NovelToon NovelToon
Hadiah Penantian

Hadiah Penantian

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Dokter
Popularitas:283
Nilai: 5
Nama Author: Chocoday

Riyani Seraphina, gadis yang baru saja menginjak 24 tahun. Tinggal di kampung menjadikan usia sebagai patokan seorang gadis untuk menikah.

Sama halnya dengan Riyani, gadis itu berulang kali mendapat pertanyaan hingga menjadi sebuah beban di dalam pikirannya.

Di tengah penantiannya, semesta menghadirkan sosok laki-laki yang merubah pandangannya tentang cinta setelah mendapat perlakuan yang tidak adil dari cinta di masa lalunya.

"Mana ada laki-laki yang menyukai gadis gendut dan jelek kayak kamu!" pungkas seseorang di hadapan banyak orang.

Akankah kisah romansanya berjalan dengan baik?
Akankah penantiannya selama ini berbuah hasil?

Simak kisahnya di cerita ini yaa!!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chocoday, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Rasa Nyaman

Aku mengulas senyuman lalu mengangguk mengiyakan, "tadi abis nyapu halaman laper, belum ada makanan di rumah abang. Makanya nyari bubur ke sini," jawabku.

Laki-laki itu duduk di hadapanku. Ia tersenyum melihat mangkuk bubur yang terlihat kosong tanpa ada kecap ataupun kuah sayurnya.

"Gak enak gak sih bubur kamu?" tanyanya membuatku mendongak dengan tatapan sinis.

Hanif terkekeh melihatnya, "saya cuman bilang begitu loh ya! Bukan ngeledek. Kan emang bener gak ada rasanya."

"Ya terus harus gimana? Kan katanya bubur aja sama suwiran ayam kayak yang dikasih di rumah sakit," jawabku.

Hanif kembali terkekeh mendengarnya, "sebentar! Sini mangkuk kamu," ucapnya sembari membawa kembali mangkuk bubur yang sedang kumakan ke pedagangnya.

Laki-laki itu tersenyum lalu kembali duduk dengan mangkuk bubur dengan kuah sayurnya.

"Kalau di luar makan buburnya tambahin kuah sayurnya gak apa-apa. Asal jangan gorengan sama kerupuk," ucapnya.

Aku baru saja membuka mulut untuk berbicara tapi ia langsung menyelanya, "apalagi sambal. Gak boleh banget itu."

Aku langsung menekuk wajah lalu mengaduk buburnya. Setelah ditambahkan bumbu dan kuah sayurnya menjadi sedikit lebih enak, sekalipun tanpa kerupuk dan juga sambal rasanya tetap saja ada yang kurang tapi setidaknya rasa mual sedikit berkurang.

Setelah melahap buburnya, aku kembali ke rumah abang—berjalan dengan Hanif yang juga akan kembali ke rumahnya.

Iya, rumahnya hanya berbeda komplek saja dengan perumahan abang. Cukup jauh sebenarnya jika dari rumah abang dengan berjalan kaki. Tapi laki-laki itu sepertinya sudah biasa dan rajin olahraga juga.

"Oh ini rumah abang kamu," ucapnya membuatku mengangguk.

"Ya udah kalau gitu, ini juga udah siang. Saya mau langsung pamit ya!" ucapnya dengan senyuman lalu kembali berlari.

Baru saja aku masuk ke rumah, abang dan juga teteh sudah sibuk dengan dunianya masing-masing. Seperti bukan suami istri biasanya, yang saling mendukung atau bahkan berbicara tentang kerjaan atau apapun hal yang biasanya dibincangkan di rumah tangga.

Rumah tangga abang isinya hanya tentang kerja, gajian, kembali ke rumah—ke kamar yang sama. Sisanya hanya masing-masing seperti bukan suami istri. Bahkan kadang abang masak sendiri untuk bekal makan siangnya di tempat kerja karena menghemat, begitupun dengan teteh.

"Neng, kamu habis darimana?" tanya abang yang menoleh padaku saat ia mengeluarkan motornya.

"Abis beli bubur, bang. Tapi gak beliin buat kalian, soalnya neng belum ada uang lebih dari bapak," jawabku.

"Ya gak apa-apa neng. Abang juga jarang sarapan dulu kok," jawabnya.

"Tapi harusnya kamu peka aja beli buburnya buat kita, kan kamu numpang juga di sini. Seenggaknya inget sama orang rumah," timpal teteh dari dapur.

"Kan neng udah bilang kalau dia gak ada uang, Irma," ucap abang.

"Oh iya lupa kalau adik kamu ini pengangguran yang tergantung sama orangtuanya. Sekarang malah numpang di sini," ucapnya sembari masuk ke kamar.

Aku menahan air mata lalu masuk ke kamar sebelum abang kembali berbicara dan bahkan berdebat dengan istrinya.

Aku mulai menangis seorang diri, apalagi ketika keduanya pergi bekerja begitu saja. Tanpa ucapan apapun, seolah mereka hanya tinggal bersama tanpa ikatan suami istri.

Setelah merasa tenang, aku mengemas semua pakaian yang aku bawa. Lalu pergi setelah mengirim pesan singkat ke abang.

"Abang"

"Neng mau pulang ke kampung aja ya!"

"Maaf kalau ngerepotin kalian"

"Neng pamit"

"Makasih ya udah selalu izinin neng nginep di rumah abang"

"kunci rumahnya di tempat biasa"

Aku menunggu angkutan umum di depan sembari sesekali memegangi perut yang terkadang masih terasa sakit. Apalagi jika membawa cukup banyak barang—mengangkat beban yang cukup berat juga.

Seseorang berhenti tepat di sampingku, "loh kamu mau kemana?" tanyanya.

Aku menoleh padanya.

Nih orang kenapa sih selalu ada saat aku kesusahan begini?

Kenapa harus keliatan terus sih sama dia?

"Ri?"

"Saya mau pulang ke rumah orangtua saya, A,"

"Dimana? Bukannya tadi kata kamu, kamu mau nginep dulu di rumah abang kamu?" tanyanya lagi.

"Saya berubah pikiran. Makanya mau pulang aja,"

"Ya udah yuk saya antar!" ajaknya.

Aku menggelengkan kepala, "gak usah. Kan mau kerja juga, masa malah anterin saya."

"Gampang itu, yuk!" ajaknya sembari merebut tas yang kubawa lalu ditaruh pada motornya.

"Sebentar ya!" ucapnya pergi dengan motornya meninggalkanku.

Dia gak bakal curi tas aku kan?

Kok pergi gitu aja?

Tidak lama setelahnya, laki-laki itu kembali. Bedanya dengan helm yang ia bawa. Ia pasangkan padaku dengan hati-hati, "kalau mau berkendara itu harus pake helm, biar terjaga keamanan kepalanya."

Pipiku lagi-lagi memerah karena kelakuannya. Sontak membuat Hanif terkekeh pelan, "lucu banget sampe merah begitu pipinya."

Aku langsung naik pada motornya, "diem deh!"

Hanif terkekeh mendengarnya. Lalu melajukan motornya untuk mengantarku.

"Emangnya gak apa-apa ya kalau bolos kerja begini?" tanyaku sedikit tidak enak.

"Gak apa-apa, saya bisa ngajuin cuti," jawabnya.

"Emang bisa mendadak?"

"Ya enggak sih. Bilang aja sakit perut," jawabnya dengan asal.

"Dih gimana kalau diijabah sama Allah, nanti kamu sakit perut?"

"Tinggal ikut di rumah kamu," jawabnya.

Aku mendecak mendengarnya.

"Saya boleh tanya gak sih?" tanyaku sedikit ragu.

"Coba bicaranya gak perlu formal. Kita bukan lagi konseling gak sih?" protesnya membuatku terkekeh pelan.

"Iya juga sih. Tapi kan awalnya ngikutin yang tua," timpalku.

"Siapa yang tua maksud kamu HAH?"

Aku terkekeh mendengarnya.

"Mulai sekarang kalau bicara formal lagi, hukumannya cubit," ucapnya.

"Cubit apa?"

"Apa aja. Boleh pipi boleh, boleh tangan, semaunya," jawabnya.

"Ah gak mau, sakit!"

"Ya pelan-pelan atuh neng. Masa cubitnya kayak balas dendam," ucapnya.

Aku sempat terdiam mendengar panggilannya.

"Neng? Kamu masih di belakang kan?" tanya Hanif.

Aku tersadar lalu menjawabnya, "HAH? Iya masih atuh. Masa hilang."

Hanif terkekeh mendengarnya, "abisnya tiba-tiba gak ada suara begitu. Ngomong-ngomong tadi mau tanya apa?" tanyanya balik.

"Aa gak bakal dipecat kalau tiba-tiba ngajuin cuti begini? Maksudnya bolos kerja," tanyaku merasa tidak enak padanya.

"Enggak, kan Aa udah bilang gak usah khawatir," jawabnya.

"Ya kan aku gak enak aja kalau misalnya nanti ada masalah," timpalku.

"Enggak bakal, insyaallah Aa bakal baik-baik aja," jawabnya membuatku mengangguk paham.

Tidak butuh waktu lama untuk sampai, aku sudah sampai di depan rumah. Dengan penuh keraguan aku mengajaknya untuk mampir lebih dulu.

Tapi ada untungnya juga Hanif kali ini menolak karena memang ia juga harus masuk bekerja. Sekalipun hari ini ia akan telat datang ke rumah sakit.

Kalau laki-laki itu mengiyakan, bagaimana aku menjelaskan pada mamah dan juga bapak? Belum nanti akan banyak gosip yang tidak-tidak lagi tentangku seperti saat pulang dari rumah sakit kemarin.

Hanif pamit tidak lama setelahnya, Aku melambaikan tangan dengan ucapan terima kasih banyak setelah mengantarku pulang.

"Assalamualaikum!!" salamku sembari masuk ke rumah.

Bapak keluar dari kamarnya, begitupun dengan mamah yang datang dari dapur, "loh kok kamu tiba-tiba di sini? Bukannya mau di rumah abang sampe nanti kontrol?" tanya bapak.

Aku menggelengkan kepala, "bosen aja pak. Di sana gak siapa-siapa yang bisa diajakin ngobrol. Makanya mending pulang aja," jawabku.

"Pagi-pagi begini pulang naik apa kamu?" tanya mamah.

1
Chocoday
Ceritanya dijamin santai tapi baper
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!