Kinara, seorang pejuang akademis yang jiwanya direnggut oleh ambisi, mendapati kematiannya bukanlah akhir, melainkan awal dari sebuah misi mustahil. Terjebak dalam "Sistem Koreksi Generasi: Jalur Fana", ia ditransmigrasikan ke dalam raga Aira Nadine, seorang mahasiswi primadona Universitas Cendekia Nusantara (UCN) yang karier akademis dan reputasinya hancur lebur akibat skandal digital. Dengan ancaman penghapusan jiwa secara permanen, Kinara—kini Aira—dipaksa memainkan peran antagonis yang harus ia tebus. Misinya: meraih Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) sempurna dan "menaklukkan" lima pria yang menjadi pilar kekuasaan di UCN.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon chiisan kasih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
JEJAK PENGKHIANATAN DAN DIARY TERSEMBUNYI
Aku menatap kartu nama sindikat judi itu, lalu pada tulisan tangan yang rapi dan elegan:
‘Jika kau bisa mengumpulkan 150 juta dalam sebulan, utangmu lunas.’
Serena. Nama itu berputar di benakku seperti mantra keji. Saudara angkat Amara. Mahasiswa berprestasi sempurna yang selalu dibandingkan dengan Amara yang hancur. Bukan penagih utang, bukan rentenir. Seseorang yang dekat, yang memiliki akses ke informasi sensitif, dan yang kini menaikkan taruhan sepuluh kali lipat. Ini bukan lagi soal utang; ini adalah permainan kekuasaan yang kejam.
“Sistem, konfirmasi. Apakah Amara pernah menyebut Serena terkait masalah finansial?” tanyaku, suaraku nyaris berbisik di tengah keheningan kamar sewa yang berantakan itu.
[RESPON SISTEM]
Berdasarkan memori Amara: Tidak ada koneksi finansial langsung. Serena selalu digambarkan sebagai 'malaikat pelindung' yang membenci kebodohan Amara, tetapi tidak pernah secara aktif merugikannya—setidaknya, di permukaan. Namun, Amara mencatat kecemburuan akademis Serena sejak SMA.
Kecemburuan akademis. Aku duduk di tepi tempat tidur Amara, merenungkan ironi ini. Kinara, si jiwa yang mati karena kelelahan mengejar standar, kini berada di tubuh yang dihancurkan oleh standar itu sendiri, didorong oleh kecemburuan seseorang yang seharusnya mencintainya.
“Maka hipotesisnya jelas,” aku memulai analisis internalku, mencoba memisahkan emosi Amara dari logika Kinara.
“Serena bukan sekadar cemburu. Dia adalah operator yang sengaja menghancurkan citra Amara, menjadikannya 'Antagonis Terbuang' yang sempurna untuk dibuang oleh sistem. Skandal judi online, IPK 0.9—semua itu mungkin adalah bagian dari proyek penghancuran karakternya.”
Jika hipotesis ini benar, misi Kinara jauh lebih besar daripada sekadar meraih nilai A dari Pak Arka. Aku harus melawan manipulasi psikologis dan sosial yang sudah berjalan bertahun-tahun.
“150 juta dalam sebulan adalah jebakan,” ujarku pada diri sendiri. “Serena tahu aku tidak akan mendapatkannya, dan ketika batas waktu itu tiba, dia akan memiliki alasan yang sah untuk 'menyingkirkan' Amara sepenuhnya, mungkin dengan memicu skandal yang lebih besar.”
Aku harus mencari tahu mengapa Amara membiarkan dirinya hancur begitu parah. Untuk itu, aku harus menggali jejak kehidupan Amara yang lama.
Ruangan Amara adalah zona perang emosional. Tumpukan baju kotor bertebaran, buku-buku kuliah tertumpuk tidak beraturan, dan bau asap rokok yang tertinggal. Aku belum berani menyentuh apa pun selain barang-barang pentingku. Tetapi sekarang, aku harus melanggar batas itu.
Misi Pak Arka, ‘Kumpulkan 10 Narasi Perundungan,’ memerlukan Kinara untuk memahami korban. Dan siapa korban yang lebih sempurna daripada Amara sendiri?
Aku mulai menyisir meja belajar Amara. Di bawah tumpukan kertas ujian yang mendapat nilai D dan F, aku menemukan sebuah buku catatan dengan sampul hitam polos. Bukan buku kuliah. Itu terlihat seperti tempat Amara menuliskan keluhan. Tetapi isinya mengejutkanku.
Bukan keluhan, melainkan puisi dan sketsa. Sketsa wajah dosen, termasuk Pak Arka—digambar dengan cepat, tetapi menunjukkan bakat observasi yang tajam. Puisi-puisinya penuh dengan metafora tentang ‘kandang emas’ dan ‘kehilangan suara’.
“Amara memiliki bakat artistik dan sensitivitas sosiologis yang tinggi,” komentarku. “Dia bukan idiot akademis. Dia memilih untuk tidak peduli.”
Mengapa? Mengapa jiwa yang begitu sensitif memilih jalur hedonisme dan kehancuran diri?
Aku mendorong laci meja. Laci itu macet. Aku menariknya dengan paksa, dan laci itu terbuka, memperlihatkan bukan hanya sampah, tetapi juga kotak kayu kecil berdebu yang tersembunyi di bagian belakang.
[PEMBERITAHUAN SISTEM]
ITEM PENTING DITEMUKAN: Kotak Memori Terlarang. Potensi untuk mengungkap core trauma Amara.
Jantungku berdebar. Kinara yang efisien jarang merasa bersemangat, tetapi ini adalah kunci yang aku butuhkan. Jika aku bisa memahami trauma Amara, aku bisa lebih efektif menggunakan tubuh ini untuk misi Koreksi.
Aku membuka kotak itu. Di dalamnya ada beberapa foto yang disobek (terutama foto Serena dan Amara yang tampak bahagia di masa lalu), dan sebuah buku bersampul kain lusuh: sebuah diary.
Aku membuka halaman pertama yang tidak kosong. Tulisan tangan di sana rapi, berbeda jauh dengan coretan kasar Amara yang sekarang. Ini pasti ditulis saat Amara masih SMA, sebelum kejatuhannya.
(Catatan Diary Amara, 3 tahun lalu)
‘12 Mei. Hari ini Bu Guru memuji esai sosiologiku di depan kelas. Aku merasa melayang. Aku berhasil membongkar bagaimana sistem sekolah menekan kreativitas. Aku merasa seperti benar-benar menjadi Nasywa (nama tengah Amara). Serena tidak melihat. Dia sibuk menghitung berapa poin IP-nya yang akan naik jika dia memenangkan lomba debat.’
‘Malamnya, Serena masuk kamar. Dia tidak marah, dia hanya sedih. Dia bilang, “Nasywa, jangan terlalu menonjol. Biarkan yang lain yang menonjol. Kau harus fokus pada matematika. Jika kau terlalu kritis, mereka akan melihatmu sebagai ancaman. Dan kau akan ditinggalkan sendirian.”’
Aku membaca ulang paragraf itu. Itu bukan nasihat kakak. Itu adalah peringatan dari seorang manipulator.
‘15 Mei. Aku mencoba mengikuti nasihat Serena, tetapi aku tidak bisa. Aku berdebat dengan guru sejarah tentang kolonialisme, dan aku menang. Saat pulang, Serena memberitahuku bahwa dia kehilangan kesempatan masuk BEM elit karena aku—karena aku terlalu berisik dan menarik perhatian negatif. Aku merasa bersalah. Apakah aku memang ‘terlalu banyak’?’
Aku membalik beberapa halaman. Pola itu terus berulang. Setiap kali Amara menunjukkan kecerdasan kritisnya, Serena akan membalasnya dengan manipulasi emosional, membuat Amara merasa bersalah, egois, atau 'terlalu berisik'. Perlahan, Amara mulai meredam dirinya.
Kinara mulai merasakan mual. Ini lebih buruk daripada perundungan fisik. Ini adalah penghancuran jiwa yang disengaja oleh orang yang seharusnya menjadi keluarga. Serena tidak ingin Amara menjadi buruk; dia ingin Amara menjadi tidak relevan, agar dirinya sendiri bisa bersinar tanpa bayangan.
‘2 Agustus. Aku tidak peduli lagi dengan IPK. Aku sudah mencoba. Aku sudah lelah. Semakin aku kritis, semakin aku menjadi masalah. Serena benar. Mungkin lebih mudah menjadi bodoh. Aku menghapus semua akun media sosialku. Aku hanya ingin minum dan tidur. Jika aku Antagonis Terbuang, setidaknya aku tidak perlu berjuang lagi.’
Di halaman ini, tulisan tangan Amara mulai berubah, menjadi lebih kasar, miring, dan cepat. Ini adalah titik balik. Titik di mana Amara menyerah pada kecerdasan kritiknya dan merangkul nihilisme hedonis.
“Jadi, Pak Arka benar,” gumamku. “Kritik struktural Amara tidak lahir dari kepanikan finansial. Kritik itu ada sejak dulu, tetapi dipadamkan secara sistematis oleh lingkungan terdekatnya. Kepanikan finansial hanyalah hasil akhir dari kehancuran ini.”
Aku menutup diary itu, kini memegangnya erat-erat. Aku tidak hanya mewarisi utang dan reputasi Amara. Aku mewarisi trauma Amara, dan musuh pribadinya.
“Sistem,” panggilku. “Ubah prioritas misi. Misi finansial tetap berjalan, tetapi misi utama kini terhubung dengan Seri 4. Aku harus memahami Serena dan Sistem Pengendali Universitas (SPU) yang dia jaga.”
[RESPON SISTEM]
Prioritas Misi Diperbarui. Utang 150 Juta adalah 'Sub-Misi Penghalang Kelas S'. Target Utama: Bersihkan Nama Amara dan Hancurkan SPU. Untuk melawan manipulator seperti Serena, Kinara harus memiliki sekutu. Mulailah Misi Target 10 Narasi Perundungan. Ini akan mempertemukan Anda dengan korban lain dan memicu interaksi dengan Target 2 (Rendra) dan 3 (Dimas).
Kinara mengangguk. Aku memiliki diary Amara, dan kini aku memiliki alasan yang lebih kuat untuk menggunakan sarkasme dan kritik di kelas Pak Arka. Aku bukan lagi sekadar robot Koreksi; aku adalah pewaris dendam seorang korban.
Aku meraih buku catatan sosiologi Pak Arka. Aku akan mencari 10 narasi perundungan, dan aku akan mulai dengan mewawancarai cermin. Aku akan mewawancarai Amara Nasywa.
Keesokan paginya, aku pergi ke fakultas. Aku harus mencari sepuluh mahasiswa yang mau terbuka, yang merupakan tugas yang mustahil bagi Antagonis Terbuang. Siapa yang mau berbicara jujur dengan Amara?
Aku duduk di kantin, mengamati keramaian, ketika sebuah suara sinis menyapa dari belakangku.
“Wow, Amara Nasywa. Kudengar kau sekarang menjadi sosiolog kritis setelah kau mendapatkan nilai kuis 95. Apa? Apakah judi onlinemu mengajarkanmu teori Marx?”
Aku berbalik. Itu adalah Dion, mahasiswa elit dari BEM yang terkenal suka merundung mahasiswa tahun pertama. Dia didampingi oleh dua pengikut setianya, menatapku dengan ejekan terbuka.
Mereka adalah contoh sempurna dari apa yang Pak Arka sebut ‘Mahasiswa Patuh yang Berkuasa.’
Dion mengambil kursi di depanku tanpa izin. “Kau sekarang sedang mengerjakan tugas dari Pak Arka, kan? Mencari cerita sedih tentang perundungan? Mengapa kau tidak mewawancarai dirimu sendiri saja? Kau adalah korban terbesar dari dirimu sendiri.”
Ini adalah konflik ruang kuliah yang tak terhindarkan (Misi Outline Bab 8). Aku harus membalikkan perundungan ini.
Aku tersenyum tipis. Senyum yang tidak pernah dimiliki Amara, senyum yang dingin dan cerdas.
“Kau benar, Dion,” jawabku, nadaku tenang. “Aku adalah korban terbesar dari diriku sendiri. Dan itulah mengapa aku bisa membedakan antara perundungan yang jujur dan intimidasi murahan seperti yang kau lakukan saat ini.”
Dion tertawa keras. “Intimidasi? Kau pikir aku takut padamu, Amara si utang 150 juta?”
“Aku tidak bilang kau takut padaku,” balasku, mencondongkan tubuh sedikit. “Aku bilang kau takut pada Pak Arka. Dan aku, kebetulan, adalah mahasiswa favoritnya sekarang. Jadi, mengapa kau tidak mencoba menjauh, sebelum aku memutuskan untuk mewawancarai dirimu dan seluruh BEM-mu untuk studi kasus tentang ‘Microsociology of Elitist Bullying’?”
Wajah Dion menegang. Dia benci disebut elit dan murahan. Aku telah menusuk titik sensitifnya.
“Jaga mulutmu, Nasywa. Kau tidak tahu siapa yang kau ajak bicara. Jika kau terus mencolok, kau akan menarik perhatian yang salah. Dan itu akan lebih buruk daripada sekadar utang.”
Dion berdiri, menggeser kursinya dengan kasar. Sebelum dia pergi, dia membisikkan sesuatu yang membuat darahku membeku.
“Kau tahu, 150 juta itu angka yang cantik. Aku dengar dari Serena, kau harus mencapainya dalam sebulan. Semoga berhasil, pecundang.”
Kinara menahan napas. Dion tidak hanya tahu tentang utangku yang baru, tetapi dia juga menyebut nama Serena. Saudara angkat Amara—si malaikat pelindung—ternyata memiliki tentakel yang mencapai seluruh jaringan elit kampus, termasuk BEM.
Aku menyadari betapa dalam aku terjebak. Aku tidak hanya melawan sindikat judi dan IPK 0.9. Aku melawan Serena, sang arsitek kegagalanku, yang kini menggunakan seluruh jaringan kampus untuk memastikan aku kembali ke tempat sampah.
Aku harus segera menemukan aliansi, atau aku akan hancur sebelum sempat membayar cicilan utang pertamaku yang baru.