NovelToon NovelToon
Mess Up! Lover!

Mess Up! Lover!

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Obsesi / Anime / Angst / Trauma masa lalu
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: Cemployn

Mess Up!

Seperti judulnya, kisah cinta Ben tidak pernah berjalan mulus—hanya penuh kekacauan.
Hidupnya tenang sebelum ia bertemu Lya, seorang perempuan dengan trauma dan masa lalu yang berat. Pertemuan itu membuka jalan pada segalanya: penyembuhan yang rapuh, obsesi yang tak terkendali, ledakan amarah, hingga kehancuran.

Di balik kekacauan yang nyaris meluluhlantakkan mental Ben, justru tumbuh ikatan cinta yang semakin dalam, semakin kuat—dan tak terpisahkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cemployn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bagian 7 Pertemuan Pertama

Pria itu berlari setengah mati, napasnya tersengal-sengal, seolah dikejar bayangan yang tak terlihat. Wajahnya kusut seperti orang kehilangan akal, dan kupingnya terus berdenging, membuat pikirannya makin kacau. Rasa cemas yang meledak-ledak menyesakkan dadanya, mendorong kaki jenjangnya melangkah semakin lebar, semakin cepat. Ia hanya punya satu tujuan: segera sampai ke rumah sakit fakultas kedokteran.

Beberapa saat lalu, Leo masih larut dalam rutinitasnya, sibuk mengamati bisnis kafe yang ia kelola sekadar sebagai hobi. Namun, satu pesan singkat saja sudah cukup untuk menghentikan seluruh dunianya: orang yang paling berharga baginya mengalami sebuah insiden. Panik menyeruak, bayangan buruk berkelebat tanpa henti hingga membuatnya bergegas menuju rumah sakit. Di sanalah ia berdiri kini, menatap Lya dengan kepala berbalut perban dan kaki yang tergips.

”Leo! Kau sudah datang!” sapa Lya riang gembira, tidak tahu menahu terhadap perasaan Leo yang sudah kalut.

”Kenapa bisa kondisimu begini, Lya?” tanya Leo, mencoba mengatur nafasnya yang tersengal habis berlari.

Di kala itu Ben berdiri dari bangkunya, menghadap Leo dengan kecil hati, ”Maafkan aku, Lya mencoba menahanku saat aku terjatuh dari tangga.” Ia pun dengan tulus meminta maaf.

Permintaan maaf itu seolah tidak pernah sampai ke telinga Leo. Pandangannya mengeras, matanya buram oleh amarah. Dengan gerakan spontan, ia mendorong Ben dengan kasar hingga tubuh pemuda itu terhuyung menjauh dari Lya. Kedua anak muda itu sontak tersentak, udara di ruangan mendadak kaku, seakan semua berhenti bernafas.

”KENAPA YANG BISA KAU LAKUKAN HANYA MELUKAI LYA, SIALAN!” Leo murka. Suaranya meledak memecah keheningan lorong rumah sakit. Mengundang teguran untuk diam dari perawat yang mendengar itu dan menghampiri mereka.

Ben tidak bisa membela diri. Wajar bila orang terdekat Lya marah kepadanya. Bagi Ben, Leo memang sering terasa aneh dan menyebalkan, tapi di luar itu ia tahu pria itu menaruh kepedulian yang sama besar pada Lya. Dan bagaimana mungkin tidak? Luka yang dialami Lya jauh dari kata kecil, meski gadis itu sendiri berusaha meremehkannya.

”Leo...” Lya sempat memanggil nama Leo sebelum dalam sekejap tubuh mungilnya sudah melayang dalam gendongan pria bersurai gelombang itu. Tanpa memberi kesempatan apa pun, ia membawa Lya menjauh, meninggalkan Ben yang hanya bisa terdiam. Lya tak mampu berontak di tengah rengkuhan yang begitu kuat. Ia tahu betul satu ketakutan terbesar Leo—dan karena itulah, ia lebih tak berani mengucap apa pun, bahkan sekadar untuk membela Ben.

Tanpa sepatah kata pun, Leo menaruh Lya secara hati-hati di kursi belakang mobilnya dan membawa dirinya ke kursi kemudi. Ia tatap pilu sosok Lya lewat spion tengah mobil. Mengeratkan genggamannya pada setir mobilnya. Menggigit bibirnya seakan menahan sesuatu dari dirinya.

”Bukankah sudah saatnya kau menghentikan hubunganmu dengannya?” Leo memecah diam.

”Aku tidak mau...”

”Lya!” Leo masih mencoba mengontrol intonasinya, meski rasanya ia mau gila, ”Apa kau tidak ingat kemarin kondisimu begitu karena dia? Kau sudah membaik belakangan ini, tapi tiba-tiba rasa cemas berlebihanmu kembali kambuh! Semua itu karena dia! Kenapa masih mempertahankan sesuatu yang hanya membuatmu sakit?!”

Sunyi kembali mencekik, menyesakkan dada. Dua teman masa kecil itu hanya saling melempar diam. Yang satu masih gamang, mencari-cari kalimat yang tepat, sementara yang satunya sudah tidak mengharapkan jawaban apa pun—hanya ingin melampiaskan frustrasi yang menjerat batinnya.

“Maaf, aku meninggikan suara… ayo ikut ke apartemenku dulu. Aku tidak sanggup membiarkanmu pulang dalam kondisi seperti ini.”

Tanpa menunggu jawaban, Leo menyalakan mesin dan melajukan mobilnya. Ia memang tidak ngebut, kecepatan mobilnya tetap dalam aturan, tapi ketegangan di balik kemudinya membuat perjalanan itu terasa jauh lebih singkat. Hingga akhirnya mereka tiba di apartemen mewah miliknya—tempat yang kini jadi tujuan selanjutnya ketegangan mereka berlanjut.

Tanpa sepatah kata pun, Leo tetap sigap memperhatikan Lya. Dengan keras kepala ia menggendong gadis itu sampai ke kamarnya, sementara Lya hanya bisa pasrah. Begitu sampai di unit apartemennya, kegelisahan Leo tidak mereda—ia memeriksa luka di kepala Lya berkali-kali, lalu beralih ke tangan dan kaki, memastikan tak ada lebam biru yang tersembunyi. Sebab, jika satu saja ia temukan, Leo tak akan ragu kembali menemui Ben dan melunasi amarahnya dengan pukulan sepadan. Sejak di rumah sakit tadi, sebenarnya Leo sudah diliputi hasrat untuk menghabisi Ben. Andai saja ia tidak mengingat Lya di detik itu, mungkin amarahnya sudah meledak tanpa kendali.

”Leo...” panggil Lya pada pria yang kini tengah berlutut di depannya, memeriksa kondisi kakinya. Kepala pria itu mendongak, menatap murung pada bola mata yang gelap di depannya. “Alasanku sama sepertimu. Kau tak bisa membiarkanku pergi, walau melihatku pasti menyakitkan karena aku selalu mengingatkan padanya. Aku pun ingin tetap bersama Ben, meski harus menanggung banyak luka. Ben terus mengingatkanku pada sosok itu — sifat mereka mirip, tapi tidak sama. Kadang kupikir Ben bisa menggantikan bayangan yang selama ini menghantui tidurku.”

Mata itu menyimpan pilu. Telinga Leo kembali berdenging, nyaring dan menusuk, membuatnya terpaksa mencengkeram kepala sendiri. Ia bahkan menghantam pelipisnya dengan telapak tangan, berusaha meredam kebisingan yang seolah hendak memecahkan kepalanya. Butuh beberapa menit untuk suara berisik itu berhenti ia dengar. Ia pun berdiri.

”Tidurlah setelah membersihkan diri. Aku akan menunggumu selesai. Setelah itu aku akan pergi keluar sebentar.” Leo seakan mengabaikan perkataan Lya yang ia tahu telah disusun dengan susah payah. Namun diam-diam, kata-kata itu menyentil sebuah memori yang selama ini berusaha ia kubur rapat. Kenangan tentang cinta pertama yang lenyap hanya dalam satu malam—tentang kehilangan sosok berharga karena sosok berharga lainnya. Setiap kali teringat, sesak merambat di rongga dadanya, menghimpit napasnya. Malam-malamnya tak pernah berhenti berputar, menjerumuskannya ke dalam rindu yang menggila sekaligus benci yang membakar. Namun sejak dulu, ia tak pernah benar-benar tahu pada siapa harus menumpahkan amuk yang tak kunjung sembuh itu.

Ketika perasaannya kembali terlilit seperti saat ini, Leo memilih menyingkir dari dunia. Ia menenggelamkan diri dalam efek alkohol yang hanya bekerja sebentar, namun baginya itu sudah cukup. Setidaknya, dalam mabuknya, wajah yang lama ia rindukan—wajah yang perlahan memudar meski ingin terus ia kenang—benar-benar lenyap dari kepalanya.

***

Di sebuah bar besar di tengah distrik hiburan, Leo duduk menyendiri di kursi panjang, berhadapan dengan bartender yang selalu sigap mengisi ulang gelasnya setiap kali kosong. Toleransinya terhadap alkohol tinggi—terlalu tinggi—hingga mabuk pun enggan datang meski ia sudah menenggak banyak. Justru itulah yang membuat frustrasinya kian menumpuk. Sesekali ia ingin memesan minuman dengan kadar alkohol paling keras, tapi suara Lya selalu terngiang, melarangnya demi kesehatan. Permintaan itu tak pernah bisa ia abaikan meski Lya tidak akan tahu jika Leo bisa saja meminumnya sekarang. Baginya kini, Lya adalah satu-satunya yang tersisa di hidup yang penuh lubang itu.

”Tuan, saya minta maaf mengatakan ini, tapi sepertinya sudah cukup untuk tuan minum. Anda sudah terlalu banyak menenggak minuman.” Leo menghela napas panjang. Kepalanya masih terlalu jernih, belum cukup mabuk untuk menenggelamkan beban dunia yang menghimpitnya. Namun ia pun tak bisa melawan larangan sopan dari bartender. Dalam situasi seperti ini, kebiasaannya selalu sama: beranjak, pindah ke bar lain, lalu kembali meneguk dari gelas baru hingga mabuk akhirnya cukup kuat untuk membawanya pulang.

Bar kedua yang ia datangi memiliki suasana lebih intim dan tertutup. Untuk mencapainya, Leo harus menuruni tangga sempit di lorong bercahaya redup—cukup hanya untuk dua orang berpapasan. Begitu masuk, pemandangan yang menyambutnya terasa janggal: ruangan itu dipenuhi hanya oleh pria, tanpa ada suara riuh khas bar biasa. Namun Leo tak ambil pusing. Baginya, yang penting hanyalah satu: alkohol. Ia tak peduli di mana tubuhnya duduk, asalkan kepalanya bisa tenggelam.

Beberapa saat, ketika Leo tengah menikmati kesendiriannya, seorang pria duduk di sampingnya. Menarik perhatian Leo sesaat sebelum kembali fokus pada gelasnya. Orang itu tampak menatap Leo, tersenyum miring dengan niat menggoda yang jelas terpancar dari matanya.

”Aku baru melihat wajahmu. Apa kau baru di sini?” Orang itu memulai pendekatan basa-basi murahan yang hanya dibalas lirikan masa bodoh oleh Leo. Merasa diabaikan, orang itu tidak langsung menyerah. Dengan lancang ia merebut gelas Leo, mengayunkannya dengan jahil hingga cukup mengundang rasa kesal dari Leo.

”Apa maumu?” tanya Leo kesal.

”Sepertinya kau sedang ada masalah. Biarkan aku menemanimu minum, hmm?” niat orang itu terlihat jelas hingga semakin membuat Leo semakin muak. Ia sedang ingin sendiri lalu apa? Ada orang tidak tahu malu meraihnya. Di tempat seperti ini, tidak salah jika sesekali ada yang mengajaknya ngobrol, tapi orang di depannya terlihat seperti orang yang keras kepala dengan niat busuk. Leo dapat dengan jelas mengetahuinya. Ia sudah banyak bertemu beragam orang meski usianya masih menginjak 27 tahun, cenderung muda.

Pekerjaan orangtuanya yang juga merupakan seorang pembisnis membuatnya mau tidak mau terkadang harus menghadapi rekan-rekan Ayahnya. Harapan besar yang ditempatkan dipundaknya sejak kecil membuatnya lebih peka dengan keadaan sekitar.

”Aku tidak meladeni orang murahan sepertimu. Pergilah. Cari orang lain jika kau sedang bernafsu,” usir Leo. Perkataannya menusuk serta ekspresinya tampak merendahkan, menyentil harga diri lawan bicaranya. Meski begitu seperti perkiraan Leo, orang itu keras kepala.

“Sayang sekali, tapi wajahmu tipeku. Meski mulutmu kasar, mungkin akan bagus juga untuk menelan punyaku?” ucapnya tanpa malu. Wajah Leo langsung terpalung rasa jijik; penghinaan terpampang jelas di rautnya. Ia ingin sekali menyiram pria itu dan memberi pelajaran di depan semua orang, tapi itu terasa terlalu gila — meski Leo tahu, sedikit demi sedikit, ia memang sudah kehilangan akal.

”Hei, kita bisa minum lebih puas jika di kamar. Apa kau tidak tertarik? Sepertinya kau akan dihentikan oleh bartender sebelum bisa mabuk.”

”Apa kau sedang mengemis padaku untuk dipesankan kamar?” sinis Leo, sebelum matanya terputar sekilas, merubah pikiran dalam sekejap. Sejurus kemudian, Leo berdiri dari kursinya, menarik paksa pria itu keluar dari bar.

”Ikut aku.” Pria itu menyunggingkan senyum penuh kemenangan, membiarkan tubuh tingginya—nyaris setara dengan Leo—digiring tanpa perlawanan. Langkah mereka mantap menuju hotel yang berdiri persis di samping bar. Tanpa ragu sedikit pun, Leo meminta satu kamar dengan single bed untuk semalam.

”Kurasa kau juga sedang terburu-buru, hei pria cantik?” goda orang yang masih asing bagi Leo itu.

Yang disebut pria cantik masih betah mengabaikan ocehan kotor yang keluar dari bibir lawannya. Tanpa sepatah kata pun, ia terus menyeret tubuh itu sampai ke lift, membiarkan denting logamnya memecah kesunyian. Perjalanan berhenti di lantai enam, dan akhirnya mereka berdua tiba di kamar yang sudah disiapkan.

Begitu pintu kamar tertutup, Leo langsung melepaskan genggamannya. Ia menanggalkan jaket luar, menyisakan kaus hitam ketat yang menonjolkan otot-otot hasil latihan gila-gilaannya di gym. Sementara itu, pria asing tersebut masih sibuk menelusuri kamar mewah itu dengan tatapan puas. Ia bahkan sempat bersiul pelan sebelum melontarkan celotehan bodoh.

”Kau ini orang kaya, kan? Kau memesan kamar suite—

Belum sempat pria itu menyelesaikan ucapannya, Leo sudah lebih dulu membungkam bibirnya dengan ciuman ganas. Awalnya pria itu terperanjat, tapi sesaat kemudian justru terbawa arus. Di tengah cumbuan panas itu, tangannya meraih rambut Leo, senyum menantang tersungging di wajahnya.

“Hei, cantik, namaku Vincent. Setidaknya sebutkan namamu dulu.”

Leo hanya menggeram. Ia sudah muak dengan basa-basi menjijikkan itu. Tanpa menanggapi, ia kembali melumat bibir lawannya, kali ini dengan gigitan brutal. Jeritan kesakitan pecah, memaksa tautan mereka terlepas. Vincent meraba bibirnya yang kini berlumur bercak darah, mata terbelalak penuh amarah.

“Apa kau mau memakanku?!” serunya.

Leo mengernyitkan alis. Ia sibakan surai hitamnya itu kebelakang, memamerkan keningnya yang seksi. Lengan tebalnya segera menonjolkan urat-urat yang biru begitu ia lipat. ”Jika sudah tahu, diamlah. Bukankah itu yang kau mau, sial?” ketus Leo sebelum menyeret kasar leher belakang pria bersurai merah itu dan menghempaskanya ke tempat tidur.

Sejak gigitan itu, sesuatu dalam diri Vincent berdering—alarm samar yang tiba-tiba menyala. Nalurinya memperingatkan: ia telah meraih orang yang salah. Dan bila ia tidak segera berontak, tidak segera mencari celah untuk kabur, ia tahu ada bahaya besar yang akan menelannya hidup-hidup.

” “Hei, hei, tunggu!” Vincent menekan kepala Leo, berusaha menahan pria itu agar tidak semakin merangkak naik. Panik mulai merayapi nadanya. “Posisi kita salah! Asal kau tahu, aku hanya selalu meniduri orang! Bukan ditiduri!”

Leo hanya menatapnya dengan sorot mata liar, sama sekali tidak peduli pada protes itu. Senyum miring terbit di bibirnya—sebuah senyum yang sama sekali tidak mengandung hiburan. “Sayang sekali, aku tidak menerima omong kosong manusia murahan,” gumamnya rendah tapi menusuk, seperti ancaman yang membeku di udara.

Vincent tak lagi punya ruang untuk melawan. Nafasnya terengah, tubuhnya kini benar-benar tak berdaya di bawah kendali Leo yang buas. Tatapan mata pria itu seperti binatang lapar yang akhirnya menemukan mangsa, dingin sekaligus menyala.

Ruangan sunyi, hanya terdengar desahan bercampur dengan gesekan kain yang beberapa jatuh ke lantai. Di detik itu, Vincent sadar—apapun yang terjadi setelah ini, ia tak akan lagi menjadi orang yang sama seperti beberapa menit yang lalu yang masih bisa bertingkah sombong.

Senyum nakal yang tadi  jadi andalan, lenyap. Berganti rasa dingin menusuk, seakan setiap tarikan napasnya adalah ancaman. Dan ketika Leo menundukkan wajahnya semakin dekat padanya, begitu dekat hingga bayangan mereka menyatu dalam remang lampu kamar hotel, sesuatu yang gelap bergetar di udara—membuat malam itu tidak berakhir seperti biasanya.

.

.

.

To Be Continue

1
Iyikadin
Wahh dengan siapa tuchhhh, jadi kepo dech ahh
@dadan_kusuma89
Wah, repot ini, Ben! Sepertinya ada sesuatu yang harus kamu teliti lebih dalam tentang Lya.
@dadan_kusuma89
Sepertinya kamu bakal masuk rekor muri, Ben! Dari penolakan menuju penerimaan cuma butuh waktu beberapa detik😁
fσя zуяєиє~✿
saran driku, paragrafnya jgn kepanjangan, klo bisa minimal 4-5 baris aja, atau klo diperlukan bisa smpe 6 baris aja/Grin/
saya hanya bantu koreksi yg simple2 aja/Pray/
Cemployn: siappp sudah sayaa perbaikii Kakk terimakasihhhh uyy sarannyaaa 🫶
total 1 replies
Goresan_Pena421
Kaka boleh perbanyak dialog. kecuali dalam bab awal ini khusus perkenalan tokoh GPP. jadi di buatin biografi singkat semua tokohnya atau cerita tentang tokoh-tokoh nya itu GPP kalau mau full monolog mereka kka.
Goresan_Pena421: iya kak. ☺️ saya juga masih belajar 💪. tetap semangat ya Kaka.
total 2 replies
Muffin🌸
Iyaa nikahi saja kan dengan begitu dia bisa jadi milikmu selamanya hehe🙏🏻
Anyelir
alasan berubah pikiran apa ya?
tapi lucu juga, spontan nyatain cinta karena lihat pujaan hati jalan sendirian, padahal udh mendem cukup lama
☠🦋⃟‌⃟𝔸𝕥𝕙𝕖𝕟𝕒 ⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘ
"𝑺𝒆𝒌𝒖𝒏𝒕𝒖𝒎 𝒎𝒂𝒘𝒂𝒓 🌹 𝒖𝒏𝒕𝒖𝒌𝒎𝒖, 𝑻𝒉𝒐𝒓. 𝑺𝒆𝒎𝒐𝒈𝒂 𝒔𝒆𝒎𝒂𝒏𝒈𝒂𝒕𝒎𝒖 𝒅𝒂𝒍𝒂𝒎 𝒃𝒆𝒓𝒌𝒂𝒓𝒚𝒂 𝒕𝒆𝒕𝒂𝒑 𝒔𝒆𝒈𝒂𝒓 𝒅𝒂𝒏 𝒊𝒏𝒅𝒂𝒉 𝒔𝒆𝒑𝒆𝒓𝒕𝒊 𝒃𝒖𝒏𝒈𝒂𝒏𝒚𝒂, 𝒅𝒂𝒏 𝒎𝒆𝒎𝒃𝒂𝒘𝒂𝒎𝒖 𝒎𝒆𝒏𝒖𝒋𝒖 𝒌𝒆𝒔𝒖𝒌𝒔𝒆𝒔𝒂𝒏 𝒔𝒆𝒓𝒕𝒂 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒉𝒂𝒓𝒖𝒎𝒌𝒂𝒏 𝒏𝒂𝒎𝒂𝒎𝒖.
✿⚈‿‿⚈✿
☠🦋⃟‌⃟𝔸𝕥𝕙𝕖𝕟𝕒 ⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘ
Wkwkwk emg kurg ajr shbqtmu itu mnt di geplak emang Wkwkwk
☠🦋⃟‌⃟𝔸𝕥𝕙𝕖𝕟𝕒 ⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘ
Langsung kasih pengumuman ke semua orang ya klo km pacaran 😂😂😂
Shin Himawari
Lya ga salah sih nolaknya, cuman blak blakan bgt astagaaa kasian hati Ben terpoteq🤣
Shin Himawari
setaun nyimpen cinta sendirian yaaa🤭semangaat semoga lancar pdkt-in nya
kim elly
🤣🤣bahagia nya kerasa banhet
kim elly
mana ada yang ngga tertarik pacaran🤣
👑Chaotic Devil Queen👑
Yuk! Gw pegangin sebelah kanan, Eric sebelah kiri. Kita lempar dia ke RSJ 🗿
👑Chaotic Devil Queen👑
Yang penting hasil 🗿

Tapi... Dahlah bodoamat🗿
ηιтσ
really pov 1 took. mah nyimak
TokoFebri
aku tau kau trauma lya..
CumaHalu
aku kalau jadi eric juga akan bertanya-tanya sih Ben. bisa-bisanya orang berubah pikiran dalam hitungan detik😄
@dadan_kusuma89
Ya jelas kaget lah, Ben! Nggak ada angin nggak ada hujan, tiba-tiba aja kamu nembak dia😁
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!