NovelToon NovelToon
Darah Di Tanah Hujan

Darah Di Tanah Hujan

Status: sedang berlangsung
Genre:Kutukan / Misteri / Horor / Roh Supernatural
Popularitas:373
Nilai: 5
Nama Author: Siti Nuraida

Hujan tak pernah berhenti di Desa Waringin.
Sudah tiga puluh tahun, langit di atas desa itu selalu kelabu — dan setiap kali petir menyambar, satu orang akan lenyap begitu saja.

Penduduk hidup dalam ketakutan, tapi juga dalam penyangkalan. Mereka menanam bunga di kuburan kosong, berpura-pura tak tahu bahwa tanah di bawah mereka haus darah.

Suatu malam, Rendra, seorang fotografer urban legend, datang ke desa itu mencari adiknya yang terakhir kali mengirim pesan dari sana sebelum hilang.

Namun sejak langkah pertamanya, ia disambut aroma besi dari air hujan, wajah-wajah tanpa ekspresi, dan anak kecil yang berkata lirih:

“Kalau hujannya merah, jangan keluar, Kak.”

Semakin Rendra menggali, semakin ia sadar bahwa hujan di desa itu bukan anugerah — tapi kutukan dari darah ratusan korban ritual pengorbanan yang disembunyikan pemerintah desa dulu.

Dan di balik semua itu, “Yang Basah” menunggu…
Menunggu darah baru untuk menggantikan yang lama.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Nuraida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 26 — Kebenaran yang Tercuci

Rendra lari menembus hujan darah yang kini turun dengan intensitas yang mengerikan. Setiap tetes terasa panas dan lengket di kulit, bau amis besi menusuk hidungnya. Ia meninggalkan gubuk Nyai Melati, dengan Hardi yang terikat oleh air di bawah kendali Dimas, dan tubuh Nyai Melati yang telah berkorban.

Ia membawa serta beban terberatnya: foto-foto yang telah dicuci. Bukti kejahatan yang memicu kutukan tiga puluh tahun lalu.

Tujuan Rendra adalah Lapangan Desa, tempat Sumur Tua berada, tempat massa pasti akan berkumpul. Di tengah badai darah ini, ia tahu, penduduk desa akan mencari kambing hitam lain.

Rendra tiba di Lapangan Desa. Pemandangannya adalah kekacauan.

Ratusan penduduk desa berkumpul, tidak lagi melindungi diri mereka. Mereka berdiri di tengah hujan darah, basah kuyup, dengan wajah kaku dan mata yang liar. Mereka berteriak histeris, menyalahkan, dan menunjuk ke Sumur Tua yang terbuka.

Di tengah kerumunan, berdiri Sanusi, tetua desa yang memimpin kekerasan, wajahnya kini berlumuran darah kental.

“Kita harus bayar! Kita harus bayar!” teriak Sanusi, suaranya parau dan dipenuhi kepanikan. “Laras masih marah! Darahnya tidak diterima! Dia menuntut darah keturunan Hardi! Dimas sudah lari! Kita harus temukan yang lain!”

Rendra mendorong dirinya maju, menembus kerumunan. Ia menggunakan sisa tenaganya, dan menggunakan teriakannya.

“Hentikan! Hentikan semua ini!” raung Rendra.

Penduduk desa terdiam, menoleh ke arah Rendra, wajah-wajah mereka yang berlumuran darah kini menatapnya dengan pandangan kosong.

“Rendra! Kau kembali!” teriak Sanusi, matanya berkilat gembira. “Kau keturunan saksi yang melarikan diri! Kau juga harus membayarnya!”

Rendra tidak memedulikan Sanusi. Ia berdiri di tengah lapangan, di hadapan massa yang panik, tepat di depan lubang Sumur Tua yang menganga.

Ia mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Di tangannya, ia memegang selembar foto yang telah dicuci. Foto yang memuat wajah Hardi, rekan Ayahnya, di samping tubuh Laras yang ternoda.

“Kalian semua salah!” teriak Rendra, suaranya menembus suara hujan yang memekakkan telinga. “Kutukan ini bukan karena Dimas! Bukan karena aku! Bukan karena darah yang tidak suci!”

“Kutukan ini adalah karena kebohongan yang kalian sembunyikan selama tiga puluh tahun! Kutukan ini adalah karena kalian mengorbankan seorang gadis suci yang telah dinodai, dan kalian biarkan pelaku penodaan itu lari!”

Rendra melangkah maju, melempar foto basah itu ke tengah kerumunan. Foto itu mendarat di lumpur, disinari oleh cahaya obor yang redup.

“Lihat! Ini bukti kejahatan yang sebenarnya! Bukti yang Ayahku sembunyikan, yang Nyai Melati korbankan dirinya untuk mencetaknya! Pelaku penodaan Laras ada di sini!”

Seorang warga tua membungkuk dan mengambil foto itu. Ia membersihkan lumpur yang menempel di foto, dan menatapnya.

Wajah di foto itu, wajah Hardi yang muda dan sombong, menatapnya dari masa lalu.

“Hardi…” bisik warga tua itu. “Rekan kerja juru kamera… dia… dia yang menodainya?”

Kerumunan mulai riuh. Mereka saling dorong, mencoba melihat foto yang basah itu.

“Dia yang bertanggung jawab! Dia yang membuat Laras marah!” teriak warga lain.

Sanusi, yang menyadari kendalinya hilang, menerjang Rendra.

“Itu bohong, Rendra! Kau hanya ingin melindungi dirimu! Kau hanya ingin menipu air!” Sanusi mencoba merampas foto yang Rendra pegang.

Rendra menghindar. Ia mengangkat sisa foto yang ia cetak.

“Hardi ada di sini, di desa ini!” raung Rendra. “Dia datang untuk membakar semua bukti! Dia ada di gubuk Nyai Melati, ditahan oleh Dimas yang kini kalian anggap tumbal!”

Rendra menoleh ke Sumur Tua. Ia tahu, ia harus melakukan lebih dari sekadar menunjukkan bukti. Ia harus menyerahkan bukti itu kepada air.

Ia memegang semua foto itu, termasuk foto yang memuat wajah Ayahnya yang berdiri sebagai saksi bisu. Ia mencium foto itu, meminta maaf terakhir kepada Ayahnya.

“Laras!” teriak Rendra ke lubang Sumur Tua. “Ini dia kebenarannya! Bukti yang kau minta! Film yang disembunyikan Ayahku! Wajah pelaku penodaan yang lari! Aku serahkan kebenaran ini padamu!”

Rendra melempar semua foto itu, termasuk roll film basah yang telah dicuci, ke dalam lubang Sumur Tua.

Foto-foto itu jatuh ke dalam air yang gelap.

Saat foto-foto itu menyentuh air, Suara Laras meraung dari kedalaman sumur.

Raungan itu tidak lagi terdengar seperti amarah yang membara, melainkan ratapan kesedihan yang tak tertahankan, ratapan yang sangat manusiawi, seolah jiwanya akhirnya dilepaskan.

Hujan darah di atas Lapangan Desa tiba-tiba berhenti.

Tidak ada tetesan. Tidak ada lagi lumpur merah.

Keheningan yang mencekam turun ke desa.

Rendra, yang basah kuyup, hanya mendengar suara napas berat ratusan orang yang berdiri di sekitarnya.

Lalu, perlahan-lahan, hujan yang kembali turun berwarna bening, sejuk, dan murni.

Penduduk desa yang kerasukan terhuyung-huyung. Mereka menyentuh wajah mereka, merasakan air bening di pipi mereka. Darah di wajah mereka mulai luntur, mengalir ke lumpur.

Mereka tersadar. Wajah-wajah yang tadi penuh amarah dan kepanikan, kini dipenuhi kengerian dan rasa bersalah. Mereka melihat lumpur merah di sekitar mereka, yang kini dicuci oleh air murni.

“Kita… kita bunuh orang,” bisik seorang wanita, melihat ke Balai Desa yang hancur.

“Dimas… kita ingin mengorbankan Dimas,” kata seorang pria tua, air matanya bercampur dengan air hujan murni.

Sanusi, yang berdiri di samping Rendra, tidak sadarkan diri. Beban spiritual dari Laras telah meninggalkannya.

Rendra melihat ke Sumur Tua. Lubang itu kini tenang. Air di dalamnya tidak lagi bergejolak.

Kutukan telah berhenti. Kebohongan telah dicuci oleh air dan darah pengorbanan Nyai Melati.

Rendra berlutut, kelelahan, lega, tetapi juga hancur. Ia telah kehilangan adiknya, dan ia telah melihat kematian.

Tiba-tiba, ia merasakan tarikan lembut di tangannya.

Ia menoleh. Seorang pria tua, yang memegang foto Hardi yang basah, menatap Rendra dengan mata penuh penyesalan.

“Kami minta maaf, Nak Rendra. Kami pengecut. Kami telah mengubur kebenaran itu. Kami telah hidup dalam kebohongan selama tiga puluh tahun.”

Rendra hanya bisa mengangguk.

Mereka semua berlutut di tengah hujan yang membersihkan, menyesali dosa-dosa kolektif mereka, dan berduka atas semua yang telah hilang.

Rendra tahu, tugasnya belum selesai. Dimas masih di gubuk Nyai Melati, menahan Hardi, dan adiknya masih terperangkap di dunia bawah. Ia harus kembali untuk menyelamatkan mereka.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!