawangsih langsung mencegatnya.
"Kamu ambil uang Mama, Reza?" tanya Nawangsih, matanya tajam dan terluka.
Reza berpura-pura bingung.
"Uang apa, Ma? Reza nggak tahu."
"Jangan bohong! Uang tagihan sekolahmu! Ada tiga ratus ribu. Mama simpan di tas kerja, dan sekarang hilang!"
Reza membuang pandangan. Ia mulai kesal karena dituduh, padahal ia memang pelakunya.
"Mama nuduh Reza? Reza bukan pencuri, Ma!"
"Bukan pencuri? Lalu untuk apa kamu berkelahi? Untuk apa kamu keluyuran dengan anak-anak jalanan itu? Apakah kamu tidak sadar betapa Mama harus bekerja keras untuk kita berdua?!" air mata Nawangsih mulai menetes, kekecewaan itu begitu menyakitkan.
Reza malah tertawa sinis. Tawa yang membuat hati Nawangsih mencelos.
"Makanya, kalau punya uang banyak, nggak usah ditaruh di tempat tersembunyi! Lagian, Reza cuma ambil sedikit, kok. Buat traktir teman-teman Reza yang mau bantu Reza kalau ada tauran!"
Pengakuan itu terasa seperti belati yang menusuk. Nawangsih memegang kepalanya, merasa dunia di sekelilingnya berputar. Anak yang ia besarkan dengan seluruh cintanya kini bukan hanya pemberontak, tetapi juga pencuri.
"Kamu... kamu sudah gila, Reza. Kamu sudah menghancurkan dirimu sendiri."
"Mama yang gila! Mama yang bikin Reza kayak gini! Mama selalu sembunyikan Papa dari Reza! Mama selalu terlihat kayak anak kuliahan padahal umur Mama sudah tua!" seru Reza, menyentuh titik paling sensitif ibunya.
Setiap argumen yang Reza keluarkan selalu kembali ke masalah usia dan rahasia ayahnya. Ia tahu, dengan menyerang penampilan Nawangsih yang awet muda, ia bisa menyakiti ibunya lebih dalam daripada sekadar mencuri. Ia melihat Nawangsih menangis, tetapi rasa kasihan sudah lama hilang, digantikan oleh rasa marah dan tuntutan kebenaran.
Puncak Pemberontakan
Konflik memuncak beberapa minggu kemudian.
Malam itu, Nawangsih kembali menemukan Reza di gudang belakang, tempat yang kini menjadi markas rahasia Reza dan teman-temannya. Ia mencium bau alkohol yang menyengat dan asap rokok yang menusuk hidung.
Nawangsih, meskipun terlihat seperti remaja akhir, memasuki gudang itu dengan keberanian seorang ibu yang putus asa. Ia melihat Reza dan dua temannya sedang menenggak botol.
"Keluar! Kalian semua, keluar dari sini!" Nawangsih berteriak, suaranya serak.
Teman-teman Reza langsung melarikan diri, meninggalkan Reza yang sudah mabuk dan limbung.
"Mama... Jangan mengganggu, Ma," ujar Reza, mencoba berdiri tegak namun gagal.
Nawangsih melihat botol itu, melihat luka di tangan Reza, dan melihat masa depannya hancur berkeping-keping. Air mata mengalir deras di wajahnya yang tetap muda.
"Kamu mau jadi apa, Reza? Mama sudah lelah! Mama sudah tidak sanggup lagi!"
"Reza tidak pernah minta dilahirkan!"
Kata-kata terkutuk itu, yang diucapkan Reza dalam mabuk dan amarah, adalah batas akhir kesabaran Nawangsih. Dalam pikirannya, ia teringat Sangkuriang yang membunuh ayahnya. Ia teringat takdir yang harus ia tolak. Ia harus mengusir anak ini, agar ia bisa bertahan hidup.
Nawangsih mundur, memejamkan mata, memanggil sisa-sisa kekuatannya.
"Pergi," kata Nawangsih, suaranya kini dingin, tanpa emosi. "Kamu bilang ingin bebas? Silakan. Mulai saat ini, kamu bebas. Pergi dari rumah ini. Jangan pernah kembali sebelum kamu tahu apa arti hidup yang sebenarnya. Dan jangan pernah temui Mama lagi!"
Nawangsih berbalik, meninggalkan Reza sendirian, mabuk, dan diusir dari satu-satunya tempat yang pernah ia sebut rumah.