Di tanah Averland, sebuah kerajaan tua yang digerogoti perang saudara, legenda kuno tentang Blade of Ashenlight kembali mengguncang dunia. Pedang itu diyakini ditempa dari api bintang dan hanya bisa diangkat oleh mereka yang berani menanggung beban kebenaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon stells, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mata-Mata Di Bayangan
Pagi di Windmere berembun tebal. Rombongan bersiap melanjutkan perjalanan ke selatan, kuda-kuda diberi pelana, persediaan diikat di pelana samping.
Selene sibuk menyalin beberapa tanda sihir perlindungan di pelindung baju Edrick, sementara Alden mengatur formasi pengawal.
Namun, di antara pengawal itu, seorang prajurit muda bernama Rowan tampak gelisah. Tangannya sering menyentuh kantong kulit di pinggangnya, seolah menyembunyikan sesuatu.
Alden memperhatikannya. “Kau. Rowan. Ada apa denganmu? Dari tadi kau gemetar seperti kambing akan disembelih.”
Rowan tersentak, wajahnya pucat. “Tidak, tuan. Hanya… udara dingin.”
Tapi Selene menoleh cepat. Matanya menyipit. “Bukan udara dingin. Ada bisikan bayangan di sekelilingnya.”
Dalam sekejap, Alden meraih Rowan, menyeretnya ke tengah halaman. “Buka kantong itu.”
Rowan menggeleng keras. “Tidak! Itu hanya jimat dari keluargaku!”
Edrick maju, matanya menyala dengan api biru. “Buka, atau aku bakar isinya sampai abu.”
Dengan tangan gemetar, Rowan akhirnya membuka kantong itu.
Isinya: sepotong batu hitam berurat merah, berdenyut pelan seperti jantung hidup. Begitu keluar dari kantong, udara sekitar langsung mendingin.
Selene terbelalak. “Itu batu bayangan. Dengan itu, Malrik bisa melihat setiap langkah kita. Kita sudah diintai sejak Harrenhall.”
Alden mengangkat pedang, siap menebas. “Pengkhianat!”
Rowan berlutut, menangis. “Aku tidak punya pilihan! Mereka mengancam keluargaku di selatan! Kalau aku tidak membawa batu ini bersamaku, mereka akan mati!”
Edrick menatapnya lama. Api biru di pedangnya bergetar, seolah ingin langsung membakar batu itu beserta pemiliknya.
Tapi Selene meletakkan tangan di lengannya. “Kalau kita bunuh dia sekarang, keluarganya tetap mati. Malrik tidak peduli. Yang kita harus lakukan adalah memutus ikatan batu itu.”
Ia mulai merapal mantra, tongkatnya bergetar, cahaya putih melilit batu hitam. Batu itu menjerit ya, benar-benar menjerit seperti makhluk hidup lalu retak, hancur jadi debu.
Rowan jatuh tersungkur, tubuhnya menggigil hebat, tapi hidup.
Alden masih menatapnya dengan dingin. “Dia tetap pengkhianat.”
Edrick mendekat, menatap Rowan yang masih gemetar. “Kau akan tetap ikut dengan kami. Tapi bukan sebagai prajurit sebagai saksi. Kau akan menunjukkan pada kami betapa kuatnya bayangan memaksa orang memilih pengkhianatan.”
Rowan menatapnya dengan mata basah, lalu mengangguk lemah.
Saat rombongan kembali bergerak, Selene berbisik pada Edrick. “Kau tahu kan, Malrik sengaja memilih anak muda seperti dia. Supaya kau tahu… bahkan orang biasa bisa jadi alatnya. Dan kau tak bisa menebas mereka semua tanpa kehilangan hatimu.”
Edrick menatap jalan selatan yang panjang, berbisik pada dirinya sendiri. “Kalau hatiku harus hilang untuk menyalakan api ini… apa aku masih Hale, atau sudah sesuatu yang lain?”
Sungai Veynar terbentang di hadapan mereka luas, deras, dan dingin seperti baja cair. Jembatan batu kuno yang seharusnya menjadi jalur utama sudah runtuh separuhnya, meninggalkan reruntuhan licin yang tak bisa dilewati kuda.
“Tidak ada cara lain kecuali perahu,” gumam Alden, menatap air berputar.
Penduduk setempat menolak menyeberangkan mereka. “Air itu dikutuk,” kata seorang nelayan tua. “Beberapa malam terakhir… bayangan muncul dari dasar. Mereka menyeret siapa pun yang berani.”
Selene menatap arus hitam. “Kutukan itu bukan alami. Malrik tahu kita harus melewati sini.”
Akhirnya, rombongan menyewa dua perahu kayu besar. Kuda-kuda dimuat dengan hati-hati, sementara pengawal bersiap dengan tombak di tangan.
Edrick berdiri di haluan, Ashenlight berselubung kain, tapi sinarnya tetap berdenyut samar, seolah resah.
Setengah perjalanan, kabut turun. Air di sekitar mereka mendadak tenang, terlalu tenang.
Lalu, dari permukaan sungai, tangan-tangan hitam muncul panjang, kurus, seakan terbuat dari air itu sendiri. Mereka melilit perahu, mencoba menariknya ke dalam arus.
“Bayangan sungai!” teriak Selene, merapal cepat. Cahaya putih menyambar, memutus beberapa tangan, tapi lebih banyak lagi muncul dari kedalaman.
Alden menebas tangan-tangan itu, kayu perahu berderak. “Kalau ini terus, kita semua akan tenggelam!”
Edrick menatap ke dalam arus, lalu melepaskan kain Ashenlight. Api biru menyala, menerangi kabut.
Air mendidih di sekelilingnya, tangan-tangan itu mengerang seolah terbakar. Tapi semakin terang api, semakin keras sungai bergejolak, seolah melawan.
Dari tengah arus, makhluk raksasa muncul. Tubuhnya terbuat dari air dan bayangan, wajahnya samar seperti topeng tanpa mata.
“Putra api…” suaranya bergema dari seluruh sungai. “Kau tidak akan menyeberang. Sungai ini adalah gerbang, dan gerbang ini milik kami.”
Edrick menatap makhluk itu. “Kalau sungai ini gerbangmu, maka api ini akan jadi kunci yang menghancurkan gerbang itu!”
Ia mengangkat Ashenlight tinggi, lalu menusukkannya ke air.
Ledakan cahaya biru menerangi seluruh sungai. Air mendidih, kabut tersibak, dan makhluk itu menjerit sebelum pecah jadi percikan hitam yang hilang bersama arus.
Perahu berguncang keras, hampir terbalik, tapi akhirnya tenang.
Ketika mereka mencapai seberang, pengawal berlutut, napas mereka masih terengah. “Kalau kita tidak punya api itu, kita semua sudah jadi bangkai di dasar.”
Edrick menatap arus yang kembali tenang, suaranya rendah. “Bayangan bisa menguasai hutan, kota, bahkan sungai. Tapi selama api ini ada… tidak ada gerbang yang tidak bisa kupatahkan.”
Selene menatapnya lama. “Kau bicara seperti seseorang yang mulai percaya api itu bukan hanya alat. Kau bicara seperti seseorang yang sudah menyatu dengannya.”
Edrick terdiam, tapi Ashenlight di tangannya bergetar… seolah mengamini.
Di ibukota Arvendral, malam dipenuhi cahaya lentera emas dan anggur yang dituangkan tanpa henti. Namun di balik pesta, di aula bawah tanah para bangsawan berkumpul tanpa lambang, tanpa pengawal hanya suara berbisik.
Lord Veynar, tua dan gemuk, mengusap janggutnya. “Kabar dari utara benar. Anak itu… Hale, atau Edrick, atau apa pun dia sekarang, membawa api biru. Dan ia membakar bayangan di Windmere.”
Lady Corvane, wajahnya pucat setajam belati, menyipitkan mata. “Bayangan adalah musuh, memang. Tapi lebih berbahaya dari bayangan adalah rakyat yang mulai bersorak untuknya. Kalau mereka melihat api biru sebagai penyelamat, apa gunanya lagi mahkota emas?”
Seorang bangsawan muda, Lord Fenric, menunduk tapi bersuara lantang. “Kalau kita biarkan dia masuk ke ibukota, tak peduli apa kata Raja Aldric… semua mata akan beralih padanya. Aku lebih suka melihat bayangan berkuasa daripada api itu mengambil takhta.”
Perdebatan berlangsung sengit. Ada yang menganggap Edrick ancaman, ada pula yang berharap ia bisa menjadi senjata baru melawan bayangan.
Akhirnya, Lady Corvane mengangkat cangkir anggur. “Kita tidak bisa menunggu Aldric memutuskan. Kalau Hale datang, kita harus sudah siap dengan racun di piala, pisau di bayangan, dan mata-mata di setiap lorong.”
Semua mengangguk.
Di balik tirai ruangan, seorang pelayan muda mendengar semuanya. Napasnya bergetar, tangannya gemetar menggenggam nampan kosong. Ia berlari keluar, menembus lorong gelap, menuju ke kamar kecil di bawah tanah.
Di sana, ia membuka cermin kecil. Dari cermin itu, kabut hitam menyebar, dan suara dalam muncul.
“Laporan,” desis suara itu.
Pelayan menunduk dalam. “Bangsawan… mereka bersekutu. Mereka berencana membunuh Pangeran Hale sebelum ia menginjakkan kaki di istana.”
Suara itu tertawa rendah, bergema bagai bisikan ribuan mulut. “Bagus… biarkan mereka melakukannya. Semakin mereka membenci api, semakin mudah bayangan menyusup ke mahkota.”
Sementara itu, di jalan selatan jauh dari ibukota, Edrick menunggang kudanya, tanpa tahu bahwa bukan hanya bayangan yang menantinya.
Musuh terbesarnya mungkin bukan Malrik di kegelapan, tapi darah bangsawan yang seharusnya menjadi sekutunya.