Ketika Romeo dan Tina mengunjungi sebuah museum desa terpencil, mereka tidak pernah menyangka bahwa patung kuno sepasang Dewa Dewi Asmara akan membawa mereka ke dunia lain—Asmaraloka, alam para dewa yang penuh kemegahan sekaligus misteri. Di dunia ini, mereka bukan lagi manusia biasa, tapi reinkarnasi dari Dewa Kamanjaya dan Dewi Kamaratih—penguasa cinta dan perasaan.
Terseret dalam misi memulihkan keseimbangan cinta yang terkoyak akibat perang para dewa dan iblis, Romeo dan Tina harus menghadapi perasaan yang selama ini mereka abaikan. Namun ketika cinta masa lalu dan masa kini bertabrakan, apakah mereka akan tetap memilih satu sama lain?
Setelah menyadari kisah cinta mereka yang akan berpisah, Sebagai Kamanjaya dan Kamaratih mereka memilih hidup di dunia fana dan kembali menjadi anak remaja untuk menjalani kisah yang terpisahkan.
Asmaraloka adalah kisah epik tentang cinta yang melintasi alam dan waktu—sebuah petualangan magis yang menggugah hati dan menyentuh jiwa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ryuuka20, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
8. Ingatan masa lalu
Seorang Pria dengan baju zirahnya membawa pedangnya juga menghampiri Tina dan Romeo yang saling pandang lalu mereka membawa prajurit itu ke kamarnya dan mengikat dengan tali.
"Kamu pasti tau kenapa kita bisa disini? Terus kenapa anak kecil kayak kita jadi dewa?"
"Kok dia gak jawab?"
Prajurit itu tak menjawab sambil berusaha melepaskan dirinya dari ikatan tali itu. "Tina, dia gak jawab karena Lo sumpel mulutnya dia pakai kain."
Tina tersentak. "Oh! Ya ampun, gue lupa!" serunya cepat-cepat membuka ikatan kain yang menutup mulut sang prajurit.
Prajurit itu langsung menarik napas panjang, terengah-engah. "Kalian... kalian berani sekali memperlakukan prajurit istana seperti ini..."
"Udahlah, Yang Mulia apalah," tukas Romeo cepat sambil menatap tajam. "Lo pasti tahu sesuatu. Jelasin sekarang sebelum Tina nyumpel lagi pake taplak meja."
Tina menyeringai geli, meski jantungnya tetap berdetak tak tenang.
Prajurit itu terdiam sejenak. Lalu ia menatap mereka, lebih lembut kali ini—seolah menyadari sesuatu. “Kalian... kalian memang sudah kembali. Tapi kenapa dalam wujud seperti ini?”
"Apa maksud lo?" tanya Tina, penasaran.
"Dewa Kamajaya dan Dewi Kamaratih... kalian telah dilahirkan kembali. Seharusnya kalian belum bangkit. Tapi sesuatu telah membangunkan ingatan kalian sebelum waktunya."
Romeo dan Tina saling pandang, terdiam beberapa detik.
"Kita... beneran Dewa?" bisik Tina pelan.
Prajurit itu mengangguk. "Kalian bukan hanya sepasang dewa cinta. Kalian pemegang keseimbangan antara cinta yang menghangatkan dan cinta yang membinasakan."
Romeo menghela napas berat. "Kalau memang kita ini dewa, kenapa kita masih ngerasa kayak anak SMP yang nyasar?"
"Karena ingatan kalian belum utuh. Dan tubuh kalian belum sepenuhnya menyatu dengan roh kalian yang lama," jawab prajurit itu. "Namun kalian harus hati-hati. Ada pihak lain yang tak ingin kalian bangkit... karena jika cinta sejati kalian bersatu kembali, semua rahasia dunia dewa akan terbuka."
Tina menggigit bibirnya. “Rahasia?”
Prajurit itu menatap mereka lekat-lekat. “Pengkhianatan... yang membuat kalian mati di kehidupan sebelumnya.”
Suasana mendadak hening.
Romeo perlahan berdiri. “Berarti kita harus ingat... semua yang udah terjadi.”
Tina mengangguk. “Dan cari tahu siapa yang udah khianatin kita dulu.”
Prajurit itu akhirnya tersenyum kecil. “Kalau begitu, biarkan aku membantu kalian.”
Tina melipat tangan. “Tapi lo masih terikat, Bang.”
Romeo tertawa kecil. “Tina, lepasin dulu lah.”
Setelah melepaskan ikatan prajurit itu, mereka bertiga bergerak menyusuri lorong tersembunyi yang hanya bisa dibuka lewat mantra khusus dari sang prajurit. Lorong itu terasa dingin dan gelap, namun perlahan dinding-dindingnya memancarkan cahaya lembut, memperlihatkan lukisan-lukisan kuno. Di sanalah, Tina dan Romeo terpaku.
Di dinding batu itu, terukir dengan indah: seorang dewa dan dewi berdiri berdampingan, memegang tangan satu sama lain. Di belakang mereka, bunga asoka bermekaran dan langit bersinar terang.
"Itu… kita?" bisik Tina.
Prajurit itu mengangguk. “Itu adalah hari sebelum semuanya berubah.”
Cahaya dari dinding itu merambat, dan tiba-tiba—cahaya menyilaukan muncul dan membawa mereka pada kilasan masa lalu.
Ratusan tahun silam, di istana Kahyangan.
Kamajaya berdiri gagah, mengenakan baju kebesaran para dewa. Di sampingnya, Kamaratih, berselendang emas dengan bunga melati bertabur di rambutnya. Mereka baru saja diberkati oleh Sang Hyang Agung sebagai pelindung cinta manusia. Istana penuh dengan sukacita dan doa.
Namun, dari kejauhan, seorang dewa lain menatap dengan tatapan iri—Dewa Asura, saudara seperguruan Kamajaya yang merasa cintanya pada Kamaratih telah dicuri.
"Aku tak akan membiarkan cinta mereka bertahan lama," gumamnya dalam hati. Dan sejak saat itu, pengkhianatan pun dirancang.
Kilasan masa lalu itu menghilang.
Tina terhuyung, tubuhnya limbung. Romeo menangkapnya sebelum ia jatuh.
"Apa yang baru aja kita liat... itu nyata?" tanya Romeo pelan.
Prajurit itu menjawab lirih, “Itu hanyalah secuil. Masih banyak yang harus kalian ingat.”
Tina menarik napas dalam. “Berarti… kita dibunuh?”
Prajurit itu mengangguk. “Dikhianati. Cinta kalian membuat para dewa iri… dan untuk itu kalian harus dibakar dalam api abadi.”
Romeo mengepalkan tangan. “Tapi kita kembali sekarang.”
“Ya,” kata sang prajurit. “Dan kalian punya kesempatan untuk mengubah segalanya… sebelum pengkhianatan itu terulang lagi.”
"Tetapi wujud kalian seperti anak belasan tahun ini membuat para dewa takjub," Romeo dan Tina saling pandang, "dulu api suci yang membakar kalian jadi abu dan hyang agung menaburkannya ke bumi dan tumbuh di hati para manusia. Tepatnya di desa asmaraloka tempat benang merah itu dipercaya selama bertahun-tahun itu belum ada yang menyentuh."
"Maka dari itu kalianlah yang menjadi perwujudan kelahiran kembali sebagai Dewa dan Dewi Asmara."
Tina menatap tangannya sendiri, seolah mencari bekas luka dari api yang katanya pernah membakar mereka hingga menjadi abu. Tapi tak ada apa-apa di sana. Hanya kulit remaja biasa—begitu halus, begitu manusiawi.
“Jadi... kita ini cuma reinkarnasi?” gumamnya, masih setengah tak percaya.
Prajurit itu menunduk hormat. “Bukan sekadar reinkarnasi. Kalian adalah percikan jiwa asli. Benih cinta yang Hyang Agung lindungi sendiri. Api suci tak memusnahkan cinta kalian—ia malah menjadikannya abadi.”
Romeo masih tampak kebingungan, meski ia berusaha tetap tenang. “Dan sekarang kami hidup lagi di dunia manusia... lalu kembali ke sini?”
"Karena benang merah kalian tak pernah putus," sahut prajurit itu. "Di Desa Asmaraloka, benih cinta itu tumbuh. Tapi dunia para dewa belum damai. Jika kalian tidak mengingat semua dan menuntaskan kisah kalian, sejarah akan berulang."
Tina menggigit bibirnya. "Lalu bagaimana cara kita mengingat semuanya? Sekarang aja aku masih merasa kayak... anak SMP yang kebetulan nyasar ke dunia mitologi."
Prajurit itu tersenyum samar. "Cinta yang sejati akan memanggil ingatan kalian kembali... seiring waktu. Tapi hati-hati, karena mereka yang dulu menghancurkan kalian... juga telah terbangun kembali."
Romeo menatap Tina, kali ini dengan kesadaran baru. Bukan hanya sahabat masa kecil, bukan hanya teman sekelas yang cerewet. Tapi seseorang yang jiwanya telah bersamanya bahkan sebelum dunia mengenal waktu.
Dan untuk pertama kalinya, Tina pun merasa... hatinya bukan hanya berdetak karena gugup biasa. Tapi karena sesuatu yang lebih besar dari sekadar cinta remaja. Sesuatu yang telah dibakar, dilahirkan kembali, dan kini ditakdirkan untuk menyelamatkan dunia cinta itu sendiri.
"Romeo, sebenarnya kita itu ngapain sih, bisa kayak gini?" tanya Tina penasaran pada Romeo berusaha mengingat bahwa mereka memang tak melakukan kesalahan apapun disaat berkunjung ke museum itu.
"Lo lupa kita kan jatuh di benang merah itu?" ucap Romeo pada Tina yang masih berdiri dan juga mondar-mandir.
"Gini ya Tina, Lo jangan aneh-aneh. Contohnya sekarang jangan mondar-mandir." ucap Romeo lagi yang menarik tangan Tina yang duduk di sofa kamar itu.
"Lagian gue ngerasa aneh disini." gumam Tina yang memang merasakan aneh pada tubuhnya itu.
"Gak ada yang aneh. Ayo mending tidur. Sekarang giliran deh ya sekarang gue tidur di sofa Lo tidur disana aja."
Tapi Tina menggeleng cepat. "Nggak bisa, Rom. Gue nggak bisa diem. Gue harus cari petunjuk. Lo ikut gue!"
Tina berdiri, membuka pintu kamar dan berjalan keluar, membuat Romeo terpaksa mengikutinya. Mereka melangkah di lorong istana yang sepi, hanya suara langkah kaki mereka yang terdengar.
Tiba-tiba Tina berhenti mendadak dan berbalik.
"Romeo, umur kita berapa?" tanyanya dengan serius.
Romeo mengerutkan kening, bingung dengan arah pertanyaan itu. "Ya... 14. Kenapa, Tin?"
Tina menarik napas dalam-dalam, matanya membesar seolah baru menyadari sesuatu yang mengejutkan.
"Lo tau nggak? Di dunia dewa ini... satu hari di sini itu sama kayak satu tahun di bumi."
Romeo terdiam, matanya membelalak.
"Jadi... kita udah di sini dua hari, itu artinya... umur kita sekarang... 16 tahun?" tanyanya pelan, seolah takut dengan jawabannya sendiri.
Tina mengangguk pelan, matanya berkaca-kaca. "Iya, Rom. Kita makin tua di sini... kita terjebak waktu yang beda."
Suara mereka tenggelam dalam heningnya lorong istana, dan untuk pertama kalinya, mereka benar-benar merasa kecil, seolah berada di dunia yang tak bisa mereka pahami.
"Lo ngerti gak? Kita tuh kayak... kayak udah loncat waktu! Waktu di sini beda banget sama di bumi."
Romeo menghela napas, kepalanya bersandar di dinding dengan wajah pusing. "Astaga... jadi kalau kita di sini lebih lama lagi, kita bisa makin tua dengan cepat?"
"Kayaknya gitu deh," Tina menjawab sambil melipat tangannya di dada, matanya menatap langit-langit istana yang megah tapi terasa dingin. "Dan lo pikir kita bisa balik ke bumi? Terus... keluarga kita, temen-temen kita... mereka semua nggak bakal ngerti ke mana kita pergi."
Romeo terdiam, memikirkan keluarganya, dan bagaimana jika dia tak pernah bisa kembali. Ia memandangi Tina yang kini duduk termenung di ujung sofa, tampak lebih dewasa dengan wajah yang mulai menunjukkan kekhawatiran.
"Tina... kalau kita bener-bener nggak bisa balik, lo mau ngapain?" tanya Romeo pelan.
Tina menatap Romeo, matanya berkaca-kaca, tapi ia cepat-cepat menghapus air matanya dengan lengan bajunya. "Gue... gue nggak tahu, Rom. Tapi kita harus cari cara. Kita nggak bisa diem aja di sini."
Romeo mendekat dan meletakkan tangannya di bahu Tina, mencoba menenangkan. "Tenang, Tin. Kita pasti nemuin jalan. Gue janji, kita nggak akan terjebak di sini selamanya."
Tina mengangguk pelan, meskipun hatinya masih penuh tanda tanya dan rasa takut yang belum terjawab.