Dieksekusi oleh suamiku sendiri, Marquess Tyran, aku mendapat kesempatan untuk kembali ke masa lalu.
Kali ini, aku tidak akan menjadi korban. Aku akan menghancurkan semua orang yang telah mengkhianatiku dan merebut kembali semua yang menjadi milikku.
Di sisiku ada Duke Raymond yang tulus, namun bayangan Marquess yang kejam terus menghantuiku dengan obsesi yang tak kumengerti. Lihat saja, permainan ini sekarang menjadi milikku!
Tapi... siapa dua hantu anak kecil itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BlackMail, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22 : Luna Velmiran
"Tunggu!"
Perintahku keluar lebih cepat dari yang kuduga, tajam dan tak terbantahkan. Para penjagaku, yang sudah siap menyerbu, membeku di tempat, pedang mereka masih terangkat. Kebingungan dan kemarahan terpancar di wajah mereka.
"Tapi Nona, dia..." Baren memulai, suaranya tegang.
"Aku tahu apa yang kulihat, Kapten," potongku, mataku tidak pernah lepas dari pemandangan di depanku.
Wanita Thalvarian itu jelas-jelas sedang berjuang. Urat-urat di lehernya menonjol karena menahan tekanan. Artefak-artefak di sekelilingnya bergetar begitu hebat hingga mengeluarkan suara mendengung yang menyakitkan telinga. Dia sedang mengerahkan setiap ons kekuatannya untuk satu tujuan: menunda kematian anak-anak di dalam sana.
Dia musuh. Tapi saat ini, di reruntuhan yang membara ini, dia bukan seorang prajurit. Dia adalah seorang pelindung.
Tapi... dia sedang menunggu bala bantuan. Pikiran itu membuat darahku terasa dingin.
"Baren, kita tidak punya waktu," kataku cepat, pikiranku berpacu. "Lupakan seragamnya. Fokus pada anak-anak. Aku butuh kau dan tiga orangmu masuk ke sana, bawa keluar anak-anak itu satu per satu, secepat mungkin. Prioritaskan yang paling kecil dan yang terluka."
"Dan membiarkan penyihir itu di belakang kita? Itu terlalu berbahaya!" protesnya.
KRAAK!
Suara retakan lain yang lebih keras terdengar dari langit-langit. Debu dan serpihan batu menghujani kami.
"LEBIH BERBAHAYA JIKA KITA SEMUA MATI TERTIMBUN DI SINI!" teriakku, amarah dan keputusasaan mewarnai suaraku. "Lupakan dulu permusuhan! Lupakan dulu perang! Selamatkan anak-anak itu! Ini perintah!"
Mendengar nada suaraku, Baren tidak lagi membantah. Dia memberi isyarat pada tiga prajuritnya. "Kalian dengar perintah Nona!? Bergerak!"
Baren dan anak buahnya langsung bergerak, masuk ke dalam zona bahaya.
Saat pasukanku mulai masuk dengan hati-hati ke dalam reruntuhan, aku melangkah maju ke ambang pintu yang hancur, menatap langsung ke arah wanita Thalvarian itu.
Semua berita tentang mereka selalu menyebutkan soal kaum bar-bar yang tidak berbudaya, tapi gadis ini... dia sangat cantik, glamor, dan bermartabat.
Dia balas menatapku, matanya yang gelap dipenuhi keterkejutan, kelelahan, dan ketidakpercayaan. Dia melirikku dari atas ke bawah, tersenyum, dan berkata, "Belati itu... apa kamu akan menusukku dengan belati itu setelah anak terakhir diselamatkan?"
Tanganku gemetar, menatap belati Cedric di pinggangku. Itu rencana yang masuk akal dan sangat bagus. Masalahnya adalah... mampukah aku melakukannya? Membunuh dengan tanganku sendiri?
"Aku Luna Velmiran, jika kamu berniat membunuhku setidaknya ingat namaku. Lalu... siapa kau? Kau tampak seperti bangsawan," tanyanya, suaranya terdengar tegang karena konsentrasi.
"Elira Hartwin," jawabku singkat. "Kami di sini untuk membantu mengeluarkan anak-anak itu."
"Membantu?" Dia tertawa kecil, tawa pahit yang nyaris tak terdengar. "Prajurit Gevarran 'membantu' kami?"
"Saat ini, kita bukan prajurit. Kita adalah satu-satunya orang dewasa di ruangan yang penuh dengan anak-anak yang ketakutan," kataku.
"Penyihir... Katakan padaku, berapa lama lagi kau bisa bertahan?"
Dia melirik ke atas, ke balok kayu yang retakannya semakin melebar. "Mungkin... lima menit? Mungkin kurang." Keringat membasahi dahinya. "Dan asal kamu tahu aku bukan penyihir."
Lima menit. Waktu yang sangat singkat untuk menyelamatkan selusin anak-anak yang ketakutan dari neraka ini.
Wanita itu mengerahkan seluruh sisa kekuatannya untuk menahan atap, sementara kami menarik anak-anak yang menangis dari balik puing-puing. Satu per satu, kami membawa mereka keluar dari reruntuhan.
Sementara Baren dan anak buahnya bekerja, aku mencoba menggali informasi darinya. "Namamu Luna Velmiran, kan? Kau bilang kau bukan penyihir, apa itu benar?"
Dia tersenyum licik, matanya berkilat bahkan di tengah kelelahan.
"Benar. Aku dengar di negerimu ini emas cukup umum dan murah, ya? Di tempatku emas itu langka, meski begitu, keluargaku menghasilkan 250.000 koin emas lebih setiap tahunnya. Dengan uang yang mustahil untuk dihabiskan itu, aku membeli berbagai artefak dan material langka untuk menyokong daya tempurku. Apa informasi ini berguna?"
Dia sadar? Aku terdiam. Dia tidak hanya menghindari pertanyaanku, dia menyerangku dengan kesombongan yang menjengkelkan.
Dia menyerang balik. "Elira Hartwin, ya... mengejutkan. Sejauh yang aku dengar, orang-orang Gevarran itu sangat patriarki. Sepanjang hari ini saja aku tidak menemukan satu pun prajurit maupun penyihir wanita di negerimu ini. Apa kau perintis?"
Dia menatap belatiku, jelas takut, tetapi tidak bergerak dari posisinya. Sepertinya anak-anak itu masih prioritas di banding hidupnya.
"Berapa banyak pasukan yang sedang menuju ke sini? Apa kau bisa memerintahkan mereka?" Aku tetap teguh. Terus mencoba menggali informasi.
"Entahlah... mungkin seribu orang? Atau sepuluh? Ah, aku sulit berkonsentrasi... berapa ya..."
Dia juga konsisten sampai akhir, mempermainkanku dengan lidahnya yang cerewet.
Tepat saat Baren membopong anak terakhir keluar, suara derap kuda terdengar. Aku sedikit panik, mengira itu pasukan musuh, tetapi detik berikutnya kembali tenang.
"ELIRA!!"
Duke Raymond dan pasukan kavaleri sihirnya tiba, baju zirah mereka berkilauan di antara api dan bayangan. Dia melompat dari kudanya, wajahnya pucat karena khawatir saat melihatku berdiri di ambang bangunan yang akan runtuh.
Aku meninggalkan Luna dan menghampirinya. "Elira Hartwin memberi salam kepada Yang Mulia Duke Muda."
"Demi Dewa, apa yang kau lakukan di sini!?" serunya, mengabaikan salam itu dan berlari ke arahku. Dia memegangi pundakku dan menyisir setiap bagian tubuhku.
Dia mengkhawatirkanku?
Ah, benar. Itu wajar.
"Anak-anak terjebak. Kami harus mengeluarkan mereka," jelasku singkat.
Dia kemudian mengamati pemandangan di sekeliling kami — lautan api, reruntuhan, dan pasukannya yang mulai mengamankan area. "Pasukan utama Marquess telah tiba dan berkatnya kami berhasil mendorong musuh keluar dari dermaga dan kembali ke benteng es di laut. Meski begitu, masih banyak invader yang tersisa dan bersembunyi di daratan. Tempat ini belum aman."
Saat itulah, dengan anak terakhir yang telah diselamatkan, Luna Velmiran akhirnya melepaskan sihirnya. Artefak-artefak di sekelilingnya meredup. Dengan raungan yang memekakkan telinga, seluruh atap Panti Asuhan Saint Jude runtuh ke dalam, mengirimkan gelombang debu dan puing yang besar.
Luna terhuyung ke depan, wajahnya pucat pasi, napasnya tersengal. Tangannya gemetar saat meraih sebuah ramuan dari ikat pinggangnya dan meneguk isinya. Namun, bahkan dalam kelelahan, matanya tetap tajam dan waspada...
Evakuasi telah selesai. Aliansi kami yang rapuh pun berakhir.
"Yang Mulia!" teriak salah satu ksatria Duke, pedangnya terhunus. "Itu invader!"
"Seragam itu... itu seragam tahun pertama Akademi Trisula! Jangan biarkan dia kabur!"
Duke Raymond menatap Luna, lalu menatapku. Wajahnya dipenuhi konflik. Tapi dia adalah seorang komandan. "Tangkap dia!" perintahnya tegas.
Para ksatria kavaleri sihir langsung menyerbu, menembakkan panah crossbow sihir dari kuda mereka.
Luna, yang tadinya tampak kelelahan, tiba-tiba menegakkan tubuhnya dan menghindar dengan anggun. Matanya yang gelap berkilat berbahaya. "Hartwin, harusnya kamu menusukku tadi," desisnya padaku. "Itu kesalahan. Jika kamu ingin merobek jantung patriarki, jangan ulangi lagi. Ini saran dariku." Dia tersenyum.
Artefak penopang di sekelilingnya menghilang, digantikan oleh set yang baru. Sebuah kipas lipat dari logam hitam legam muncul di tangannya, bersulam simbol ular laut merah darah.
"Yang Mulia! Target terkonfirmasi sebagai kadet Luna Velmiran, putri Duke Velmiran dari Kekaisaran Thalvaria!"
"Luna Velmiran!? Kadet yang menghancurkan semua Artileri sihir kita dan menjarah pasokan kita!?" Duke Raymond terlihat sangat marah. "Tangkap dia hidup-hidup!" perintahnya.
Aku berdiri di antara Duke dan Luna, perasaanku tercabik antara tugas kepada kerajaan dan hutang budi yang aneh kepada wanita yang membantuku menyelamatkan anak-anak.