Lanjutan dari Beginning And End.
Hasane Reina... selamat dari kematian. Di rumah sakit Osaka, mayat Reina di bawa oleh dua perawat. namun setelah perawat itu mengunci pintu kamar mayat, terungkap identitas yang membawa Reina ke ruang mayat, yaitu Reiz dan Tia.
Reiz dan Tia menukar mayat Reina dengan boneka yang hampir menyerupai diri Reina. Lalu Reina secara diam diam di bawa ke Rusia, untuk menukar jantung nya yang rusak dengan jantung robot yang akan bertahan di akhir tahun.
Namun supaya dapat hidup selama nya, Reina harus mencuri sebuah jantung, sumber kehidupan. Namun yang ada di benak Reina saat ini adalah membalas kan dendam nya kepada ayah kandungnya sendiri, Yaitu Hasane Danton. Reina berencana akan mengambil jantung Danton dan membunuh nya dengan sangat keji.
Apakah Reina berhasil? dan apa yang akan Reina lakukan selanjutnya? apakah dia masih menyembunyikan diri nya bahwa dia masih hidup kepada Kei dan yang lainnya? itu masih sebuah misteri....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon raffa zahran dio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17 : Isakan Reina dan Kei.
Kei menarik napas dalam-dalam, asap rokoknya mengepul perlahan di udara dingin, menciptakan sebuah jeda sebelum ia berbicara. Matanya menatap Jimmy, tatapannya masih dipenuhi kesedihan, namun ada sedikit rasa syukur dan kepercayaan yang mulai muncul. "Berarti," suaranya masih bergetar, "kau dipungut oleh kakakku pada saat itu?"
Jimmy mengangguk pelan, menatap Kei dengan tatapan yang penuh pengertian. "Iya, Kei… Nona Andras membantuku…" Ia berkata dengan suara yang lembut, menunjukkan rasa terima kasih dan penghormatan kepada Nona Andras. Ia terdiam sejenak, mengingat kembali masa lalunya yang kelam.
Kei menunduk, menunjukkan penyesalan yang mendalam. "Maafkan aku, Jimmy… gara-gara kesedihanku, kau menceritakan masa lalumu yang sangat pahit…" Suaranya bergetar, menunjukkan penyesalannya. Air mata kembali mengalir di pipinya, menunjukkan betapa besar kesedihan yang ia rasakan.
Kenzi mengangguk setuju, menunjukkan empati dan pengertiannya. "Iya," katanya, suaranya berat. "Bahkan aku merasakan apa yang kau rasakan, keterpaksaan keadaan… Kau terpaksa melakukan itu demi keadaan… Kau tak salah, Jimmy…" Ia menatap Jimmy dengan penuh hormat dan rasa terima kasih.
Jimmy tersenyum tipis, menunjukkan bahwa ia memahami perasaan mereka. "Ya sudah, lupakan saja," katanya, suaranya tenang dan menenangkan. Ia duduk kembali di kursi panjang, menciptakan suasana yang lebih akrab dan nyaman. Ia menatap Kei dengan tatapan yang penuh empati. "Kei, bisakah kau menceritakan apa yang kau rasakan, tentang kematian Reina?" Ia bertanya dengan suara yang lembut dan penuh pengertian.
Hawa dingin malam Tokyo seakan semakin menusuk setelah Kei menceritakan kisah cintanya dengan Reina. Kenzi merapatkan jaketnya, mencoba menghangatkan diri dan juga sahabatnya yang masih terisak. Jimmy, dengan tatapan yang penuh empati, menawarkan lagi kaleng kopi yang masih hangat. Ia mengerti, kata-kata tak akan cukup untuk meringankan beban yang ditanggung Kei.
Kei menarik napas dalam-dalam, dada nya terasa sesak, seakan akan ada beban berat yang menindihnya. Asap rokoknya mengepul, menciptakan sebuah kabut tipis di udara dingin malam Tokyo, menutupi sebagian wajahnya yang basah oleh air mata. Ia menatap Jimmy, matanya berkaca-kaca, dipenuhi oleh kesedihan yang begitu mendalam. "Reina…" suaranya tercekat, hanya berupa bisikan yang hampir tak terdengar, diselingi oleh isakan yang semakin keras. "Dia… segalanya bagiku…" Air mata mengalir deras di pipinya, menorehkan jejak basah di kulitnya yang pucat. Tubuhnya bergetar hebat, menunjukkan betapa besar kesedihan yang ia rasakan. Ia menunduk, menutupi wajahnya dengan kedua tangan, seakan ingin menghilang dari dunia ini.
Jimmy mendekat, meletakkan tangannya dengan lembut di bahu Kei, sebuah isyarat dukungan tanpa kata-kata. Kenzi hanya bisa menatap sahabatnya dengan iba, tak mampu berkata apa pun. Keheningan menyelimuti mereka, hanya diiringi oleh isakan Kei yang semakin pilu.
Setelah beberapa saat, Kei mengangkat wajahnya, matanya sembab dan merah, namun tatapannya tetap tajam, menunjukkan tekad yang membara di balik kesedihan yang mendalam. "Empat tahun… empat tahun kita bersama…" suaranya bergetar hebat, menunjukkan betapa besar kehilangan yang ia rasakan. "Empat tahun… kita tertawa bersama, menangis bersama, bermimpi bersama… membangun masa depan bersama…" Ia terisak, menunjukkan kesedihan yang begitu mendalam. "Dia… dia adalah… adalah… cahaya dalam hidupku yang gelap… satu-satunya cahaya yang menerangi kehidupanku yang penuh duka…" Ia terisak semakin keras, menunjukkan kesedihan yang begitu mendalam. Bahunya bergetar hebat, menunjukkan betapa besarnya beban emosi yang ia rasakan. Ia mengepalkan tangannya, buku-buku jarinya memutih karena tekanan yang kuat.
"Dia… gadis yang paling baik, paling cantik, paling… paling aku cintai di dunia ini…" Ia tersenyum getir, sebuah senyuman yang dipenuhi oleh kesedihan dan penyesalan. Kenangan indah bersama Reina berputar di kepalanya, membuat tangisnya semakin tak tertahankan. "Dia selalu ada untukku… selalu mendukungku… selalu membuatku merasa… bahagia… terlindungi… dicintai…" Ia terisak semakin keras, menunjukkan kesedihan yang begitu mendalam. "Dan… mereka… mereka merenggutnya dariku…" Suaranya bergetar hebat, menunjukkan betapa besar kehilangan yang ia rasakan. Ia menunduk lagi, menutupi wajahnya dengan kedua tangan, tangisnya pecah semakin keras.
Jimmy dan Kenzi hanya bisa menatap Kei dengan iba, tak mampu berkata apa pun. Mereka mengerti, kata-kata tak akan cukup untuk meringankan beban yang ditanggung Kei. Mereka hanya bisa memberikan dukungan dan pengertian, menunggu hingga Kei merasa lebih tenang.
Setelah beberapa saat, Kei mengangkat wajahnya, matanya sembab dan merah, namun tatapannya menunjukkan amarah yang membara. Suaranya berubah menjadi penuh amarah, menunjukkan kemarahan yang terpendam. "Alexander… dan Danton… mereka… mereka… mereka monster!!" Ia mengepalkan tangannya, buku-buku jarinya memutih karena tekanan yang kuat, darah segar mulai keluar dari celah-celah kukunya, menunjukkan amarah dan kesedihan yang tercampur aduk. "Mereka menyuntikkan Evil Blood Virus ke tubuhnya… Reina… dia… dia menderita… dia kesakitan… aku… aku tidak bisa menyelamatkannya… aku tidak bisa… aku tidak bisa…" Ia terisak semakin keras, menunjukkan kesedihan dan penyesalan yang begitu mendalam. Tubuhnya merosot ke bawah, menunjukkan betapa besarnya beban emosi yang ia rasakan. Ia membanting puntung rokoknya ke tanah, menunjukkan amarahnya.
Ia tertunduk, tubuhnya bergetar hebat, menunjukkan betapa besar kesedihan yang ia rasakan. "Setelah Reina pergi… semuanya terasa hampa… kosong… tak bermakna…" Suaranya hampir tak terdengar, menunjukkan betapa besar kehilangan yang ia rasakan. "Aku… aku merasa seperti… hanya… sebuah cangkang kosong…" Ia menatap ke kejauhan, matanya kosong, seakan sedang mencari sosok Reina di antara kerumunan orang. Air mata terus mengalir deras di pipinya, menunjukkan kesedihan yang begitu mendalam. Ia memeluk dirinya sendiri, seakan ingin melindungi dirinya dari rasa sakit yang begitu besar.
"Setiap hari… aku terbangun dengan rasa sakit yang tak tertahankan… Aku melihat bayangannya di mana-mana… Aku mendengar suaranya di setiap bisikan angin…" Ia terisak semakin keras, menunjukkan kesedihan yang begitu mendalam. "Aku… aku ingin sekali bertemu Reina lagi… memeluknya… mendengar suaranya… merasakan kehangatan tubuhnya…" Ia terisak semakin keras, menunjukkan kesedihan yang begitu mendalam. "Tapi… itu tidak mungkin…" Ia tertunduk, menunjukkan kesedihan yang begitu mendalam. Ia mengangkat wajahnya, matanya berkobar-kobar, menunjukkan amarah dan tekad yang membara. "Aku… aku harus kuat… untuk Reina…" Ia menghapus air matanya dengan kasar, menunjukkan tekadnya untuk membalaskan dendam Reina. "Aku… aku akan membalaskan dendam Reina… aku akan membunuh mereka… aku akan memastikan mereka membayar atas apa yang telah mereka lakukan…" Ia berkata dengan suara yang tegas dan penuh keyakinan, menunjukkan tekadnya untuk membalaskan dendam Reina. Matanya berkobar-kobar, menunjukkan amarah dan tekad yang membara. Tubuhnya menegang, siap untuk menghadapi apa pun yang akan terjadi. Ia berdiri tegak, menunjukkan tekadnya yang bulat.
Tangis Kei pecah kembali, lebih hebat dari sebelumnya. Tubuhnya terhuyung, seakan tak mampu lagi menahan beban kesedihan yang begitu mendalam. Air mata membasahi wajahnya, mengalir deras seperti hujan yang tak kunjung reda. Ia terisak-isak, suaranya nyaris tak terdengar di antara isakan yang semakin keras. "Aku… aku tidak sempat mengatakan kepadanya…" suaranya terputus-putus, diselingi oleh isakan yang semakin pilu. "Aku… aku tidak sempat mengatakan bahwa… dia adalah bidadariku…" Ia terisak semakin keras, menunjukkan kesedihan yang begitu mendalam. "Aku… aku sangat beruntung bertemu dengannya…" Ia terisak, menunjukkan betapa besar rasa syukurnya atas kehadiran Reina dalam hidupnya.
Ia menunduk, menutupi wajahnya dengan kedua tangan, seakan ingin menghilang dari dunia ini. Tubuhnya bergetar hebat, menunjukkan betapa besar kesedihan yang ia rasakan. "Dan… aku tidak sempat…" suaranya nyaris tak terdengar, diselingi oleh isakan yang semakin keras. "Aku… aku tidak sempat…" Ia terisak semakin keras, menunjukkan kesedihan yang begitu mendalam. "Aku… aku tidak sempat berterima kasih…" Ia terisak semakin keras, menunjukkan kesedihan yang begitu mendalam.
Jimmy dan Kenzi hanya bisa menatap Kei dengan iba, tak mampu berkata apa pun. Mereka mengerti, kata-kata tak akan cukup untuk meringankan beban yang ditanggung Kei. Mereka hanya bisa memberikan dukungan dan pengertian, menunggu hingga Kei merasa lebih tenang. Kenzi meletakkan tangannya di bahu Kei, memberikan sedikit kekuatan dan dukungan. Jimmy meraih kaleng kopi, menawarkannya kepada Kei, namun Kei hanya menggelengkan kepalanya, menolak tawaran tersebut.
Setelah beberapa saat, Kei mengangkat wajahnya, matanya sembab dan merah, namun tatapannya menunjukkan tekad yang membara. Ia menghapus air matanya dengan kasar, menunjukkan tekadnya untuk membalaskan dendam Reina. "Aku… aku tidak sempat berterima kasih atas segalanya…" Suaranya bergetar hebat, menunjukkan betapa besar rasa syukurnya atas kehadiran Reina dalam hidupnya. "Segala… yang telah ia berikan… kepada ku yang bodoh dan lemah ini…" Ia terisak, menunjukkan kesedihan dan penyesalan yang begitu mendalam. Ia mengepalkan tangannya, buku-buku jarinya memutih karena tekanan yang kuat.
Jimmy dan Kenzi menatap Kei dengan tatapan yang penuh empati. Mereka mengerti, Kei merasa bersalah karena tidak sempat mengungkapkan perasaannya kepada Reina, dan juga karena merasa lemah dan tidak mampu melindungi Reina. Mereka tahu, Kei membutuhkan waktu untuk meredakan kesedihannya, dan mereka akan selalu ada untuk mendukungnya. Jimmy meletakkan tangannya di bahu Kei, memberikan sedikit kekuatan dan dukungan. Kenzi mengangguk pelan, menunjukkan pengertiannya. Mereka terdiam sejenak, menghormati kesedihan Kei. Udara malam terasa semakin dingin, namun di antara mereka, terpancar sebuah ikatan persahabatan yang kuat dan penuh pengertian. Mereka tahu, perjuangan mereka masih panjang, namun mereka tidak sendiri. Mereka memiliki satu sama lain, dan mereka akan saling mendukung untuk menghadapi apa pun yang akan terjadi. Mereka akan membalaskan dendam Reina, dan mereka akan menghormati kenangan indah bersama Reina. Malam itu, di bawah langit Tokyo yang gelap, perjuangan mereka akan terus berlanjut.
Ruangan itu gelap, hanya diterangi oleh cahaya redup dari layar komputer yang menampilkan rekaman audio. Reina duduk di kursi berlengan tinggi, tubuhnya menegang seperti patung. Rambutnya yang biasanya terurai rapi kini acak-acakan, mencerminkan kekacauan batinnya. Tangannya gemetar saat ia menutupi mulut, menahan isakan yang mengancam untuk pecah. Ia mendengarkan suara Kei, suara yang penuh dengan kesedihan dan penyesalan, suara yang menusuk hatinya seperti belati. Dadanya terasa sesak, seakan akan ada beban berat yang menghancurkan jiwanya. Air mata mengalir deras, membasahi pipinya, mengalir tanpa henti, menunjukkan kesedihan dan penyesalan yang begitu mendalam. Bukan hanya air mata, tapi juga keringat dingin yang membasahi kulitnya, menunjukkan betapa hebatnya beban emosional yang ia tanggung.
"Kei…" suaranya hanya berupa bisikan, nyaris tak terdengar di antara isakannya yang tertahan. "Maafkan aku…" Kata-kata itu keluar dengan susah payah, diselingi oleh isakan yang semakin pilu. Tubuhnya merosot pelan ke bawah, sampai akhirnya ia terduduk lemas di lantai, punggungnya menyentuh dinginnya ubin. Ia memeluk lututnya erat-erat, seakan ingin melindungi dirinya dari rasa sakit yang begitu hebat.
Alice, mendekati Reina dengan gerakan yang lembut dan penuh perhatian. Cahaya lembut yang terpancar dari tubuhnya memberikan sedikit penerangan di ruangan gelap itu. Ia mengusap punggung Reina dengan gerakan yang lembut dan menenangkan, jari-jari mekanisnya seakan mengerti dan berusaha meredakan rasa sakit yang dirasakan Reina. "Reina… tenangkan dirimu…" suara Alice terdengar lembut dan menenangkan, namun suaranya tak mampu meredakan kesedihan yang begitu mendalam.
Reina menggelengkan kepalanya, menunjukkan bahwa ia tak mampu untuk tenang. Rambutnya yang acak-acakan menutupi sebagian wajahnya, menunjukkan betapa hancurnya perasaannya. "Bagaimana bisa aku tenang, Alice…" suaranya bergetar hebat, menunjukkan betapa besar kesedihan yang ia rasakan. "Kei… dia hancur berantakan karena kematianku… sedangkan aku… aku sebenarnya masih hidup…" Ia terisak, menunjukkan kesedihan dan penyesalan yang begitu mendalam. Tubuhnya bergetar hebat, menunjukkan betapa besarnya beban emosi yang ia rasakan.
Ia tertunduk, menunjukkan kesedihan yang begitu mendalam. "Aku… aku terhalang untuk bertemu dengannya…" suaranya bergetar hebat, menunjukkan betapa besar kesedihan yang ia rasakan. "Aku… aku tidak mau menariknya ke dalam masalah lagi…" Ia terisak, menunjukkan kesedihan dan penyesalan yang begitu mendalam. "Pertarungan… dan segala berkaitan dengan pembantaian Danton dan Alexander… itu semua terlalu berbahaya baginya…" Ia terisak semakin keras, menunjukkan kesedihan dan penyesalan yang begitu mendalam. Ia memeluk dirinya sendiri, seakan ingin melindungi dirinya dari rasa sakit yang begitu besar. Air matanya membasahi lantai, menciptakan genangan kecil di sekitarnya.
Reina terduduk lemas di lantai, tangisnya pecah semakin keras, suara tangisnya menggema di ruangan yang sunyi. "Kei…" suaranya nyaris tak terdengar di antara isakan yang semakin keras. "Aku juga… aku juga sangat sayang padamu…" Ia terisak semakin keras, menunjukkan kesedihan dan penyesalan yang begitu mendalam. "Aku juga sangat… sangat beruntung bisa bertemu denganmu…" Ia terisak, menunjukkan betapa besar rasa syukurnya atas kehadiran Kei dalam hidupnya. "Karena kau… kau adalah orang yang selalu mengisi setiap tawa ku… yang selalu ada untukku… yang selalu membuatku merasa… bahagia…" Ia terisak, menunjukkan kesedihan dan penyesalan yang begitu mendalam. Tubuhnya bergetar hebat, menunjukkan betapa besarnya beban emosi yang ia rasakan.
Ia terisak semakin keras, menunjukkan kesedihan dan penyesalan yang begitu mendalam. "Kei… maafkan aku…" Ia terisak, menunjukkan penyesalan yang begitu mendalam. "Namun… aku akan janji…" Ia terisak, menunjukkan penyesalan yang begitu mendalam. "Suatu hari nanti… kau dan aku bertemu… dan menikah… memiliki anak… hidup bahagia selamanya…" Ia terisak, menunjukkan penyesalan yang begitu mendalam. "Itu kan… yang selalu kita impikan…" Ia terisak, menunjukkan penyesalan yang begitu mendalam. "Namun… aku mohon…" Ia terisak, menunjukkan penyesalan yang begitu mendalam. "Kei… sabar ya… tunggu aku…" Ia terisak semakin keras, menunjukkan kesedihan dan penyesalan yang begitu mendalam. Tubuhnya merosot ke bawah, menunjukkan betapa besarnya beban emosi yang ia rasakan. Ia memeluk lututnya, menunjukkan kesedihan yang begitu mendalam. Air matanya membasahi lantai, menciptakan genangan kecil di sekitarnya. Alice terus mengusap punggung Reina, mencoba memberikan sedikit ketenangan di tengah kesedihan yang begitu mendalam. Reina terisak semakin keras, menunjukkan kesedihan dan penyesalan yang begitu mendalam. Ia merindukan Kei, dan ia berjanji akan segera bertemu dengan Kei. Ia berjanji akan segera kembali kepadanya.
Ruangan itu masih remang-remang, hanya diterangi oleh cahaya monitor yang menampilkan rekaman audio Kei. Reina terduduk lemas di lantai, tangisnya masih sesekali terdengar, menunjukkan betapa dalamnya kesedihan yang ia rasakan. Rambutnya yang panjang menutupi sebagian wajahnya yang basah oleh air mata. Tubuhnya gemetar, menunjukkan betapa besar beban emosi yang ia tanggung.
Mike, dengan postur tubuhnya yang tinggi dan tegap, tetap berdiri di dekat dinding, mengamati Reina dengan tatapan yang penuh empati. Ia mengerti kesedihan Reina, ia tahu betapa berat beban yang ditanggungnya. Ia tak mampu berkata-kata, karena ia tahu kata-kata tak akan cukup untuk meringankan beban Reina. Ia hanya bisa memberikan dukungan dan pengertian, menunggu hingga Reina merasa lebih tenang. Ekspresi wajahnya menunjukkan kesedihan dan keprihatinan yang mendalam. Ia menghela napas panjang, menunjukkan betapa beratnya beban yang ia rasakan.
Alice, Alisia, dan Helena, tiga agen rahasia dengan keahlian dan kepribadian yang berbeda, mendekati Reina. Mereka bukan lebah robot, melainkan rekan-rekan agen yang selalu setia mendampingi Reina. Alice, dengan rambut hitam-putih panjangnya yang tergerai, mendekati Reina dengan langkah lembut. Alisia, dengan rambut panjang pelangi nya dan gaya yang tegas, menunjukkan sikap yang lebih lugas. Helena, dengan rambutnya yang pendek dan terikat rapi, menunjukkan sikap yang lebih tenang dan bijaksana.
Ketiga agen itu berlutut di sekitar Reina, menunjukkan kepedulian dan dukungan mereka. Mereka memeluk Reina dengan lembut, mencoba memberikan sedikit kehangatan dan kekuatan di tengah keputusasaan yang melanda. Reina memeluk mereka erat-erat, mencari sedikit kenyamanan dan dukungan dari teman-temannya. Air matanya masih mengalir deras, namun isakannya mulai mereda sedikit.
Alice berbicara dengan suara yang lembut dan menenangkan. "Reina," suaranya lembut dan penuh pengertian, "kita harus kuat." Ia menatap Reina dengan tatapan yang penuh kasih sayang. "Kita harus menyelesaikan misi ini." Ia menunjuk ke layar komputer yang menampilkan rekaman audio Kei. "Kei… dia sangat membutuhkanmu." Ia mengusap lembut rambut Reina, memberikan sedikit ketenangan dan dukungan.
Alisia menambahkan dengan suara yang sedikit lebih tegas. "Kita harus menunjukkan identitasmu yang sebenarnya kepada Kei." Ia menatap Reina dengan tatapan yang penuh keyakinan. "Kau akan segera bertemu dengannya lagi." Ia memegang erat tangan Reina, memberikan sedikit kekuatan dan dukungan.
Helena, dengan suara yang penuh semangat, mengatakan, "Bayangkan, Reina, kita akan segera bertemu dengan Kei. Kita akan bersama-sama lagi. Kita akan membalaskan dendammu, dan kita akan membangun masa depan yang bahagia bersama." Ia tersenyum, mencoba untuk memberikan sedikit harapan dan semangat kepada Reina. Ia mengelus bahu Reina, menunjukkan dukungan dan pengertiannya.
Reina masih terisak, namun ia mulai mendengarkan kata-kata teman-temannya. Ia mengerti, mereka benar. Ia harus kuat, ia harus menyelesaikan misi ini. Ia harus segera bertemu dengan Kei lagi. Ia menghapus air matanya dengan kasar, menunjukkan tekadnya untuk melanjutkan perjuangan.
"Aku… aku mengerti," katanya, suaranya masih bergetar, namun menunjukkan sedikit keyakinan. "Aku… aku akan menyelesaikan misi ini." Ia menatap teman-temannya dengan tatapan yang penuh tekad. "Aku akan segera menunjukkan identitas ku yang sebenarnya kepada Kei." Ia berdiri tegak, menunjukkan tekadnya yang bulat. Tubuhnya masih gemetar, namun ia berusaha untuk mengendalikan emosinya. Ia mengambil napas dalam-dalam, mencoba untuk menenangkan dirinya. Ia menatap teman-temannya dengan tatapan yang penuh tekad. "Terima kasih," katanya, suaranya masih bergetar, namun menunjukkan sedikit keyakinan. "Aku… aku tidak akan mengecewakan kalian." Ia tersenyum tipis, menunjukkan sedikit harapan dan semangat. Ia siap untuk menghadapi apa pun yang akan terjadi. Ia siap untuk bertemu dengan Kei lagi. Ia siap untuk membalaskan dendamnya. Ia siap untuk membangun masa depan yang bahagia bersama Kei. Ia siap untuk melanjutkan perjuangannya. Ia siap untuk menghadapi apa pun yang akan terjadi. Ia siap untuk kembali kepada Kei.