NovelToon NovelToon
Pengantin Bayangan Jadi Tawanan

Pengantin Bayangan Jadi Tawanan

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / Balas Dendam / Konflik etika / Pengantin Pengganti / Angst / Roman-Angst Mafia
Popularitas:1k
Nilai: 5
Nama Author: Kinamira

Ellena dijual ibu tirinya kepada seseorang sebagai pengantin yang diperkenalkan di muka umum, agar istri sah tetap aman.
Namun, di hari pengantin ia diculik sesuai dugaan pria itu, dan disanalah awal penderitaannya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kinamira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 8

Apakah dunia ini masih ada keadilan untuk Ellena? Ditawan oleh Maxim, dijadikan budak nafsu, dan hanya diberikan makan sedikit dan seperti memberikan makanan pada hewan liar.

Meski perlakuan Maxim menghinanya habis-habisan Ellena tidak berani melawan. Pria yang gampang marah itu, bicara pun kadang membuat Ellena tidak sanggup.

Wanita itu hanya bisa patuh, meski diperlakukan dengan rendah. Tangannya yang gemetaran, memasukkan suapan demi suapan makanan yang berada di lantai. Sedangkan Maxim dengan santai menikmati makanannya di meja makan yang penuh makanan lezat.

Maxim meletakkan garpu dan sendoknya dengan bersilang di atas piring. Seorang pelayan datang mendekat menuangkan air untuknya.

"Silahkan Tuan," ucap pelayan itu dengan hormat.

Maxim meneguk air minumnya hingga setengah. Lalu melirik Ellena yang tampak tidak peduli sekitar dan menikmati setiap remahan makanan yang ditumpahkan di lantai.

"Kau masih lapar?" tanya Maxim membuat Ellena mendongak, dan memberikan anggukan kecil, membuat Maxim menyeringai.

Pria itu mengambil piring bekas makannya, lalu berjongkok. "Makanlah," ucapnya sembari tersenyum rendah.

Tanpa membantah, tanpa memikirkan rasa malu. Ellena mengambil piring itu dan segera memakan sisa makanan Maxim yang nyaris setengah dari jatah makanannya.

Namun, belum juga makanan itu tertelan, tamparan keras mengenai pipinya, membuat piring itu juga jatuh dari tangannya.

Ellena meringis, menatap Maxim dengan takut, dan bertanya-tanya kesalahan apa yang diperbuatnya.

"Berani sekali kau piring dariku dan memakai alat makanku sialan! Menjijikkan!" bentak Maxim dengan marah, membuat Ellena tersentak.

"Maafkan aku, maaf," ucap Ellena sembari menyentuh pipinya.

Maxim menatapnya dingin, tangannya dengan kuat mencengkram dagu Ellena. "Kau itu adalah tawananku, kau ku beri makanan adalah hal yang baik. Kau hanya boleh makan dengan makanan yang ada di lantai, dan jangan pernah menyentuh alat makanku, apa kau paham!" ucap Maxim dengan penuh penekanan.

Ellena hanya bisa mengangguk pasrah, sehingga Maxim melepaskan cengkramannya. Pria itu bangkit dari duduknya. Satu tangannya masuk dalam saku, tanpa mengatakan apapun lagi, ia pergi meninggalkan Ellena.

Perginya Maxim bukan berarti membuat Ellena lega. Karena tidak adanya Maxim adalah waktu bagi para pelayan di sana, memerintahnya dan memperlakukannya layaknya budak.

"CK, kau seperti hewan liar yang kelaparan saja," hina pelayan-pelayan di sana diikuti tawa mereka.

Ellena menyampirkan anak rambutnya tidak peduli, ia kembali menikmati makanan sisa yang ada. Baginya satu remahan makanan sangat berharga.

"Hey sudah cukup! Sekarang bersihkan dapur, di sana sangat banyak piring kotor!" perintah satu pelayan di antaranya sembari berkacak pinggang dengan angkuhnya.

Ellena tidak berucap apapun dan tidak berani membantah. Ia pun harus patuh pada pelayan sekalipun, karena Maxim sangat mendengarkan aduan mereka tentangnya. Sekalipun ia tidak melakukan tuduhan yang dilakukan pelayan, ia akan tetap mendapatkan hukuman Maxim.

Wanita itu hanya bisa mengeluh dalam benaknya. Hidupnya tidak pernah baik-baik saja. Mungkin dulu ia masih sanggup melawan ibu tiri dan ayahnya, tapi di tangan Felix dan Maxim, dia sosok pria kejam dan berhati dingin, bicara pun tak disanggupinya.

Dengan tenaga yang dimilikinya, ia mengusap piring-piring kotor itu dengan busa melimpah, dan membersihkan sisa bisa dengan aliran air bersih.

"Hey, cepat bersihkan, setelah itu pel lantainya!" perintah pelayan lainnya dengan suara menyentak.

Ellena tidak merespon sedikitpun, tatapannya hanya terus menyorot kosong pada piring-piring tersebut, seolah ia tidak memiliki tenaga ataupun keinginan hidup sekarang.

"Jangan mengira kau ditiduri tuan Maxim, kamu memiliki posisi kuat di sini. Karena justru posisimu lebih rendah dari kami!" ucap yang lainnya diikuti dengan kekehan sinisnya, menertawai nasib yang dialami Ellena.

Ellena masih tidak menggubris, bibirnya terkatup rapat membersihkan setiap noda di wadah-wadah itu hingga bersih. Namun, sikap cuek Ellena membuat geram mereka.

Hingga salah satu diantaranya, langsung menarik kasar tangannya, membuat piring langsung jatuh dari tangan Ellena dan pecah di lantai.

"Dasar sialan, beraninya mengabaikan kami!" sentaknya kemudian melayangkan satu tamparannya di pipi Ellena.

Ellena diam, menyentuh pipinya dengan pelan. Tamparan itu tidaklah seberapa atas apa yang sudah dialaminya beberapa hari di sana. Tamparan itu, hanyalah hal kecil bagi tubuhnya.

Ellena menghela nafas pelan, tanpa memberikan perlawanan sedikitpun, ia berjongkok, mengambil pecahan piring itu.

Membuat pelayan itu semakin kesal karena terus diacuhkan. Ia mengangkat kakinya, dan segera menginjak tangan Ellena, membuatnya menjerit kesakitan, dan darah tampak mengalir akibat tusukan pecahan piring.

"Aw, sakit," jerit Ellena mendorong kaki pelayan wanita itu.

"Rasakan itu, beraninya mengabaikan aku!" dengkusnya kemudian menendang bahu Ellena, membuat wanita itu tersungkur ke lantai.

Air mata Ellena jatuh berurai dengan derasnya, menahan sakit di seluruh tubuhnya. Ia menatap aliran darah yang mengucur di telapak tangannya.

Suara langkah terdengar mendekat diiringi suara tegas yang membuat keributan itu terhenti beberapa saat.

"Ada apa ini?" tanya seorang pria dengan pakaian serba hitam yang dikenal sebagai ketua pengurus rumah di mana dia sangat disegani pelayan-pelayan dan pekerja lainnya di rumah itu.

Pria itu menatap Ellena yang terbaring di lantai, tatapannya menangkap tangan berdarah dan pecahan piring di sana. Tatapan tegasnya membuat Ellena menunduk. Tak ada satupun sosok yang bisa diharapkan melindunginya di sana.

"Ah, pengurus Jo, anda di sini," pelayan-pelayan itu menunduk kecil memberikan penghormatan akan kedatangan pengurus besar itu.

"Wanita ini baru saja memecahkan piring, dan kami memberinya sedikit hukuman," jelas pelayan itu memberikan pengaduan palsu.

Pengurus rumah bernama Jonathan itu hanya berdehem, "Segera bersihkan!" perintahnya.

Ia menatap Ellena yang sudah berdiri, dengan kepala yang masih menunduk tanpa memberikan pembelaan.

"Kamu ikuti saya," ucapnya membuat Ellena mendongak, dengan ekspresi yang bisa di baca seolah berkata. 'Apakah dirinya yang dimaksud?'

"Ayo," ajaknya memberikan anggukan kecil sebagai kode untuk diikuti.

Tanpa memberikan bantahan, Ellena mengikuti pria itu, tanpa tau ke tempat mana dirinya akan di bawah.

Di ruang tengah menjadi tempat berakhirnya mereka melangkah. "Duduk!" perintah Jonathan tanpa menatap, ia melanjutkan langkahnya menuju lemari tv yang ada di sana.

Jonathan menarik salah satu laci di sana dan mengeluarkan kotak putih dengan gambar tambah berwarna merah di depannya.

Ellena mengerjapkan matanya beberapa kali, lalu mendudukkan tubuhnya di sofa saat Jonathan berjalan kembali ke arahnya.

Tanpa mengatakan apapun Jonathan menarik tangan Ellena, membersihkan dengan telaten dan lembut.

Sentuhan yang lembut membuat Ellena menatap lekat pria itu, untuk pertama kalinya ia mendapatkan sedikit kelembutan di tempat yang menjadi neraka hidupnya.

Namun, ia tau kelembutan itu, tidak akan mampu menyelamatkannya di sana.

Selly memejamkan mata, membuat buliran air matanya jatuh melewati pipinya. "Aku lelah. Tapi ..., kalau aku menyerah hidup bagaimana dengan Haven? Dia masih kecil," batinnya menunduk menangis dalam diam.

Jonathan meliriknya, menatapnya beberapa detik, lalu kembali fokus ke telapak tangan Ellena. Ia lalu menempelkan plaster luka sebagai penutup.

Selesai mengobati luka Ellena, Jonathan merapikan kembali kotak obat itu, sembari berucap. "Naik ke lantai tiga bersihkan semua ruangan yang ada, dan harus selesai sebelum Tuan Maxim kembali sekitar jam empat sore. Naik menggunakan tangga, dan gunakan alat kebersihan yang sudah disediakan di ujung tangga. Ini perintah Tuan Maxim!" ucapnya dengan tegas memperingatkan.

Ellena tidak menjawab, tangannya dengan cepat mengusap air matanya. Tak ada pertanyaan, sebab Jonathan sudah memberikan penjelasan yang sangat jelas. Tanpa mengatakan apapun, Ellena bangkit dari duduknya, berjalan pelan dan sedikit pincang meninggalkan tempat itu.

Jonathan diam memperhatikan Ellena, khususnya cara jalannya. "Sudah dua Minggu lebih, dia masih berjalan seperti itu. Hm ..., seberapa kasar tuan Maxim bermain?" batin Jonathan merasa iba melihat Ellena yang tak memiliki semangat hidup lagi.

Bahkan suara Ellena pun belum dikenal Jonathan yang menjadi pengawasnya, saking jarangnya wanita itu bicara.

Jonathan menghela nafas pelan, menyimpan kotak p3k itu kembali. Lalu berjalan menuju tangga dan melihat Selly yang menaiki tangga dengan mengangkat alat-alat kebersihan dan masih cukup banyak yang ditinggalkan di ujung tangga.

Rasa ingin membantu begitu besar, namun pantulan CCTV, sudah seperti mata tajam Maxim yang siap menerkamnya.

Jonathan menaiki tangga melewati barang-barang yang akan diangkut Selly nanti, berjalan santai di belakang Selly.

Wanita itu beberapa kali berhenti, dan mengambil nafas panjang sebagai jeda istirahat, meski hanya beberapa detik.

Setelah sampai di lantai tiga, Selly meletakkan alat-alat kebersihan itu dengan aman. Lalu berbalik, menatap Jonathan sekilas, dan melewatinya begitu saja, kembali turun untuk mengambil barang yang lainnya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!