Entah wanita dari mana yang di ambil kakak ku sebagai calon istrinya, aroma tubuh dan mulutnya sungguh sangat berbeda dari manusia normal. Bahkan, yang lebih gongnya hanya aku satu-satunya yang bisa mencium aroma itu. Lama-lama bisa mati berdiri kalau seperti ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rika komalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mengabaikan
Aku dan ibu masih terus terdiam, entah apa maksud ibu mbak Sinta memberikan kue aneh tersebut. Jangan-jangan yang di bawa pak RT dan dua bapak lainnya sama lagi. Astagfirullah.
"sebenarnya ada apa ini Ras?" ucap ibu seraya melihatku.
" Laras juga gak tau buk, tapi memang ada sesuatu yang aneh terjadi saat kita berada di sana buk. "
" sesuatu apa?" tanya ibuku serius. Bahkan kue yang di bawa dari tempat mbak Sinta, sudah di masukkan kembali ke dalam plastik.
"ibu masih ingatkan, yang Laras permisi ke belakang untuk buang kecil?"
" iya-iya. Ingat ibu, memangnya ada apa?"
Lalu ku cerita secara mendetail tentang makhluk itu, bagaimana dia dengan rakusnya menjilat semua makanan ya g ada di atas meja, bahkan air liurnya sampai menetes mengenai lantai.
Ibuku sampai melongo, bahkan terlihat dia sesekali menutup mulutnya.
"ya Allah, sebenarnya mereka itu siapa ya Laras. Kok sampai segitunya?"
" entahlah buk, tapi yang pastinya mereka itu bersekutu dengan iblis. Apalagi pakaian yang di gunakan mbak Sinta, itu di penuhi dengan lendir buk."
" Kita harus bicarakan ini dengan Rama Laras, ibu gak mau dia jadi tumbal ataupun korban mereka."
"sebaiknya memang seperti itu buk, sebelum semuanya terlambat."
ibu ku mengangguk, tunggu dan tunggu tapi mas Rama belum kunjung pulang juga. Bahkan ini sudah menunjukkan pukul lima sore tapi batang hidung nya belum juga kelihatan.
"sebenarnya Rama itu kemana sih, jam segini belum pulang juga."
" gak tau buk, sebaiknya kita tunggu saja. Kalau misalnya magrib belum pulang juga, biar Laras susul ke rumah mbak Sinta."
Ibu ku tak menanggapi, tapi sorot matanya masih terus menatap ke depan hingga terdengar lah suara motor milik mas Rama.
"assalamu'alaikum."
"wa'alaikumussalam," jawab kami serempak.
Kemudian mas Rama menatap kami dengan tatapan bingungnya, sampai-sampai dia mengerutkan dahi nya.
"ada apa?" ucapnya
"batalkan pernikahan mu dengan Sinta Rama." ucap ibu sembari melihat anak lelaki satu-satunya itu.
Mas Rama yang bingung, mengerutkan dahinya sembari melihat ibu dengan lekat. Aku yang duduk bersama ibu, memandang kakak ku tersebut semoga kali ini hatinya bergerak setidaknya mendengarkan ucapan ibu kami.
"maksud ibu apa?"
"Ram, mereka bukan manusia Rama. mereka itu iblis."
Mas Rama seketika membolakan mata, begitupun dengan ku. Aku kira ibu akan bicara perlahan tapi langsung to the point.
"iblis apa buk, mereka itu manusia."
Ibu lantas membuang nafasnya dengan kasar, bahkan sekarang dia menatap mata mas Rama dengan tajam.
"kau tidak percaya dengan ibu, Rama!"
"apa yang harus Rama percayai buk, Sinta dan keluarganya itu manusia buk. Bukan iblis."
"Memang mereka itu manusia, tapi manusia pemuja iblis."
Mas Rama tampak meraup wajahnya, memejamkan mata mencoba menetralisir guncangan di dadanya.
"tolonglah buk, jangan seperti ini. Rama sangat mencintai Sinta, apalagi kita baru melamar nya buk. Masa iya kita batakkan."
"ibu Rama kalau tidak ada bukti, juga tidak akan berkata seperti itu."
Mas Rama kemudian melihat kami berdua lalu matanya terfokus padaku.
"Ini semua pasti hasutanmu kan Laras," ucapnya dengan bengis.
"hasutan apa mas, kau jangan seenaknya menyalahkan begitu."
Dia malah tersenyum, seolah meremehkan apa yang ku ucapkan barusan.
"lalu kalau bukan kau siapa lagi, selama ini kau lah yang menentang hubungan ku dengan Sinta. Yang inilah itulah, padahal bukti tidak ada sama sekali."
Aku yang mulai sudah tersulit emosi seketika menatap nya tajam. Lalu aku beralih pada ibu, nafasku juga sudah memburu.
"kalau aku cerita, apa kau akan percaya mas? Tidakkan, sebisa mungkin aku melindungi mu di sini dari keluarga setan itu. Bahkan, ibu juga sudah melihat sendiri, seharusnya dengan adanya aku seperti ini membuat mu menyelidiki siapa mereka, bukan malah menyalahkan."
"Diam! Ini hidupku. Tidak usah kau ikut campur, pilihan ku sudah mantap, aku akan tetap menikahi Sinta, terlepas kalian setuju atau tidak."
" Rama!" bentak ibu.
"selama ini ibu tidak pernah mengajarimu berkata seperti itu pada wanita, apalagi ini adikmu. kaki begini karena sayang padamu, seharusnya kau mengikuti apa kata Laras, karena ibu sendiri sudah melihatnya."
" melihat apa buk? Setan? Hantu?"
Ibu membuang wajahnya, tampak dia sangat kesal saat ini.
"Terserahlah Rama, yang terpenting ibu dan Laras sudah memperingatkan ku. Selebihnya terserah mu."
Mas Rama kemudian beranjak, berjalan menuju kamarnya. Sementara aku dan ibu hanya bisa menatapnya, dasar keras kepala.
"bagaimana ini buk,"
"kita tidak bisa melakukan apapun Laras, yang kita bisa kita lakukan hanya memantaunya. Sebisa mungkin, kita harus sering memperhatikan nya. Jangan sampai kita lengah."
Aku mengangguk, hmmm memang sebaiknya seperti itu. Sangat susah menasehati orang yang lagi kasmaran, seandainya di berikan tai kambing pasti dia bilang tai kambing rasa coklat. alah, preeeet.
Hingga malam menjelang, mas Rama baru keluar dari kamarnya. Kini kami duduk bersama di meja makan, tampak dia dengan perlahan mulai membuka kue yang di berikan ibunya mbak Sinta.
"jangan di makan Ram!" ucap ibu spontan.
" kenapa buk, tapi ini ada bekas potongan nya." ucapnya bingung.
" kue itu ada belatung nya Rama, itu ibu yang memotong nya tadi, rupanya saat di lemparkan ke lantai makan ini seketika di kelilingi belatung."
Mas Rama menggelengkan kepalanya, lalu melanjutkan aksinya untuk membelah kue tersebut lalu dengan ringannya memasukkan makanan tersebut ke dalam mulutnya.
"enak," ucap seraya melihat kami.
Gegas ibu mengambil satu potong lalu di lemparkan ke lantai, namun yang terjadi bukan seperti yang siang tadi melainkan tidak terjadi apa-apa.
"loh, belatung nya mana?" ucap ibu spontan.
" belatung nya gak ada Laras," tambahnya lagi.
Aku turut melihat, memang tak ada belatungnya. Sementara itu mas Rama tersenyum seolah mengatakan kalau kami ini bodoh.
"udahlah buk, memang gak ada belatungnya. Makanan enak begini sayang kalau dianggurin."
Ibu terdiam, tapi matanya masih terus terfokus pada lantai tersebut, beberapa menit di tunggu tetap tidak ada belatung yang keluar dari kue tersebut.
Lalu ibu melihat mas Rama, kakakku tersebut masih terus asyik memakan kue berwarna hijau tersebut.
"sudahlah buk, tidak usah berprasangka buruk pada keluarga Sinta. Mereka itu keluarga baik-baik. Percaya sama Rama."
Ibu lantas melihatku, ku geleng kan kepalanku dengan pelan. Bahkan aku tidak perduli jika mas Rama tau aku tidak setuju dengan pendapat nya.
Waktu berlalu, hari begitu cepat kus rasakan. Tanpa terasa besok adalah hari di mana kakakku Rama akan sah menjadi suami mbak Sinta, sampai tengah malam begini mataku juga enggan terpejam.