Viona Mollice, gadis 24 tahun—penghasil pundi-pundi uang yang bekerja keras bagaikan kuda. Ia melakukan beberapa pekerjaan dalam sehari hanya untuk menyambung hidup, juga membayar biaya kuliahnya.
Suatu hari, Viona mendapatkan tawaran pekerjaan dari temannya yang sama-sama bekerja di Harmony Cafe. Namun, entah bagaimana ceritanya hingga wanita itu bisa terbangun di sebuah kamar hotel yang sangat mewah nan megah dalam keadaan tidak wajar.
"Meskipun aku miskin dan sangat membutuhkan uang, tapi aku tidak menjual tubuhku!" ~ Viona Mollice.
***
Daniel Radccliffe, billionaire muda yang merayakan ulang tahunnya ke-27 tahun di sebuah club malam ternama di kotanya dengan mengundang banyak wanita dari berbagai kalangan.
Club malam dan wanita adalah gaya hidup lelaki yang biasa disapa Erick. Bertukar wanita sudah seperti bertukar baju yang dilakukannya beberapa kali dalam sehari. Bahkan, Erick membuang wanita segampang membuang permen karet. Dan sudah menjadi rahasia umum, jika Erick bangu
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itsme AnH, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jadilah Wanitaku
Daniel baru saja akan berlabuh ke pulau kapuk yang damai ketika suara bel apartemen berbunyi nyaring. Suara itu memecah keheningan malam, dan dengan enggan, ia meninggalkan dunia khayalnya yang sepi. Dengan ragu, Daniel membuka pintu dan Viona berdiri di sana dengan wajah sayu yang menyiratkan beban berat di pundaknya.
Matanya yang biasanya cerah kini tampak suram dan kosong. Daniel merasakan ada sesuatu yang salah, jauh lebih dalam dari sekadar kesedihan yang biasa menyelimuti Viona.
Mereka duduk di ruang tengah, dan begitu keduanya berada di sana, kesunyian menyelimuti ruangan. Viona menatap layar TV tanpa fokus, jarinya sesekali menyendok makanan yang dipesan Daniel, seakan makanan itu hanya bagian dari rutinitasnya yang hampa.
Daniel menghela napas pelan, hatinya berdesir oleh kebingungan. Ia ingin sekali menggenggam Viona, menyelami apa yang ada di dalam benaknya, tetapi rasanya seperti berhadapan dengan tembok yang kokoh. “Apa yang kau lakukan sejak tadi?” Suaranya pelan, berusaha merobek selubung sunyi yang melingkupi mereka.
Viona menoleh sekilas, tetapi matanya tetap tak menampakkan jawaban, hanya kesedihan yang merayap perlahan.
Entah Viona yang tengah menonton TV atau layar berwarna dan bersuara itu yang sedang menontonnya.
Viona menatap Daniel dalam kebisuan, ingatannya tiba-tiba saja membawa dirinya pada selembar kertas yang pernah lelaki itu berikan padanya dan bisa menjadi lembaran uang dalam sekelip mata.
Jika dipikirkan kembali, cek yang Daniel berikan tempo lalu lebih dari cukup untuknya membayar utang-utangnya pada Effendy.
Namun, sayangnya benda itu sudah tidak ada di tangannya lagi.
Tidak mungkin meminta kembali uang yang sudah ia sedekahkan, lebih tidak mungkin jika meminta lagi pada Daniel. Lagipula, jika ia menggunakan uang tersebut, sama saja dirinya menerima hinaan Daniel waktu itu.
Viona mendesah frustasi, antara menyesali perbuatan baiknya atau mengeluh pada takdir hidupnya yang buruk.
"Kenapa kau menatapku seperti itu?" Daniel jadi ngeri sendiri mendapatkan tatapan yang begitu intens dari Viona.
Viona menggeleng, mebuang tatapannya dari Daniel. "Bukan apa-apa."
"Jadi, apa yang mengganggu pikiranmu?" Daniel masih membutuhkan jawaban dari pertanyaan yang membuatnya begitu penasaran dan tentunya hal itu mengganggu dirinya.
Viona kembali menghela napasnya, terdengar keras sannterasa berat. Sampai-sampai Daniel merasa terganggu dengan apa yang wanita itu lakukan berulang kali.
"Berhentilah menghela napas, katakan apa yang mengganggu pikiranmu!" seru Daniel, dari nada suara dan tatapannya jelas terlihat lelaki itu sedang kesal.
"Aku membutuhkan uang," ujar Viona dengan wajah yang terlihat begitu tertekan.
"Hanya masalah uang, kau jadi seperti orang yang hidup segan mati tak mau," cibir Daniel kental dengan nada ejekan, membuat Viona kesal.
Wanita yang duduk dengan kedua kaki saling menyilang di atas sofa, melotot galak pada Daniel yang duduk di seberangnya. "Karena uang bukan masalah bagimu, jadi kau bisa berkata seperti itu!" ketusnya memasang wajah masam.
Memang benar, Daniel tidak pernah kekurangan uang karena ia terlahir dengan sendok emas di mulutnya. Itu sebabnya uang tidak pernah menjadi masalah dalam hidupnya.
Namun, bukan berarti hidupnya terlalu lurus tanpa belokan dan tanjakan seperti jalan yang ada di Kerajaan Arab Saudi yang dikenal sebagai jalan 10. Masalah yang terjadi dalam hidupnya saat ini lebih rumit lagi dari yang Viona rasakan, hanya saja karena mereka punya takaran masalah tersendiri, jadi hanya mereka masing-masing yang bisa merasakan kesulitan dalam mengendalikan masalah tersebut.
Jangankan meminta maaf atas kata-katanya, Daniel bahkan sama sekali tidak merasa bersalah. Lelaki itu menaikkan sebelah alisnya, juga melipat kedua kedua tangannya di depan dada, membuatnya terkesan angkuh dengan apa yang dimilikinya saat ini.
"Kalau begitu, kenapa kau gak meminta bantuanku? Tidakkah kau tau, aku punya kekuatan super?"
"Super apanya?" tanya Viona dengan memajukan sedikit tubuhnya ke depan, nampak tertarik dengan kekuatan yang dibicarakan Daniel dan di saat bersamaan wanita itu terlihat tidak percaya dengan kebenarannya.
"Super kaya," jawab Daniel menghempas jauh rasa penasaran Viona.
Wanita itu merotasikan bola matanya, lalu memasang senyum sinis. "Karena aku tau, kau gak akan memberikan bantuan cuma-cuma padaku."
"Kau begitu memahamiku." Daniel tersenyum puas. "Berapa uang yang kau butuhkan?" imbuhnya bertanya tanpa berbasa-basi yang hanya akan memperlambat proses negosiasi.
"Apa yang kau inginkan dariku?" balas Viona penuh tantangan, ia juga melipat kedua tangannya di depan dada dengan dagu yang terangkat tinggi.
Memangnya hanya Daniel yang bisa bersikap angkuh? Viona juga bisa.
"Keinginanku masih sama dan tidak begitu susah untuk kau turuti," jawab Daniel dengan senyum penuh misteri yang berhasil membuat Viona menghidupkan alarm waspada dalam dirinya.
"Apa itu?" Sikap Viona masih sama, terlihat angkuh, meski sedikit gentar dengan tatapan yang Daniel layangkan padanya.
"Jadilah wanitaku." Senyum manis tanpa dosa terbit di wajah tampan Daniel.
Sementara itu, Viona memasang wajah berang dengan tatapan yang siap menelan Daniel hidup-hidup. Jika membunuh tidak berdosa dan tidak membuatnya mendekam di penjara, Viona pasti sudah lama melenyapkan nyawa lelaki yang hanya memikirkan gairahnya, seperti Daniel.
"Aku gak sudi menjadi jalangmu!" tegas Viona dengan suara pelan, tetapi terdengar tegas.
Daniel mengernyit, merasa kata-kata Viona agak kasar. “Bukan jalang, tapi wanitaku,” katanya menatap penuh arti ke arah Viona—satu-satunya wanita yang masih bersegel ketika mereka menghabiskan malam bersama—telah memberinya gairah yang tak terlupakan.
Tapi Viona tak mau kalah, suaranya tajam seperti pisau. “Keduanya sama saja!”
“Tak sama!” Daniel membalas dengan tegas, menolak untuk mundur dari argumennya. Suaranya mencerminkan ketidakpuasan yang terpendam, keinginan untuk membuktikan dirinya benar.
“Kamu akan menjadi satu-satunya wanita di sisiku, sementara ‘jalang’ hanya aku gunakan ketika aku membutuhkannya.” Ada kebanggaan dalam suaranya, sesuatu yang membuat Viona semakin terkejut.
Tiba-tiba, tawa sumbang keluar dari mulut Viona. Suaranya terdengar sarkastis, matanya menyipit tajam seolah meledek.
“Apa yang kau tertawakan?” Daniel menatapnya dengan ekspresi bingung dan sedikit kesal. “Kau sudah kehilangan akal sehatmu?” Ia tidak mengerti mengapa Viona bisa tertawa di tengah perdebatan yang membawa ketegangan ini.
Viona membalas dengan tatapan penuh tantangan. “Kalau kau ucapkan itu di depan wanita lain, mungkin mereka akan percaya dan makin terpesona. Tapi aku bukan mereka.” Dengan nada dingin dan menusuk, dia melanjutkan, “Kau memperlakukan wanita seperti barang, Daniel! Kau tak mengerti perasaan, dan itu yang membuatku sangat muak!”
Suasana di sekeliling mereka seakan menjadi hening, hanya ada suara detak jam yang terletak di sudut ruangan. Viona menatap Daniel dalam-dalam, seolah mencari jawaban dalam matanya. “Apa yang kita lalui sebelumnya adalah kesalahan. Aku tidak akan mengulangi kesalahan yang sama.”
Daniel terdiam, matanya melembut seolah dia baru menyadari kesalahan yang telah diperbuat. Tidak ada lagi nada angkuh yang mengejutkan Viona, hanya kerentanan yang membuat hatinya bergetar. Dengan suara serak, ia akhirnya bertanya, “Kalau begitu, menikahlah denganku.”