NovelToon NovelToon
Billioraire'S Deal: ALUNALA

Billioraire'S Deal: ALUNALA

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Cinta Terlarang / Pernikahan Kilat / Crazy Rich/Konglomerat / Romansa / Dark Romance
Popularitas:965
Nilai: 5
Nama Author: Marsshella

Pernikahan mereka bukan karena cinta, tapi karena ultimatum. Namun malam pertama membuka rahasia yang tak pernah mereka duga—bahwa gairah bisa menyalakan bara yang tak bisa padam.

Alaric Alviero—dingin, arogan, pewaris sah kekaisaran bisnis yang seluruh dunia takuti—dipaksa menikah untuk mempertahankan tahtanya. Syaratnya? Istri dalam 7 hari.

Dan pilihannya jatuh pada wanita paling tak terduga: Aluna Valtieri, aktris kontroversial dengan tubuh menawan dan lidah setajam silet yang terkena skandal pembunuhan sang mantan.

Setiap sentuhan adalah medan perang.
Setiap tatapan adalah tantangan.
Dan setiap malam menjadi pelarian dari aturan yang mereka buat sendiri.

Tapi apa jadinya jika yang awalnya hanya urusan tubuh, mulai merasuk ke hati?

Hanya hati Aluna saja karena hati Alaric hanya untuk adik sepupunya, Renzo Alverio.

Bisakah Aluna mendapatkan hati Alaric atau malah jijik dengan pria itu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Marsshella, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Di Balik Kursi CEO

Renzo: Bang, masih di kantor?

Alaric: Selalu. Dunia gak berhenti jam 5 sore. Lo juga masih?

Renzo: Iya, sekalian mau share satu hal... agak gila.

Alaric: Gue siap. Selama bukan tagihan warisan Grandpa dari Mama lo

Renzo: Lebih parah. Gue kerja bareng... anak dari simpanan Grandpa

Alaric: Lo ulang! Anak dari SIMPANAN siapa?

Renzo: Dari simpanan Grandpa yang udah meninggal. Cewek berhijab di kantor gue. Namanya Nadhifa

Alaric: Gue mau muntah atau minum lagi gue gak ngerti

Renzo: Jangan muntah. Nanti artikel media bilang pewaris Alverio alergi kebenaran. Anyway, dia gak minta apa-apa. Cuma kerja. Tapi… tahu banyak

Alaric: Shit!

Alaric baru saja menaruh gelas kopi ke meja saat pintu ruangannya diketuk sekali dan terbuka langsung. Seorang staf perempuan, resepsionis, buru-buru masuk.

“Maaf, Pak Alaric. Tamu Anda datang tanpa janji. Kami—”

Sosok itu sudah muncul di ambang pintu sebelum kalimat selesai.

Aluna.

Dengan blazer putih elegan, inner hitam, dan rok body fit senada. Rambutnya dicepol santai, hanya beberapa helaian mengapit wajah. Bibirnya memerah, senyum setengah mengejek.

“Masih kerja? Atau ngobrolin gosip keluarga?”

“Kalau kamu datang bawa kabar tiket laku 8 juta, seharusnya bawa kue juga.”

Aluna tertawa kecil sambil melangkah masuk dan menutup pintu. “Aku bawa berita lebih manis. Tapi bukan buat dibagi.”

Notifikasi chat Renzo masih terbuka di layar Alaric. Tapi kini perhatiannya sepenuhnya diisi oleh wanita yang jadi konten seluruh dunia.

Dan, mungkin… juga pikirannya.

Alaric bersandar di kursinya, menekuk satu kaki ke arah dalam dan menatap Aluna yang berdiri beberapa langkah dari meja kerjanya.

“Film kamu bagus,” gumam Alaric, tangannya menyilang di dada. “Sinematografi bagus. Musiknya pas. Dan... ya, adegan ranjangnya—natural.”

Aluna menyipitkan mata. “Kamu nonton sampai akhir?”

“Tentu. Investor harus tahu dimana uangnya dipakai.”

Suara Alaric ringan, tapi ada tatapan tajam yang tak bisa dia sembunyikan. Tatapan yang... tak sekadar profesional.

Aluna melangkah ke sisi meja, jari-jarinya menyentuh permukaan marmer dingin.

“Apa kamu nonton karena penasaran... atau karena ingin tahu siapa yang bisa menyentuh ‘tahananmu’ lebih dulu?”

Alaric tersenyum miring. “Kalau kamu bilang begitu, harusnya kamu pulang cepat dan lapor langsung. Tapi sekarang kamu malah ada di sini.”

Aluna tak langsung menjawab. Ia berjalan memutar meja besar itu, mendekati kursi Alaric, lalu bersandar di meja. Kakinya bersilang, dagunya diangkat.

“Kamu tahu kenapa aku ke sini? Karena aku sedang ‘berperan’ jadi istri CEO paling muda dan paling dingin di dunia.”

Alaric menaikkan alis. “Dan kamu pikir kamu bisa akting lebih bagus daripada film kamu itu?”

“Aku bisa.” Aluna menjawab cepat. “Meski akting di dunia nyata jauh lebih sulit. Dan pencitraan ini butuh akurasi tinggi… biar media tetap makan dari kehidupan kita.”

Alaric berdiri. Tingginya menutupi cahaya dari jendela belakang. Kini hanya jarak satu meja di antara mereka. “Jadi kamu datang bukan karena kangen? Bukan karena pengen lihat suami gantengmu yang belum makan malam?”

Aluna tertawa pelan. “Kalau aku bilang iya, kamu pasti tambah sombong.”

Alaric melangkah lebih dekat. Hanya beberapa inci dari lutut Aluna yang masih duduk di meja. “Atau kamu datang karena kamu tahu… kita ini terlalu sering main peran, sampai kamu mulai bingung… mana akting, mana kenyataan.”

Aluna terdiam. Sekilas, pandangannya menurun ke dada Alaric yang terbuka sedikit karena dua kancing kemejanya terbuka.

“Kalau kamu lelah main peran, Alaric... kenapa nggak berhenti?”

Alaric menatapnya dalam. “Karena aku masih belum yakin... siapa penontonnya.”

Setelah keheningan yang menggantung dalam ruangan itu, Aluna perlahan melangkah ke belakang kursi Alaric. Tumit stilettonya nyaris tak bersuara di atas karpet mahal.

Tangan rampingnya menyentuh bahu Alaric—lalu menekan perlahan.

Lembut, tapi pas. Bukan seperti memijat seorang suami… tapi seperti membaca tubuh pria yang sedang ia kendalikan perlahan-lahan.

Alaric menghela napas panjang. Tangannya yang sebelumnya memegang pulpen jatuh ke atas meja. Kepalanya bersandar ke sandaran kursi, mata terpejam.

“Kamu ahli juga ya…” gumamnya lirih. “Bisa bikin aku lupa diri.”

Aluna hanya tersenyum kecil di balik punggungnya. “Karena kadang… pria seperti kamu, cuma bisa disentuh kalau egonya dibelai dulu.”

Tekanan jemari Aluna turun ke bahu dan leher Alaric. Lalu melambat. Menjadi sentuhan ringan. Dan perlahan, berubah menjadi pelukan.

Lengan Aluna kini menyilang di depan dada Alaric. Tubuhnya merunduk sedikit, wajahnya mendekat ke telinga suaminya. Napasnya hangat menyentuh kulit Alaric.

“Kamu tahu, Al…” bisik Aluna, suaranya rendah dan mengalir seperti madu. “Terkadang, aku nggak yakin kamu benci aku atau kamu cuma takut jatuh cinta.”

Dada Alaric naik turun perlahan. Rahangnya menegang. Matanya masih tertutup. Tapi tangannya kini mengepal di atas paha.

“Atau jangan-jangan kamu memang suka semua yang kamu benci?”

Dan di detik berikutnya—Alaric bangkit. Satu gerakan cepat, ia menarik tangan Aluna ke depan.

Aluna terkejut, tubuhnya ditarik, lalu jatuh—

Langsung ke pangkuan Alaric.

Satu lengannya memeluk pinggang Aluna, menahan agar tidak bergerak terlalu jauh. Wajah mereka kini hanya terpisah napas.

Mata Aluna melebar sedikit. Tapi ia tidak menolak. Tidak juga bicara. Dan Alaric hanya menatap dalam... bibirnya terkatup rapat.

Tapi tubuhnya bicara lain. Penuh kontrol, namun jelas… ia kini kehilangan kendali.

Ciuman mereka pecah. Panas. Dalam. Napas beradu.

Tangan Aluna mencengkeram kerah kemeja Alaric, tubuhnya merapat, berani dan terbuka.

Mulutnya turun ke leher Alaric. Alaric menarik napas tajam, jari-jarinya sempat menekan paha Aluna… sampai dering telepon kantor memotong segalanya.

Alaric mendecak. Tapi mengangkat telepon.

“Alaric…” Suara Aluna tenang tapi dalam, masih terbakar oleh sisa ciuman tadi.

“Ya, saya sudah tahu soal pengiriman yang telat. Koordinasikan dengan logistik pusat. Kontak kepala gudang. Saya kirimkan rute baru—malam ini juga.”

Aluna menatapnya tak percaya. Ia masih duduk di pangkuan pria itu, napas belum stabil, pipinya merah padam.

Alaric menutup telepon. Hening.

Lalu perlahan—ia mendorong Aluna menjauh dari tubuhnya. Seperti menarik realitas ke dalam ruangan itu.

“Pergi dari sini,” ucap Alaric pelan.

Aluna mengerjap. “Apa?”

Alaric berdiri, membetulkan kerah kemejanya. Matanya tidak menatap Aluna, tapi ekspresinya tajam.

“Bukan kamu yang akan kuajak menyelesaikannya di rumah.”

“What the hell is that supposed to mean?” Aluna menyipitkan mata. Dadanya naik turun.

Alaric menatapnya akhirnya. Dingin. Tegas. “Ada orang lain. Di divisi pemasaran. Yang bisa muasin aku.”

Aluna menahan napas. Dunia seperti membeku sebentar. “Renzo?” gumamnya lirih.

Alaric tidak menjawab. Tapi tatapan kosongnya cukup sebagai jawaban.

...***...

Sore itu, matahari mulai condong ke barat.

Di depan gedung tinggi Alverio Group, trotoar ramai dengan lalu lalang orang, kendaraan melintas, dan kios aksesoris kecil yang berdiri di tepi jalan

Aluna berdiri di depan kios itu. Kacamata hitamnya tersangkut di kepala.

Ia menunduk memeriksa gelang-gelang buatan tangan di nampan kain beludru. Ada satu gelang hitam dengan manik biru laut yang menarik perhatiannya.

“Kak Aluna?”

Suara seorang remaja memanggil gugup.

Aluna menoleh dan tersenyum hangat. “Hai!”

“Boleh foto bareng nggak, Kak?”

“Boleh dong.”

Dalam sekejap, dua, tiga penggemar remaja sudah mendekat, mengeluarkan smartphone mereka. Lalu berfoto bersama.

Aluna menandatangani buku catatan, smartphone case, bahkan satu masker kain.

“Kami semua percaya Kak El nggak bersalah waktu itu. Sekarang filmnya keren banget!”

Aluna tertawa, mata membentuk bulan sabit. “Makasih ya... Aku bisa begini juga karena kalian.”

Lalu dengan isyarat ringan ke pedagang, Aluna menunjuk lima gelang. “Semua untuk mereka, ya. Aku traktir.”

Tak jauh dari sana, tepat di depan pintu kaca utama gedung Alverio—Alaric berdiri diam.

Baru saja selesai rapat dadakan, tangan kirinya memegang smartphone, tangan kanan di saku celana.

Matanya menatap Aluna dari kejauhan. Ada senyum samar, tapi cepat lenyap.

“Pak, mobil sudah siap,” kata sopirnya.

Alaric menoleh sebentar, lalu kembali ke arah Aluna. “Tunggu. Saya tadi janji pulang bareng.”

Namun saat ia ingin mendekat...

Seseorang muncul dari sisi jalan.

Pria. Tinggi. Tegap. Rambut hitam rapi. Baju kasual tapi branded. Tersenyum saat melihat Aluna.

Tangan pria itu menyentuh bahu Aluna.

Sekilas—mirip Alaric. Tapi lebih dewasa. Ada aura hangat dan percaya diri yang memancar kuat dari posturnya.

“Al,” sapa pria itu dengan suara rendah tapi bersahabat.

Aluna menoleh dan menjerit kecil kegirangan. “Oh my God!! Bang Kenzie?!”

Ia memeluk pria itu dengan spontan. Tubuhnya setengah melompat. Kakinya terangkat sedikit ke belakang.

“Gue kira Abang pindah ke Jepang!”

“Baru balik seminggu lalu. Lo sekarang beneran jadi bintang besar, ya?”

Aluna tersenyum lebar, matanya berbinar.

“Guys,” katanya ke para penggemar kecil yang masih menatap. Mungkin mengira itu selingkuhan Aluna jika tidak mantan kekasih.

“Kenalin, ini Bang Kenzie. CEO agensi pertamaku. Yang pertama kali bilang aku cocok di layar kaca, bukan cuma teater.”

Alaric berdiri kaku. Matanya tak berkedip, rahangnya mengeras. Tangan yang tadinya di sakunya kini mengepal.

Dan… entah kenapa, ia tidak melangkah maju.

Hanya memandangi Aluna—yang tertawa, tersenyum, dan terlihat lebih bebas daripada saat bersamanya.

1
Soraya
mampir thor
Marsshella: makasi udah mampir Kak ❤️
up tiap hari stay tune ya 🥰
total 1 replies
Zakia Ulfa
ceritanya bagus cuman sayang belum tamat, dan aku ini g sabaran buat nungguguin bab di up. /Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm/
Marsshella: makasi udah mampir, Kak ❤️
Up tiap hari udah aku alarm 😂
total 1 replies
Desi Oktafiani
Thor, aku udah nggak sabar nunggu next chapter.
Marsshella: ditunggu ya, update tiap hari 👍
total 1 replies
Dear_Dream
🤩Kisah cinta dalam cerita ini sangat menakjubkan, membuatku jatuh cinta dengan karakter utama.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!