NovelToon NovelToon
"Blade Of Ashenlight"

"Blade Of Ashenlight"

Status: tamat
Genre:Dunia Lain / Tamat
Popularitas:6.4k
Nilai: 5
Nama Author: stells

Di tanah Averland, sebuah kerajaan tua yang digerogoti perang saudara, legenda kuno tentang Blade of Ashenlight kembali mengguncang dunia. Pedang itu diyakini ditempa dari api bintang dan hanya bisa diangkat oleh mereka yang berani menanggung beban kebenaran.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon stells, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

~Jalan Menuju Highridge~

Pagi datang dengan dingin. Asap masih mengepul dari sisa-sisa pertempuran malam sebelumnya. Benteng Calborne berdiri ringkih, dindingnya penuh retakan, pintunya nyaris roboh, tapi masih tegak.

Edrick berdiri di halaman, memandang para prajurit yang sibuk memperbaiki kerusakan. Banyak dari mereka tidak akan ikut. Mereka harus bertahan di benteng meski tahu kemungkinan hidup kecil. Itu membuat Edrick semakin sadar, jalan yang akan ditempuhnya bukan hanya soal dirinya.

Darius menghampiri, sudah mengenakan baju zirah ringan dan jubah kusam. “Kita berangkat sebelum matahari naik terlalu tinggi. Garrick mungkin sedang mengumpulkan pasukan cadangan. Kalau kita terlambat, jalan ke utara akan ditutup.”

Edrick mengangguk, meski hatinya berat. Ia melirik Mira dan Selene yang menyiapkan perbekalan. Mira sibuk mengikat tas kulit berisi obat-obatan dan kain perban, sementara Selene menggulung peta dan menyelipkannya ke dalam tabung besi.

“Aku tidak percaya kau benar-benar ikut, Selene,” kata Mira tanpa menoleh.

Selene mendengus. “Kalau kubiarkan kalian saja, mungkin dua hari lagi kalian sudah mati di jalan.”

Mira mendecak. “Kau benar-benar menyebalkan.”

“Dan kau terlalu banyak bicara.”

Edrick menatap keduanya sebentar, lalu tersenyum kecil. Meski sering berdebat, ia tahu Mira dan Selene peduli.

Beberapa prajurit berkumpul di dekat gerbang. Salah satu dari mereka, seorang veteran bernama Harlan, mendekati Edrick. “Tuan, benteng ini akan bertahan selama bisa. Tapi kami titipkan harapan pada Anda. Kalau Ashenlight bisa menyatukan para bangsawan, jangan sia-siakan.”

Edrick tidak tahu harus menjawab apa. Ia hanya mengangguk dan menepuk bahu Harlan.

Rombongan kecil akhirnya berangkat: Edrick, Darius, Mira, Selene, dan empat prajurit yang dipilih khusus sebagai pengawal. Mereka menunggang kuda melewati gerbang yang setengah hancur. Jalan berbatu menanti, membentang ke arah hutan utara.

Udara dingin menusuk, bau darah dan asap masih tertinggal.

Beberapa jam perjalanan berlangsung dalam diam. Hanya suara derap kuda dan ranting patah di bawah tapak.

Mira akhirnya membuka mulut. “Edrick, apa kau merasa berbeda setelah menggunakan pedang itu?”

Edrick menunduk, memandangi Ashenlight yang terikat di punggungnya. “Aku… merasa seperti ada sesuatu di dalam pedang ini yang tidak bisa kujelaskan. Saat aku hampir mati, pedang itu bergerak sendiri. Tapi setelahnya, aku merasa tubuhku hancur.”

Darius menimpali, “Itulah sebabnya pedang itu berbahaya. Legenda mengatakan Ashenlight tidak hanya menyalurkan kekuatan, tapi juga menguji jiwa pemegangnya. Kalau kau lemah, pedang itu akan mengurasmu sampai habis.”

Selene mendengus. “Kedengarannya seperti alat kutukan, bukan penyelamat.”

Darius menoleh tajam. “Tapi tanpa itu, kita semua sudah mati.”

Percakapan terhenti.

Saat matahari mulai condong ke barat, mereka sampai di tepi hutan lebat. Pepohonan raksasa menjulang, menutup cahaya. Jalan setapak yang sempit memaksa mereka melambat.

Edrick merasa bulu kuduknya berdiri. Ada sesuatu di udara—sunyi yang tidak wajar.

“Berhenti,” bisik Darius. Ia mengangkat tangannya. Semua menahan kuda.

Suara peluit tajam terdengar dari atas pepohonan. Lalu beberapa anak panah melesat, menancap di tanah di depan mereka.

Dari bayangan pepohonan, muncul sekelompok orang berpakaian hitam, wajah mereka ditutupi kain. Senjata mereka berkilat—pedang pendek, tombak, bahkan busur.

Seorang pria bertubuh besar melangkah maju. Matanya tajam, penuh percaya diri. “Nama kalian tidak penting. Yang penting adalah pedang yang kalian bawa. Serahkan Ashenlight, maka kalian mungkin hidup.”

Edrick menggenggam gagang pedangnya, jantungnya berdegup keras. Ia tahu, ini bukan sekadar perampok biasa. Cara mereka bergerak terlalu terlatih.

Darius berbisik lirih. “Mereka bukan bandit. Mereka pemburu bayaran. Garrick pasti sudah mengirim mereka lebih cepat dari yang kita kira.”

Edrick menarik pedangnya. Cahaya biru kembali menyala, membuat wajah-wajah musuh terlihat jelas di kegelapan hutan.

Pria bertubuh besar itu menyeringai. “Bagus. Biar kami lihat sendiri apa benar pedang itu memilihmu.”

 

Pria bertubuh besar itu mengangkat pedangnya dan berteriak, “Hancurkan mereka!”

Empat anak buahnya bergerak cepat, dua di sisi kiri, dua di kanan, berusaha mengepung. Suara derap kuda, ranting patah, dan desing anak panah memenuhi udara.

Edrick langsung meloncat turun dari kudanya dan maju ke depan. Ashenlight menyala terang saat ia mengayunkannya. Tebasan pertama memotong anak panah yang melesat ke arahnya, serpihannya berhamburan.

Mira mundur sambil mengeluarkan busur kecilnya. Ia menembakkan panah berturut-turut, menahan dua musuh yang mencoba mendekat. “Jangan biarkan mereka memisahkan kita!” teriaknya.

Darius menahan serangan salah satu lawan dengan pedang lebarnya. Suara besi beradu menggema. “Mereka terlatih, hati-hati!” serunya.

Selene bergerak cepat di sisi kanan. Dengan dua belati, ia menyelinap di antara pepohonan, menyerang dari samping. Satu serangan mendadak berhasil melukai bahu seorang pemburu bayaran.

Pria bertubuh besar itu—pemimpin mereka—menerjang ke arah Edrick. Tebasan pedangnya begitu kuat hingga tanah bergetar saat dia menyerang. Edrick memblokir, namun kekuatan lawan membuat tangannya tergetar.

“Ashenlight tidak pantas dipegang bocah sepertimu!” raung pria itu.

Edrick menahan serangan, lalu memutar pedangnya dan menebas rendah. Serangan itu gagal mengenai, tetapi cukup untuk membuat lawannya mundur selangkah.

Darius menangkis serangan lain dan berteriak, “Kita harus memecah formasi mereka! Jangan biarkan mereka menyerang bersamaan!”

Salah satu prajurit pengawal Calborne maju dan berhasil menjatuhkan seorang musuh, tetapi segera setelah itu sebuah tombak menembus perutnya. Dia jatuh dengan teriakan kesakitan.

Mira berlari menghampirinya, namun Selene menarik bahunya. “Jangan! Kita tidak bisa berhenti sekarang!”

“Dia sekarat!”

“Kita semua akan sekarat kalau kita lengah!”

Edrick mendengar percakapan itu sambil menangkis tebasan. Ia tahu mereka benar—setiap gangguan bisa berakibat fatal. Ia memutuskan menyerang balik. Dengan gerakan cepat, ia memotong tombak salah satu musuh, lalu menendangnya hingga jatuh.

Pemimpin pemburu bayaran itu maju lagi, serangannya lebih agresif. Dia menyerang dari atas, Edrick menahan, kemudian memutar pedang dan menebas ke samping. Cahaya biru Ashenlight menerangi pepohonan, membuat musuh lain mundur sejenak.

Tiba-tiba dua anak panah melesat ke arah Mira. Darius bereaksi cepat—ia menangkis satu anak panah dengan pedangnya, namun yang lain melukai Mira di lengan. Mira menggigit bibir, menahan rasa sakit, tetapi tetap menembakkan panah balasan yang menumbangkan penyerangnya.

Selene memanfaatkan kekacauan itu untuk menyelinap ke belakang. Ia melompat dari balik pohon dan menyerang salah satu pemanah musuh dari belakang, menjatuhkannya.

Perlahan, keunggulan jumlah pemburu bayaran mulai berkurang. Tapi pemimpin mereka masih berdiri tegak, napasnya stabil, matanya penuh amarah.

Dia menatap Ashenlight yang bersinar di tangan Edrick. “Kau tidak tahu kekuatan apa yang sedang kau mainkan, bocah. Pedang itu akan menghabisimu.”

Edrick menjawab dengan suara tegas, “Kalau itu yang diperlukan untuk menghancurkan Garrick, aku akan menanggungnya.”

Dengan teriakan keras, keduanya saling menerjang. Suara benturan logam terdengar keras, percikan api berhamburan. Mereka bertukar serangan cepat, saling menguji kekuatan. Pemimpin itu jelas lebih berpengalaman, tapi Ashenlight memberi Edrick kecepatan ekstra.

Sebuah tebasan kuat dari Edrick akhirnya mematahkan pedang lawannya. Pria itu mundur, terhuyung, lalu menatap Edrick dengan marah. Tanpa berkata-kata, ia melemparkan pisau lempar ke arah Edrick dan melarikan diri ke dalam hutan. Pisau itu hanya menggores bahu Edrick.

Darius berteriak, “Jangan kejar! Bisa jadi jebakan!”

Para pemburu bayaran yang tersisa segera melarikan diri, meninggalkan beberapa mayat di tanah.

Semua terdiam sejenak, hanya terdengar napas terengah-engah dan suara kuda yang resah.

Mira memeriksa lukanya. “Itu bukan perampok biasa. Mereka tahu apa yang mereka cari.”

Selene mengangguk. “Dan mereka tidak akan berhenti. Garrick akan mengirim lebih banyak.”

Edrick menatap Ashenlight. Cahaya pedang itu perlahan meredup lagi. Ia menggenggam gagangnya erat.

 

Rombongan berdiri di tengah hutan, napas mereka masih terengah. Bau darah bercampur tanah basah memenuhi udara. Burung-burung yang sebelumnya diam mulai kembali berkicau, seolah hutan mengabaikan kekacauan yang baru saja terjadi.

Darius memeriksa area sekitar, matanya menyapu setiap bayangan. “Mereka benar-benar terlatih. Bukan sembarang pemburu bayaran—mungkin pasukan khusus Garrick yang disewa untuk memburu kita.”

Mira merobek ujung pakaiannya untuk membalut lukanya. “Lengan ini tidak akan menghentikanku. Tapi kita perlu berhenti sebentar, aku tidak bisa menarik busur dengan baik kalau darahnya terus keluar.”

Selene mengangguk. “Kita cari tempat yang lebih aman, lebih dalam ke hutan. Kita tidak tahu apakah mereka meninggalkan penanda untuk pasukan lain.”

Edrick membantu Mira naik ke kudanya. “Kita bergerak. Tapi kita harus tetap waspada. Ini bukti Garrick tidak akan memberi kita waktu bernapas.”

Mereka menuntun kuda mereka perlahan melalui jalur sempit, suara dedaunan kering yang terinjak terdengar jelas. Beberapa ratus meter dari tempat baku hantam, Darius menemukan sebuah celah batu besar di bawah tebing kecil. Di dalamnya cukup luas untuk menampung mereka dan kuda-kuda.

Mereka membuat api kecil. Cahaya redupnya menari di dinding batu, memberi sedikit rasa aman. Mira duduk bersandar, wajahnya pucat. Selene menyiapkan ramuan herbal sederhana untuk menghentikan pendarahan.

“Kau tidak boleh terlalu sering memaksakan pedang itu, Edrick,” kata Darius, memecah keheningan. “Aku bisa melihat wajahmu setelah pertempuran—kau hampir pingsan.”

Edrick menatap Ashenlight yang tergeletak di pangkuannya. “Aku merasakannya. Seolah pedang ini menyedot tenagaku setiap kali kupakai. Tapi kalau aku tidak memakainya, kita semua mungkin sudah mati.”

Selene menoleh padanya. “Jangan sampai kau jadi budak pedang itu. Kita butuh kau tetap waras, bukan hanya pedangnya.”

Mira, meski lemah, menimpali, “Kau bukan pahlawan mitos, Edrick. Kau hanya manusia. Ingat itu.”

Edrick menarik napas panjang. “Aku tahu. Tapi Averland butuh lebih dari manusia biasa sekarang.”

Darius mendekat ke api, wajahnya serius. “Kita tidak bisa ke Highridge lewat jalan utama. Garrick akan menutup semua rute yang mudah dilalui. Kita harus memotong lewat lembah Serpent’s Maw. Itu berbahaya, penuh jurang dan makhluk liar, tapi lebih baik daripada disergap pasukan Garrick di jalan terbuka.”

Selene mendengus. “Serpent’s Maw? Kita bahkan tidak tahu apakah jalannya masih bisa dilalui setelah longsor tahun lalu.”

“Kita tidak punya pilihan,” jawab Darius cepat. “Kalau kita terus di jalur biasa, kita akan mati sebelum sampai.”

Edrick menatap peta. Garis yang mewakili Serpent’s Maw tampak tipis dan berkelok-kelok. “Kalau ini satu-satunya cara, kita lakukan.”

Malam semakin larut. Di luar gua, angin berdesir kencang, membuat pepohonan bergoyang. Selene menjaga pintu masuk sementara yang lain mencoba tidur.

Edrick tidak bisa memejamkan mata. Ia menatap pedang Ashenlight yang bersinar samar, seolah bernapas. Di dalam hatinya, ia tahu perjalanan ini tidak akan mudah. Tapi ada sesuatu di dalam dirinya—entah tekad atau kemarahan—yang membuatnya tidak ingin berhenti.

Di kejauhan, di sisi lain hutan, pemimpin pemburu bayaran yang berhasil melarikan diri berdiri di samping kuda hitamnya. Wajahnya tergores dan berdarah, tapi matanya penuh tekad. Ia mengeluarkan kristal kecil, meniupkan kata-kata sihir, dan bayangan wajah Garrick muncul di permukaannya.

“Tuan,” katanya dengan suara serak, “bocah itu memegang Ashenlight. Dan dia bukan pemula yang mudah ditaklukkan. Kita butuh pasukan lebih besar.”

Garrick menatapnya melalui ilusi sihir itu, matanya tajam. “Jangan khawatir. Ini baru permulaan. Kita akan mengepung mereka di Highridge, dan pedang itu akan menjadi milikku. Kau hanya perlu terus mengikuti mereka.”

Pria itu mengangguk, lalu menunggang kudanya dan menghilang ke kegelapan.

Kembali di gua, api kecil mulai padam. Edrick akhirnya memejamkan mata, mencoba mengumpulkan kekuatan untuk perjalanan esok.

1
Siti Khalimah
👍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!