NovelToon NovelToon
Cahaya Yang Ternodai

Cahaya Yang Ternodai

Status: sedang berlangsung
Genre:Bad Boy / Nikahmuda / One Night Stand / Romansa / Cintapertama / Idola sekolah
Popularitas:32.6k
Nilai: 5
Nama Author: Itz_zara

Hujan deras malam itu mengguyur perkampungan kecil di pinggiran kota. Lampu jalan yang redup hanya mampu menerangi genangan air di jalanan becek, sementara suara kendaraan yang melintas sesekali memecah sunyi. Di balik dinding rumah sederhana beratap seng berkarat, seorang gadis remaja duduk memeluk lututnya.

Alendra Safira Adelia.
Murid kebanggaan sekolahnya, panutan bagi teman-temannya, gadis berprestasi yang selalu dielu-elukan guru. Semua orang mengenalnya sebagai bintang yang bersinar terang di tengah gelap. Tapi hanya dia yang tahu, bintang itu kini nyaris padam.

Tangannya gemetar menggenggam secarik kertas—hasil tes yang baru saja ia lihat dengan mata kepalanya sendiri. Tulisan kecil itu menghantam seluruh dunia yang telah ia bangun: positif.

Air mata jatuh membasahi pipinya. Piala-piala yang tersusun rapi di rak kamar seakan menatapnya sinis, menertawakan bagaimana semua prestasi yang ia perjuangkan kini terasa tak berarti.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itz_zara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

33. Menikah?

Malam harinya, sesuai dengan apa yang dikatakan ayah Alendra—Ardian—Rayven datang lagi ke rumah Alendra, kali ini sendirian tanpa didampingi orang tuanya.

Ia berdiri di depan pintu rumah sederhana itu sambil membawa bingkisan kecil di tangan kanannya.

Tok tok tok…

Suara ketukan pelan terdengar di pintu. Tak lama kemudian, daun pintu terbuka dan muncullah Alendra dengan wajah terkejut.

“Lho, kenapa Lo dateng malam-malam gini?” tanya Alendra, matanya sedikit membesar karena kaget.

Rayven tersenyum tipis. “Gue tadi pagi disuruh sama ayah Lo buat dateng malam ini. Jadi ya gue dateng, takutnya ada hal penting yang mau beliau omongin.”

“Nih, ada sedikit oleh-oleh buat keluarga Lo,” tambah Rayven sambil menyerahkan bingkisan di tangannya.

Alendra menerima bingkisan itu sambil tersenyum samar. “Ooh gitu ya… ya udah, masuk aja dulu. Gue panggilin Ayah.”

Begitu Rayven melangkah masuk, aroma kayu manis dan kopi dari dapur langsung menyapa hidungnya. Rumah itu sederhana, tapi terasa hangat dan rapi. Matanya kemudian tertuju pada sosok Ezriel, adik laki-laki Alendra, yang sedang duduk di ruang tamu menonton televisi sambil memeluk bantal kecil.

“Halo, Ziel,” sapa Rayven pelan.

Ezriel langsung menoleh dan hampir menjatuhkan remote yang ia pegang. “Lho, Bang Ray! Kirain cuma halu, kok tiba-tiba beneran nongol di sini?”

Rayven terkekeh kecil. “Heh, Abang bukan hantu, Ziel. Santai aja.”

Tak lama kemudian, terdengar suara langkah kaki berat dari arah kamar dalam. Ardian keluar dengan pakaian rumah dan kacamata yang sedikit melorot di hidungnya. Tatapannya langsung tertuju pada Rayven.

“Rayven, udah dateng rupanya,” ucapnya pelan tapi mantap.

“Iya, Om,” jawab Rayven sopan sambil berdiri. “Maaf ganggu malam-malam.”

“Gak apa-apa, saya yang minta kamu dateng, kan?” jawab Ardian sembari duduk di kursi ruang tamu. “Udah, duduk dulu.”

Rayven menurut, duduk dengan posisi tegak tapi kelihatan canggung. Sementara itu, Alendra keluar lagi dari dapur, membawa dua gelas teh hangat. Tangannya sedikit gemetar saat meletakkan gelas di atas meja.

Suasana mendadak hening beberapa detik. Hanya suara jarum jam yang terdengar berdetak pelan. Alendra langsung undur diri tak ingin ikut dalam percakapan keduanya. Sementara itu Larissa sedang berada di rumah saudara Alendara karena sedang ada acara dirumahnya.

Ardian membuka percakapan duluan. “Rayven, apa kamu siap kalau saya suruh menikahi Alendra secepatnya?" Tanya Ardian.

Rayven terkejut dengan pernyataan yang diberikan oleh Ardian pada dirinya.

Rayven sempat terdiam. Matanya membulat, napasnya tertahan di tenggorokan. Kata “menikah” yang keluar dari mulut Ardian terasa begitu berat, menggema keras di kepalanya. Jantungnya berdegup cepat, dan ia bahkan tak sadar jemarinya mengepal di atas lutut.

“Om… maksud Om, nikah… sekarang?” tanyanya perlahan, suaranya nyaris bergetar.

Ardian menghela napas dalam, lalu menatap Rayven lekat. Tatapannya tajam, namun tidak sepenuhnya keras—ada beban dan kekhawatiran di balik pandangan itu.

“Iya, secepatnya,” jawabnya tegas. “Kamu tahu sendiri keadaan Alendra sekarang. Om gak keberatan kalau harus merawat dia dan cucu Om nanti. Tapi Om tetap harus mikirin masa depan mereka. Om gak mau anak yang dikandung Alendra nanti lahir dan dicap anak haram. Kamu paham kan, Rayven?”

Ardian bersandar sedikit ke kursi, nada suaranya berubah menjadi lebih dalam. “Zaman sekarang, mulut tetangga lebih tajam dari pisau. Sekali gosip keluar, nama baik keluarga bisa hancur. Kamu tau sendiri gimana lingkungan di sini, rumah-rumah berdempetan, semua orang kepo, semua berita kecil langsung jadi bahan pembicaraan. Berbeda dengan kamu yang tinggal di perumahan mewah, di mana privasi masih bisa dijaga.”

Rayven menunduk. Dadanya terasa sesak. Ia memang tahu apa yang dikatakan Ardian benar. Tapi kalimat itu tetap menghantamnya keras—terutama ketika ia membayangkan Alendra, yang pasti juga sedang dihantui ketakutan yang sama.

Sementara itu Alendra sudah masuk ke dalam kamarnya karena ia tahu pasti percakapan antara ayah dan Rayven sangat penting dirinya tak ingin mengganggu.

“Maaf, Om,” ucap Rayven akhirnya setelah beberapa detik hening yang menegangkan. Suaranya pelan, tapi jelas. Ia mencoba menatap Ardian, meski matanya sempat bergetar. “Sebenarnya saya juga mau tanggung jawab dengan menikah, tapi… Om tahu sendiri, saya masih SMA. Saya belum punya pekerjaan. Setelah lulus pun, saya rencananya mau lanjut kuliah dulu, biar bisa nerusin perusahaan Papa.”

Ardian menatapnya dalam diam. Raut wajahnya tak berubah banyak, tapi ada sorot kecewa yang sempat melintas di matanya. Ia bersandar pelan ke kursi, menghela napas panjang sebelum akhirnya berkata, “Om paham, Rayven. Om gak minta kamu langsung bikin pesta besar. Tapi kamu harus sadar, tanggung jawab itu bukan cuma soal materi.”

Rayven terdiam, mendengarkan.

Ardian melanjutkan dengan nada yang tenang tapi tegas, “Om cuma mau kejelasan. Kamu mau nikahi Alendra secepatnya, kalau kamu bersedia besok datang lagi ke sini setelah pulang sekolah." Ucap Ardian.

Rayven terdiam sesaat. Kata-kata “besok datang lagi setelah pulang sekolah” menggema di kepalanya, membuat tenggorokannya terasa kering. Ia menatap Ardian, berusaha membaca maksud di balik tatapan tegas pria itu.

“Besok, Om?” ulang Rayven pelan.

“Iya,” jawab Ardian mantap. “Om mau kamu datang bareng orang tuamu. Kita bicarakan baik-baik. Om gak mau semua ini cuma omongan kosong. Kalau kamu benar-benar serius tanggung jawab, buktikan.”

Rayven menelan ludah. Di dalam dadanya, berbagai rasa campur aduk—takut, gugup, tapi juga sedikit lega karena masih diberi kesempatan menjelaskan. Ia tahu ini bukan waktu untuk membantah. “Baik, Om. Besok setelah pulang sekolah saya ke sini, saya ajak Papa sama Mama juga.”

Ardian mengangguk kecil. “Bagus. Om cuma pengin semuanya jelas dan resmi. Om gak mau anak Om terus hidup dalam ketidakpastian. Kamu ngerti maksud Om, kan?”

“Iya, Om. Saya ngerti.”

Suasana kembali hening sejenak. Hanya terdengar suara jam dinding berdetak perlahan. Udara malam terasa semakin berat, seolah ruangan itu menahan napas bersama mereka.

Akhirnya Ardian berdiri. “Udah malam. Kamu pulang dulu, Rayven. Besok kita bicarakan lagi. Sampaikan salam Om ke orang tua kamu.”

Rayven ikut berdiri, menundukkan kepala sopan. “Baik, Om. Terima kasih.”

Ia sempat melirik ke arah kamar Alendra yang tertutup rapat. Ada dorongan untuk mengetuk pintunya, tapi ia tahu ini bukan waktu yang tepat. Ia akhirnya berbalik dan melangkah keluar rumah dengan langkah pelan.

Begitu pintu tertutup di belakangnya, Rayven menarik napas panjang. Udara malam yang dingin menyapa kulitnya, tapi yang terasa justru panas di dada—campuran antara penyesalan dan kecemasan.

Dalam hati ia bergumam lirih, “Gue bakal tanggung jawab, Len. Tapi gue juga harus siap hadapin semuanya…”

Sementara di dalam kamar, Alendra duduk di tepi ranjangnya, menggenggam ujung selimut erat-erat. Dari balik pintu, ia mendengar samar-samar suara Rayven berpamitan. Air matanya menetes tanpa ia sadari.

Ia tahu mulai besok, hidupnya akan berubah. Dan perubahan itu—entah akan membawa ke arah baik atau buruk—akan dimulai dari pertemuan yang menegangkan esok sore.

---

Di kediaman keluarga Rayven, suasana makan malam berlangsung hangat seperti biasanya. Meja panjang di ruang makan itu dipenuhi aroma masakan khas buatan Amara—sayur asem, ayam goreng, dan sambal terasi yang selalu jadi favorit keluarga. Namun malam ini, ada satu kursi kosong di ujung meja.

“Rayven mana, Mah, Pah?” tanya Kaelan sambil menoleh ke arah kursi kosong itu. Tatapannya mencari-cari adik tengahnya yang biasanya duduk sambil memainkan sendok sebelum makan.

Amara menatap sekilas kursi itu lalu menjawab ringan, “Biasa lah, Bang. Paling ke markas geng-nya itu. Anak itu kalau udah nongkrong sama teman-temannya, bisa lupa waktu.”

Ia mengucapkannya santai, sama sekali tidak menyadari bahwa Rayven saat ini bukan sedang nongkrong seperti yang ia kira, melainkan berada di rumah Alendra—menghadapi pembicaraan serius dengan ayah gadis itu.

“Ooh, gitu,” gumam Kaelan pelan, mengangguk kecil. Ia kembali menunduk, menyendok nasi, tapi ada sedikit rasa khawatir di wajahnya.

“Gimana tadi meeting-nya, aman?” tanya Damian sambil menatap Kaelan. Nada suaranya tegas tapi penuh perhatian, khas seorang ayah yang terbiasa memimpin perusahaan dan tetap memperhatikan anak-anaknya.

“Aman, Pah. Cuma ada beberapa revisi kecil di bagian proposal merger, tapi udah gue beresin sebelum balik ke kantor,” jawab Kaelan tenang.

Damian mengangguk pelan. “Bagus. Papa udah denger juga dari sekretaris kalau lo bisa handle rapat besar tadi. Papa bangga.”

Kaelan tersenyum kecil. “Makasih, Pah.”

Amara menimpali dengan nada lembut, “Iya, Papa kamu tuh udah cerita ke tante-tante arisan juga, katanya anaknya sekarang udah bisa gantiin posisi Papa di kantor.”

“Mah, jangan dilebih-lebihin juga kali,” kelakar Kaelan, membuat suasana meja makan sedikit mencair.

Tapi Damian tiba-tiba menatap jam tangannya, alisnya berkerut. “Tapi Rayven kok belum pulang juga, ya? Udah hampir jam sembilan.”

Amara mengangkat bahu. “Biasanya jam segini juga belum pulang, Pah. Nanti juga balik sendiri. Kan udah biasa nongkrong lama.”

Kaelan menatap ibunya sebentar, lalu berkata pelan, “Tapi belakangan ini Ray kayaknya beda, deh. Sering bengong, jarang ngobrol. Bahkan waktu gue tanya soal sekolah aja jawabnya asal.”

Amara tersenyum gugup, mencoba menepis kekhawatiran yang mulai tumbuh di meja makan. “Ah, perasaan Abang aja kali. Mama liatnya biasa aja kok, gak ada yang beda.”

Kaelan hendak menanggapi, tapi Amara buru-buru beranjak dari kursinya dan menepuk pelan bahu Damian. “Udahlah, nanti juga Ray pulang. Lagian Mama mau beresin dapur dulu. Seren, ayo sayang, udah malam. Waktunya tidur.”

Serenya, si bungsu berumur sepuluh tahun, yang sedari tadi sibuk memainkan sendok sambil mengunyah pelan, langsung menoleh ke ibunya dengan wajah cemberut. “Tapi Mah, Seren belum selesai nonton kartun…”

Amara tertawa kecil, membelai rambut hitam panjang putrinya. “Udah malam, Nak. Besok kan masih bisa nonton lagi. Ayo, besok Seren sekolah pagi.”

“Sepuluh menit lagi, ya?” rayu Seren dengan suara manja, bibirnya mengerucut.

Amara menghela napas, lalu menatapnya pura-pura galak. “Lima menit, itu pun kalau kamu cepet sikat gigi.”

Serenya langsung berdiri dengan cepat, hampir menjatuhkan kursinya. “Iyaaa, lima menit! Tapi Mama janji!” katanya sambil berlari kecil ke arah tangga, rambutnya bergoyang-goyang.

Amara menggeleng pelan sambil tersenyum, lalu menoleh ke Damian dan Kaelan. “Seren, cepet cuci tangan terus sikat gigi, ya!”

“Iyaaa!” teriak Seren dari atas, disusul suara langkah kakinya yang berlarian di lantai dua.

Amara tersenyum lagi, lalu menoleh sebentar ke suaminya yang masih duduk di meja makan. “Pah, jangan dipikirin dulu Rayven. Mungkin dia cuma butuh waktu buat nyari tenang. Apalagi umur segitu, masih labil.”

Damian menatap istrinya lama, sebelum akhirnya mengangguk pelan. “Iya, semoga aja begitu."

“Ya udah,” balas Amara lembut, mendekat untuk mengecup pipi suaminya sebentar. “Sekarang makanannya biar Mama beresin dulu, Pah istirahat aja. Besok pasti capek meeting lagi.”

Kaelan yang sedari tadi diam, memperhatikan interaksi orang tuanya sambil memainkan sendok. “Mah, Pah,” panggilnya pelan.

Keduanya menoleh bersamaan.

Kaelan menghela napas. “Kalau Rayven beneran ada masalah, aku yang bakal coba ngomong dulu, ya. Kadang dia lebih terbuka ke aku daripada langsung ke Papa.”

Damian menatap anak sulungnya dengan penuh kebanggaan.

Amara yang sudah berdiri di dapur menoleh sebentar. “Ya udah, Abang bantuin Mama beresin meja dulu, ya. Abis itu langsung istirahat.”

“Oke, Mah,” jawab Kaelan, berdiri dari kursinya.

Suasana rumah mulai hening. Di lantai atas, terdengar tawa kecil Seren yang sedang berceloteh di depan cermin, mungkin sedang bernyanyi pelan sambil sikat gigi. Sementara di lantai bawah, Damian masih duduk di ruang makan dengan wajah penuh pikiran.

1
Favmatcha_girl
bohong itu bu🤭
Favmatcha_girl
dari calon mantu bu
Favmatcha_girl
perhatian juga Abang yang satu ini
Favmatcha_girl
Semangat berjuang Rayven 💪
ilham gaming
nasehat papa Damian bagus
Favmatcha_girl
Lhaa baru kenalan
Favmatcha_girl
gak galak kamu ven
Favmatcha_girl
sama orang lahh
Favmatcha_girl
ketuanya aja kaget
Favmatcha_girl
bukan sakit tapi mulai jatuh cinta🤭
Favmatcha_girl
lagi bahagia dia Nay😌
Favmatcha_girl
Jauh sekali perumpamaan nua
Favmatcha_girl
untung aja gak kenapa-kenapa
Favmatcha_girl
hahh betul, aku dukung kamu
Favmatcha_girl
kayaknya enggak deh Ven, pikiran kamu aja
Favmatcha_girl
cie udah mulai jatuh cinta 🤭
Favmatcha_girl
yahhh zonk
Favmatcha_girl
jemput aja udah, kasihan kalau pakai sepeda mulu
Favmatcha_girl
jangan banyak-banyak pikiran Len😌
Favmatcha_girl
aminn
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!