1. Terjebak dalam Siklus Kematian & Kebangkitan – Tokoh utama, Ning Xuan, berulang kali mati secara tragis dimangsa makhluk gaib (berwujud beruang iblis), lalu selalu kembali ke titik awal. Ini menghadirkan rasa putus asa, tanpa jalan keluar.
2. Horor Psikologis & Eksistensial – Rasa sakit saat dimakan hidup-hidup, ketidakmampuan kabur dari tempat yang sama, dan kesadaran bahwa ia mungkin terjebak dalam “neraka tanpa akhir” menimbulkan teror batin yang mendalam.
3. Fantasi Gelap (Dark Fantasy) – Kehadiran makhluk supranatural (beruang iblis yang bisa berbicara, sinar matahari yang tidak normal, bulan hitam) menjadikan cerita tidak sekadar horor biasa, tapi bercampur dengan dunia fantasi mistis.
4. Keterasingan & Keputusasaan – Hilangnya manusia lain, suasana sunyi di kediaman, dan hanya ada sang tokoh melawan makhluk gaib, mempertegas tema kesendirian melawan kengerian tak terjelaskan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ijal Fadlillah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27 – Seketika Dilenyapkan
Gunung berkelok, jalan berputar. Setelah melewati sebuah lembah sempit, Chou Nu memperlambat langkahnya dan berkata.
“Qingfeng, kita sudah memasuki wilayah iblis. Hati-hatilah.”
Ning Xuan mengangguk pelan.
Chou Nu melanjutkan.
“Di wilayah iblis, aura iblis sangat kacau, menyebar di mana-mana. Aku tak bisa lagi melacak lokasi iblis dengan mengandalkan aura itu. Semuanya kini bergantung pada inderamu, kau yang harus merasakannya, berjaga-jaga.”
Ning Xuan kembali mengangguk.
Ia memang bisa merasakan keanehan di tempat ini.
Padahal matahari pagi baru saja naik, tetapi cahaya yang jatuh ke tubuhnya justru terasa dingin menusuk tulang.
Semakin dalam mereka melangkah, rasa dingin itu makin pekat. Kabut beracun gunung menyerupai arwah melayang, ekornya panjang menyeret, perlahan melintas. Aura iblis di sini jelas makin kuat.
Tiga sarang iblis berdekatan di satu tempat, bagaimana mungkin aura iblis tidak pekat?
Tiba-tiba, Ning Xuan menghentikan langkah. Ia cepat menoleh ke arah sebuah bayangan pohon.
Chou Nu pun seketika berhenti, tubuhnya tegang.
Ning Xuan mengangkat tangan, memberi isyarat untuk tenang. Lalu, ia tiba-tiba melesat secepat angin ke arah bayangan pohon itu dan membentak,
“Iblis, tampakkan dirimu!”
Srakk!
Satu tebasan pedang, tapi hanya menghantam udara kosong.
Beberapa helai daun berguguran, melayang turun.
Berdiri di bawah dedaunan itu, Ning Xuan menoleh sedikit pada kakaknya dan berkata.
“Guru Tian Shi, sepertinya aku salah merasakan. Tidak ada iblis di sini.”
Chou Nu menurunkan kewaspadaan, lalu tersenyum tipis.
“Tak perlu terlalu tegang.”
Ning Xuan menyarungkan pedangnya kembali. Pedang besar pemenggal binatang itu kini bertumpu di bahunya, kedua tangannya santai tergantung di atas gagangnya.
“Aku tidak tegang,” ujarnya dengan nada ringan.
Melihat sikap santai itu, Chou Nu mengira adiknya hanyalah merasa malu karena salah mengira, lalu mencoba menutupi dengan bersikap sok tenang. Maka, ia tersenyum dan berkata.
“Pertama kali aku melihat iblis dulu, aku sampai pipis di celana. Air kencing menetes keluar lewat celana panjangku, tik-tik, menetes ke tanah. Guruku menunjukku sambil tertawa terbahak-bahak.
Qingfeng, kau jauh lebih baik daripada aku dulu.”
Ning Xuan menatap kakaknya yang berusaha menghiburnya, lalu tiba-tiba berkata.
“Tapi, mungkin saja kali ini aku tetap salah merasakan?”
Chou Nu menjawab.
“Iblis memiliki darah dan energi yang sangat kuat. Semakin kuat iblis itu, semakin kuat pula auranya.
Tian Shi seperti aku memang tidak bisa merasakannya. Tapi seorang pejuang, bisa.
Di gunung ini ada tiga jenis iblis. Yaitu seekor lembu, seekor domba, dan seekor kera.
Kera bisa menyembunyikan dirinya.
Domba bisa mengacaukan pandangan dengan ilusi.
Sapi bisa memanggil angin dingin bertiup.
Namun, rincian kemampuan mereka hanya bisa diketahui setelah benar-benar bertarung.
Di antara ketiganya, yang paling berbahaya bagi kita adalah kera. Tugasmu sederhana, cukup rasakan bila ada energi darah yang kuat mendekat, lalu teriakkan padaku.”
“Baik, aku mengerti,” jawab Ning Xuan.
Setelah berkata begitu, ia menarik napas dalam-dalam. Bau tubuh kakaknya terasa jelas masuk ke inderanya.
Baru saja ia berpura-pura kaget, seakan menemukan iblis di bawah pohon, sesungguhnya itu hanyalah percobaan. Faktanya, begitu sampai di bawah bayangan pohon, ia sudah diam-diam mengeluarkan Tian Mo Lu.
Sekarang, tubuhnya memancarkan aura iblis. Namun karena bercampur dengan aura iblis di wilayah ini, Chou Nu sama sekali tidak menyadari bahwa tepat di sisinya kini berdiri “seekor iblis”.
Tentu saja, jika Chou Nu sempat menyinggungnya, ia bisa langsung menyalahkan bayangan pohon tadi, lalu diam-diam menarik kembali Tian Mo Lu, seolah tidak terjadi apa-apa.
“Wilayah iblis… berarti bisa menggunakan Tian Mo Lu sesuai keadaan.”
Ning Xuan menandai hal itu dalam hatinya.
Ia lalu merasakan tubuhnya sendiri, kekuatan fisik setingkat 4,7 serta teknik yang baru ia pahami, ‘Yan He’.
Ia diam-diam bertanya-tanya, apakah pemimpin kera bayangan hantu mampu menahan satu tebasannya?
Begitu ia mengetahui secara pasti kemampuan si kera, langkah berikutnya adalah seketika menghabisinya.
Saat ini, hatinya cukup tenang.
Karena yang paling ia sukai adalah menantang musuh yang lebih kuat.
Tubuhnya setingkat 4,7, sedangkan pemimpin kera bayangan hantu hanya 3,5. Itu jelas disebut menantang di atas tingkatan.
---
Di kedalaman Gunung Manfeng, tersembunyi di balik tirai tanaman merambat.
Kabut hitam menebal, angin amis berembus, samar terdengar jeritan menyayat hati dari dalam.
Di sebuah lorong gua, tergantung beberapa pelita minyak, entah terbuat dari apa minyaknya.
Cahaya suram semakin dalam mengantar mereka menuju sebuah aula batu besar. Di tengah aula, berdiri sebuah singgasana megah, dilapisi kulit binatang yang dihiasi emas dan permata. Di kiri-kanannya berjejer empat kursi batu kecil. Satu kursi masih kosong, tiga kursi lainnya sudah ditempati oleh sosok-sosok iblis.
Berkepala sapi.
Berkepala kambing.
Berkepala kera.
Di atas meja besar di aula, masih berserakan sisa-sisa tubuh hewan yang telah dimangsa. Bukan manusia, melainkan binatang liar.
Di depan singgasana, beberapa iblis kecil sedang berebut sepotong kaki binatang, gigi-gigi mereka berlumuran darah segar.
Tiga pemimpin iblis itu kini menatap kursi kosong di tengah, sambil bercakap-cakap.
Iblis kambing menjilat bibirnya, air liurnya menetes tak henti, lalu mendesah.
“Setiap hari hanya makan daging binatang liar yang hambar begini… padahal makanan lezat itu justru dikurung di balik gunung, tak bisa disentuh.”
Iblis sapi menepuk sandaran kursi batunya, suaranya berat bergema.
“Tunggu sampai Tuan itu datang, barulah pesta besar dimulai. Kalau beliau makan dengan puas, mungkin beliau akan melantunkan kitab suci untuk kita dengar, bahkan bisa mewariskan satu bagian kitab pada kita untuk direnungkan. Saat itu tiba, kita pun bisa tercerahkan, naik ke tingkat yang lebih tinggi.”
Sambil berkata begitu, ia menoleh pada iblis kera di sampingnya.
“Benarkah sarang beruang gunung di Heifeng sudah benar-benar dimusnahkan?”
Iblis kera menjawab.
“Anak buah kepercayaanku sendiri yang turun tangan. Aku melihatnya dengan jelas, pemimpin besar dan kedua pemimpin beruang itu semua ditebas habis. Sepertinya memang ada lawan yang sangat tangguh di luar sana.”
Iblis sapi mendengus.
“Sudah lama kudengar kabar tentang beruang gunung di Heifeng, tak kusangka ternyata hanya pecundang. Baguslah mereka dibantai. Jadi kita tak perlu lagi membagi makanan pesta dengan mereka.”
Tiga iblis itu masih asyik berbincang, ketika tiba-tiba pelita minyak di dinding lorong mulai bergetar, bergoyang ke kiri dan ke kanan.
Seekor iblis kecil berbentuk kera berlari tergopoh-gopoh masuk, wajahnya pucat, lalu berteriak.
“Tuan besar! Tuan besar! Ada… ada aura iblis yang sangat kuat mendekat dari kejauhan!”
Iblis sapi tertegun.
“Seberapa kuat?”
Iblis kecil itu terbata-bata dan tubuhnya gemetar.
“Lebih… lebih kuat daripada kalian semua, Tuan-tuan Besar…”
Di dalam wilayah para iblis, penciuman mereka sangatlah tajam. Terlebih lagi bila dalam bentuk kelompok, mereka bahkan bisa menebarkan semacam “jaring aroma”. Begitu ada iblis asing yang masuk, mereka akan langsung menyadarinya pada saat itu juga.
Pemimpin Iblis Bertanduk Sapi berkata.
“Dua saudara, tetaplah di sini. Biar aku yang pergi melihatnya.”
Selesai bicara, ia mendengus keras, lalu mengangkat tangan. Dari telapak kirinya, asap dupa bergulung-gulung keluar, segera membentuk sebuah bendera kecil berwarna abu-abu. Ia menatap bendera itu sambil bergumam.
“Kalau ia mau bergabung dengan kita, itu yang terbaik. Kalau tidak, bendera angin maut ini bukan sekadar hiasan.”
Setelah itu, ia memanggul sebuah pedang besar berhias kepala iblis. Satu tangan menggenggam pedang, satu tangan menggenggam bendera, lalu melangkah keluar dari gua.
Setiba di mulut gua, ia berdiri di atas sebuah dataran tinggi, menatap jauh ke lembah.
Ia belum melihat jelas, namun sudah bisa merasakan aura iblis yang kuat semakin mendekat. Yang membuatnya heran, di samping aura iblis itu ternyata ada pula aroma manusia.
Ketika rasa herannya masih menggelayut, ia akhirnya melihat dua sosok perlahan berjalan di lembah sempit itu.
Seorang pendeta berjubah ungu dengan topeng hantu, dan seorang pendekar berjubah ketat juga bertopeng hantu, dengan sebilah pedang besar tersampir di bahunya.
Begitu ia melihat mereka, kedua sosok itu juga seolah sadar sedang diawasi.
Dan pada saat berikutnya, mereka berdua mendadak lenyap begitu saja!
Pemimpin Iblis Sapi terkejut, tapi ia bereaksi cepat. Ia segera menancapkan bendera angin maut ke tanah, lalu menoleh ke kiri dan kanan, mencoba menemukan posisi lawan, supaya bisa memanfaatkan kekuatan benderanya.
Namun pada detik itu juga, ia mendadak merasakan aura iblis muncul tepat di belakangnya!
Ia segera mengibaskan tangannya.
Sekejap kemudian, angin hitam berhembus kencang, bagai ribuan belati kecil yang menyambar ke belakang.
Bendera angin maut bergetar keras, dan sekali ia bergetar, kekuatan angin hitam itu mendadak bertambah berlipat-lipat. Debu dan pasir beterbangan, bahkan batu sebesar kepala manusia ikut terangkat ke udara.
Angin maut itu ibarat ribuan sayatan yang bisa melumat daging hingga habis. Bagi kaum pendeta, serangan ini amat mematikan. Begitu dilancarkan, mereka hampir mustahil bisa maju menahan.
Kalau di tanah lapang, satu-satunya harapan hanyalah para murid atau pendamping mereka mampu menahan sejenak. Jika tidak, belum sempat mereka melancarkan jurus, nyawa sudah melayang.
Dan bila ditambah kekuatan bendera angin maut itu, maka semakin mematikan.
Pemimpin Iblis Sapi segera berbalik.
Benar saja, kedua orang itu sudah berdiri di belakangnya.
Pendekar bertopeng hantu berdiri tegak di depan, melindungi pendeta.
Sementara pendeta menutup mata, mengangkat tangan.
Entah sejak kapan, sebuah segel emas raksasa sudah muncul di udara, berada tepat di telapak tangannya.
BRAK!
Segel emas itu dilemparkan dengan kasar.
Pemimpin Iblis Sapi ingin menghindar, tetapi mendadak tubuhnya seperti dilanda mimpi buruk. Ia jelas ingin bergerak, namun kaki dan tangannya sama sekali tidak menuruti perintah. Ia hanya bisa terpaku di tempat, lalu segel emas itu menghantamnya tepat sasaran.
Kepalanya berdenyut hebat. Ia mengaduh keras, tubuh terjerembab di tanah.
Dan justru semakin ia jatuh, semakin parah pula rasa lumpuhnya.
Matanya masih bisa melihat, namun roh seakan tercerabut dari raga. Ia hanya bisa menyaksikan segalanya, tetapi tidak bisa melakukan apa pun.
Bendera angin maut pun kehilangan kendali, seketika berhenti berputar.
Pendekar bertopeng hantu melangkah cepat, tiga langkah hanya seperti dua langkah, dan dalam sekejap sudah berada di depan kepala iblis sapi itu.
Pedang besar diayunkan.
SYUT!
Kepala iblis sapi terpenggal.
DUARR!
Pemimpin Iblis Sapi tewas di tempat!
Ning Xuan mengulurkan tangan, mencelupkan jari ke darah sapi itu.
【Iblis Angin Maut – Sapi】
【Afiliasi Takdir Iblis: Golongan Sapi, Subspesies Angin Maut (Kekuatan Fisik: 3.5)】
【Tianmo Lu (Kitab Iblis): Catat keberadaan iblis, telusuri darahnya, saksikan akar hidupnya. Paksakan penyatuan kitab—jika gagal, jiwa hancur dan lenyap. Jika berhasil, kuasa iblis menjadi milikmu.】
【Apakah akan melakukan penyatuan kitab (refinasi)?】
Ning Xuan mengingat kembali bagaimana iblis sapi itu bertarung.
Mula-mula mengendalikan angin maut, lalu dengan bendera abu-abu itu memperbesar kekuatan angin.
Namun di dalam mimpi buruk, benda pusaka seperti bendera tidak bisa dibawa masuk.
Jurus iblisnya kini sudah dipahami. Lagi pula, saat melakukan penyatuan kitab di dalam mimpi buruk, waktu di dunia luar akan berhenti. Ia sudah membuktikan hal ini dua kali sebelumnya. Pertama kali ia masih bingung, tetapi kedua kali ia sudah memastikan kebenarannya.
Maka dengan mantap ia berpikir.
“Refinasi.”
Ning Xuan memejamkan mata.
Kesadarannya berputar sejenak dalam mimpi.
Lalu, saat ia membuka mata kembali.
【Tianmo Lu】-nya sudah bertambah satu halaman baru.
Iblis Sapi Angin Maut telah berhasil direfinasi seketika.