NovelToon NovelToon
Aku Kekasih Halalmu

Aku Kekasih Halalmu

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Dosen / Nikahmuda / CEO / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:2.8k
Nilai: 5
Nama Author: RahmaYusra

Hana Hafizah menjadi perempuan paling tidak beruntung ketika ayah dan ibu memintanya untuk menikah, tetapi bukan dengan lelaki pilihannya. Ia menolak dengan tegas perjodohan itu. Namun, karena rasa sayang yang dimilikinya pada sang ayah, membuatnya menerima perjodohan ini.

•••

Gadibran Areksa Pratama. Dosen muda berumur 27 tahun yang sudah matang menikah, tetapi tidak memiliki kekasih. Hingga kedua orang tuanya berkeinginan menjodohkannya dengan anak temannya. Dan dengan alasan tidak ingin mengecewakan orang yang ia sayangi, mau tidak mau ia menerima perjodohan ini.

•••

“Saya tahu, kamu masih tidak bisa menerima pernikahan ini. Tapi saya berharap kamu bisa dengan perlahan menerima status baru kamu mulai detik ini.”

“Kamu boleh dekat dengan siapapun, asalkan kamu tahu batasanmu.”

“Saya akan memberi kamu waktu untuk menyelesaikan hubungan kamu dengan kekasih kamu itu. Setelahnya, hanya saya kekasih kamu. Kekasih halalmu.”

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RahmaYusra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Aku Kekasih Halalmu – Mahasiswi

Hari berganti hari, hari ini Hana berangkat ke kampus diantar Evan. Berhubung Galang tidak memiliki jadwal ke kampus hari ini dan ia juga sedang ada urusan –katanya ada masalah dan mengharuskannya untuk ke kafe. Baiklah, Hana mengatakan tidak apa-apa. Ia akan ke kampus sendiri saja.

“Kamu mau berangkat?” tanya Evan, ia sedang duduk bersama Lidia di depan televisi menonton berita ditemani kopi.

Hana mengangguk. “Iya, Pa. mata kuliah hari ini ada jadwal pagi,” katanya lalu duduk disofa sebelah orang tuanya.

Sejenak, laki-laki paruh baya itu menoleh keluar jendela dan kembali menatap Hana. Lidia yang mengerti dengan tatapan sang suami pun membuka suara-nya. “Udah dijemput Galang?”

Hana menggeleng. “Nggak, Ma. Galang lagi ngurus kafe. Katanya ada masalah.”

Evan dan Lidia pun mengangguk. “Ayo, hari ini Papa yang antar,” kata Evan membuat Lidia tersenyum.

Mendengar itu, Hana sedikit kaget. “Papa beneran? Papa hari ini nggak berangkat kerja?”

Evan tertawa ringan mendengarnya. “Iya, beneran. Hari ini Papa sengaja ambil libur. Semua karyawan juga Papa liburin selama tiga hari.”

Evan merupakan seorang pengusaha yang bergerak dibagian sandang. Sepatu, pakaian, serta tas menjadi andalannya. Ia memiliki pabrik sendiri dalam membuat Barang tersebut dan sudah disebar luaskan hampir diseluruh Indonesia. Bahkan ada juga sampai ke negeri seberang.

Tidak mengherankan, karena barang-barang yang diproduksi oleh EvBrand–brand yang diluncurkan oleh pria paruh baya tersebut sangat berkualitas. Tidak jarang juga kalau artis Tanah Air juga ada yang memakai EvBrand.

Dengan cakupan pasar yang tidak lagi sedikit, cukup mengherankan bagi Hana ketika mendengar Evan malah meliburkaan semua karyawannya.

Hana mengernyit. “Kenapa, Pa?”

“Nggak papa, kok. Kan, tahun ini mereka belum dapat cuti libur. Makanya Papa liburin,” kata Evan. “Papa ambil kunci mobil dulu.” kemudian berlalu kekamar untuk mengambil kunci mobil.

Hana hanya mengangguk lalu menatap Lidia yang sudah melanjutkan tontonan-nya. Setelah itu, juga ikut menonton acara ditelevisi. Beberapa menit kemudian, Evan kembali lalu pamit pada istri-nya. “Aku pergi dulu,” katanya sambil mencium kening sang istri dengan lembut.

Lidia tersenyum dan membalas mencium punggung tangan Evan. “Hati-hati, ya.”

“Assalamu’alaikum.”

“Waalaikumussalam.”

Hana yang melihat adegan itu pun hanya tersenyum penuh bahagia. Orang tua-nya masih sangat harmonis di usia pernikahan mereka yang sudah puluhan tahun.

Kemudian Hana juga pamit pada mamanya. “Hana pergi dulu, Ma. Assalamu’alaikum.”

“Waalaikumussalam. Hati-hati ya.” Hana mengangguk dan tersenyum. “Iya, Ma.”

Kedua-nya lalu keluar rumah diantar Lidia hingga pintu utama. Lidia melambaikan tangannya saat dua orang yang dia sayangi itu telah berlalu.

***

Selama diperjalanan, mereka tidak banyak bicara. Bukan karena canggung, hanya saja memang tidak ada bahan obrolan. Jarang mengobrol juga membuat keduanya tidak terlalu memikirkan komunikasi harus selalu terjalin. Hingga Hana teringat sesuatu, yang kemudian membuatnya menatap Evan.

“Pa, Hana boleh tanya sesuatu?” Evan melihat kearah putrinya sebentar.

“Boleh, apa?”

Sementara itu, Hana nampak ragu untuk bertanya. Membuat laki-laki paruh baya itu mengernyit heran. Evan kembali menatap putrinya. “Kenapa jadi diam? Nggak jadi nanya?”

Diam sejenak, kemudian mengatakan, “Papa ... Nggak suka sama Galang, ya?” tanya Hana hati-hati.

Dari penglihatan Hana, papanya tidak menunjukkan reaksi apapun. Hanya diam lalu tersenyum tipis, membuat Hana mengernyit.

“Kamu kenapa nanya soal itu?”

Hana nampak menggeleng samar. “Karena Papa selalu diam kalau aku ngomongin soal Galang, malah aku sering lihat kalau Papa keliatan nggak suka kalau aku ngomongin Galang. Kenapa, Pa? Ada yang Papa sembunyiin?”

Lagi. Evan hanya diam. Tetapi senyumnya belum luntur. “Yang lebih kenal Galang, kan, kamu Han.”

“Tapi Papa bisa tahu sesuatu, kan?” dengan tegas Evan mengangguk.

“Apa itu?” tanya Hana penasaran.

Hana sama sekali tidak mengalihkan matanya dari sang papa sejak awal ia mulai bertanya.

Memperhatikan sekecil apapun reaksi papanya. Namun hingga mobil berhenti di parkiran kampusnya, Evan sama sekali tidak menjawab apapun lagi.

“Udah sampai,” kata Evan.

Hana menghela napas, tanpa bertanya ataupun menagih jawaban Hana segera melepas seat belt dan mencium tangan papanya. “Hana masuk dulu, Pa. Assalamualaikum.”

Evan tersenyum sambil mengelus rambut putri semata wayangnya kemudian mengangguk.

“Waalaikumussalam. Semangat belajarnya. Jangan pikirkan apapun dulu. Fokus saja sama pendidikan kamu.”

Hana pun ikut tersenyum dan mengangguk. “Pasti, Pa.”

Setelahnya, Hana keluar dan meninggalkan papanya yang masih melihat ia dari dalam mobil. Saat Hana sudah tidak terlihat di penglihatannya, barulah Evan pergi dari area kampus dengan laju sedang.

***

Menyusuri koridor kampus, lapangan FKIP diisi oleh anak-anak dari Pendidikan Olahraga yang sedang praktek. Panggung FKIP juga dipenuhi oleh anak-anak Pendidikan Bahasa Indonesia yang tengah latihan untuk acara Pekan Bahasa. Kemudian ada juga kelas-kelas lain yang diisi dengan adanya jam masuk.

Seperti biasa, FKIP memang selalu ramai. Mulai dari Senin sampai Minggu, kampus tidak pernah sepi. Ada saja kegiatan yang membuat mahasiswa-nya selalu ke kampus setiap hari.

Ketika masuk kelas, Hana mendapati kalau teman-temannya sudah banyak yang datang. Yang kemudian mencari posisi di mana keberadaan Nengsih. Setelah jumpa, ia pun langsung duduk di samping sahabatnya itu. Nengsih tengah sibuk dengan ponselnya sambil terus menyendok nasi goreng. Pantas saja ia tidak mendengar pekikan perempuan itu ketika ia masuk.

Hana menghela napasnya. “Ngunyah mulu, lo,” katanya setelah duduk dan meletakkan tasnya di bawah kursi.

Nengsih menoleh dan mematikan ponselnya. “Laper gue, belum makan di kosan. Telat bangun,” katanya lalu meminum air mineral.

“Alasan lo nggak pernah berubah, ya?” heran Hana, tetapi Nengsih hanya menampilkan cengirannya yang manis, menurutnya tentu saja.

Hana kemudian mengambil catatan dan pena di dalam tasnya. Perempuan itu pun menulis dikertas bersih dan menuliskan hari berserta tanggal hari ini.

Nengsih sendiri masih sedang berusaha menghabiskan nasi goreng miliknya. “Oh, iya, Han ...” kata Nengsih. Perempuan itu sudah selesai makan. Kemudian membereskannya, lalu berdiri untuk membuang sampah.

“Hm?” gumam Hana, tetapi matanya masih fokus pada catatannya.

“Bentar. Gue mau buang sampah dulu.”

Selesai mencatat, Hana mendongak menatap Nengsih yang sudah berjalan keluar untuk membuang sampah. Sambil menunggu, Hana membuka ponselnya.

Suasana kelas cukup ramai. Maklumlah, berhubung isinya perempuan semua. Wajar saja jika ribut. Ditambah dosen juga belum masuk, kesempatan yang tidak bisa dilewatkan bukan?

“Han!” Hana menoleh ketika namanya dipanggil. Devi, namanya.

“Kenapa?” tanya Hana.

Ia duduk dibagian belakang, sedangkan Devi di barisan depan dan sedikit ke ujung. Sehingga Devi harus membalikkan badannya agar bisa melihat Hana.

“Makalah kelompok udah gue kerjain sama Meta, kemarin. Lo bantu bikin pertanyaan, ya? Essay lima buah.”

Hana mengangguk. “Oke. Ntar kirim aja filenya ke gue.

Langsung gue kirim kok hari ini.”

“Oke. Bentar,” jawab Devi. Perempuan itu dengan masih posisi menatap belakang memainkan jarinya diponsel hitam miliknya. Tidak lama, notifikasi dari ponsel Hana berbunyi.

“Udah sampai, kan? Itu filenya. Gue tunggu sampe sore, ya. Sekalian pelajari, ya,” kata Devi lagi dan diangguki Hana dengan senyum tipis.

“Oke. Emangnya kita tampil kapan?” tanya Hana.

Devi menggeleng. “Nggak tahu. Kata Bapaknya, kan, dikumpul serentak hari Kamis depan. Bapak juga bilang kalau yang tampil bakalan diacak,” jelas Devi.

Sejenak Hana menghela napas pendek. Hal yang di benci Hana adalah tampil mendadak dan ditunjuk oleh dosen!

Tetapi meskipun begitu, Hana hanya bisa berkata, “oke, deh.” Devi memberikan jempolnya pada Hana. Kemudian kembali menatap ke depan dan bergabung dengan teman-temannya yang lain.

Hana lalu mengotak-atik ponselnya. Ia membuka file makalah yang telah dikirim Devi tadi. Matanya fokus membaca setiap kalimat yang ada pada makalah itu, hingga ia tidak sadar jika Nengsih sudah duduk disampingnya selama dua menit.

Nengsih menopang pipinya sebelah sambil melihat ke arah Hana. “Ngapain sih, lo?”

Hana menoleh cepat ke sampingnya. “Hm? Ini bikin essay makalah.”

Nengsih mengernyit. “Tugas? Tugas apaan?”

“Bikin makalah. Analisis. Dari Pak Nov,” jawab Hana. Nengsih hanya mengangguk.

“Lo udah?” tanya Hana.

“Udah.”

Hana mengernyit mendengarnya. Tangannya yang sudah mulai menuliskan pertanyaan-pertanyaan itu pun terhenti. “Cepat banget?”

Sontak, hal itu membuat Nengsih tertawa ringan. “Lo tahu sendiri kalau Humaira yang jadi salah satu anggota,” jawabnya santai, tetapi megundang decakan dari Hana.

Sudah pasti yang mengerjakannya adalah Maira.

“Terus lo ngapain? Numpang nama doang?” tawa Nengsih langsung berhenti seketika. Dengan kesal ia menoyor kepala Hana.

“Sembarangan lo kalau ngomong. Gue ngetik, sepuluh lembar yang gue ketik. Tahu lo!” jawab Nengsih.

“Alah! Paling tinggal ngetik doang. Kan, udah ditandai-in sama Maira.” Kata Hana dan melanjutkan kegiatan menulisnya.

“Ya iyalah!” jawab Nengsih cepat. “Males banget kalau disuruh baca dulu. Minus mata gue!”

“Astaghfirullah.”

***

1
minato
Nggak sabar buat lanjut ceritanya!
Linechoco
Ngangenin banget ceritanya.
Aerilyn Bambulu
Alur ceritanya keren banget!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!