NovelToon NovelToon
Dia Bukan Ayah Pengganti

Dia Bukan Ayah Pengganti

Status: tamat
Genre:One Night Stand / Hamil di luar nikah / Pengantin Pengganti / Dokter / Menikah dengan Kerabat Mantan / Ayah Darurat / Tamat
Popularitas:2.5M
Nilai: 4.9
Nama Author: Puji170

Naya yakin, dunia tidak akan sekejam ini padanya. Satu malam yang buram, satu kesalahan yang tak seharusnya terjadi, kini mengubah hidupnya selamanya. Ia mengira anak dalam kandungannya adalah milik Zayan—lelaki yang selama ini ia cintai. Namun, Zayan menghilang, meninggalkannya tanpa jejak.

Demi menjaga nama baik keluarga, seseorang yang tak pernah ia duga justru muncul—Arsen Alastair. Paman dari lelaki yang ia cintai. Dingin, tak tersentuh, dan nyaris tak berperasaan.

"Paman tidak perlu merasa bertanggung jawab. Aku bisa membesarkan anak ini sendiri!"

Namun, jawaban Arsen menohok.

"Kamu pikir aku mau? Tidak, Naya. Aku terpaksa!"

Bersama seorang pria yang tak pernah ia cintai, Naya terjebak dalam ikatan tanpa rasa. Apakah Arsen hanya sekadar ayah pengganti bagi anaknya? Bagaimana jika keduanya menyadari bahwa anak ini adalah hasil dari kesalahan satu malam mereka?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puji170, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 8 DBAP

Keesokan paginya.

Naya sudah sibuk di dapur sejak matahari baru menyapa. Sesuai jadwal, hari ini ia akan menghadapi ujian tengah semester, langkah terakhir sebelum masa magang dimulai. Tapi sebelum itu, ia harus mengisi tenaga. Sarapan, menurut banyak artikel kesehatan yang ia baca, bukan hal yang boleh disepelekan.

Sambil membalik nasi goreng di wajan, aroma bawang putih dan kecap manis memenuhi udara. Tangannya lincah, tapi pikirannya melayang. Sesekali, matanya menoleh ke arah kamar yang semalam dimasuki Arsen. Ada ganjalan yang belum selesai. Raut wajah lelaki yang kini bisa disebut sebagai suami itu sedih beruraikan air mata masih membekas dalam ingatan. Tapi Naya tahu diri. Arsen telah membangun tembok tinggi tak kasat mata, tapi nyata terasa.

"Nay, sadarkan dirimu. Dia sudah berusaha bertanggung jawab meskipun terpaksa itu saja harusnya sudah cukup, jangan melangkah jauh," gumamnya pelan, seolah meyakinkan diri sendiri.

Namun, suara hatinya kembali berbisik, lebih jujur daripada logika.

"Kalau aku makan sendiri... bukankah itu terlalu egois? Dia sudah banyak berkorban. Ini bukan soal perhatian. Ini soal rasa terima kasih."

Dengan helaan napas, Naya mengambil dua piring. Ia menyiapkan sarapan untuk Arsen juga, nasi goreng hangat dengan telur dadar yang baru matang. Segelas susu putih ia letakkan di sisi piring milik Arsen. Semua ia lakukan dalam diam, dengan hati-hati seolah sedang merawat sesuatu yang rapuh.

"Setidaknya... dia sempat sarapan sebelum pergi," bisiknya pelan, mencoba tersenyum walau perutnya dipenuhi kegugupan.

Langkah kaki berat terdengar dari lorong. Arsen muncul dari balik pintu, rambutnya masih sedikit basah, mengenakan kaus gelap dan celana panjang santai. Pandangannya langsung jatuh pada meja makan, dua piring tertata rapi, lengkap dengan telur dan air putih. Rumah yang biasanya sunyi kini terasa… hidup.

Ada getaran hangat yang muncul di dadanya. Rumah ini tak lagi sekadar tempat singgah. Ada suara, ada aroma makanan, ada seseorang yang mengisi ruang kosong itu. Tapi Arsen buru-buru menepis perasaan itu. Ia tak boleh hanyut dalam kelembutan. Bukan untuk wanita yang dulu ia tahu adalah milik ponakannya. Bukan untuk bayi yang bukan darah dagingnya, meski kini harus ia jaga.

Ia memandangi Naya sebentar, ekspresinya tetap dingin.

"Paman, aku buatkan sarapan," ucap Naya pelan, menunjuk kursi di seberangnya. "Kalau nggak suka... aku bisa bikin yang lain."

"Aku nggak lapar," potong Arsen, suaranya datar.

Pandangan matanya menyapu piring itu, nasi goreng yang tampak lezat, telur dadar matang sempurna. Tapi hatinya menolak untuk menunjukkannya.

Hening.

Naya menunduk, ada rasa kecewa yang perlahan memenuhi dadanya. Ia berusaha menelannya, tapi tetap terasa perih.

"Tapi Paman belum makan dari semalam..." ucapnya mencoba membujuk.

Arsen meraih jaket yang tersampir di kursi, gerakannya tergesa dan kaku.

"Kamu nggak perlu menunjukan perhatian itu padaku. Fokus aja sama dirimu sendiri. Jangan merepotkan," ucap Arsen dengan nada dingin. Di menit selanjutnya, ia melangkah pergi. Pintu tertutup pelan, tapi rasanya seperti gemuruh di kepala Naya.

Naya masih berdiri di tempat. Tangan yang tadi memegang sendok kini gemetar. Matanya tertuju pada dua piring nasi goreng. Satu tetap utuh. Tak tersentuh.

Perlahan, ia duduk. Menatap piring miliknya. Uapnya sudah tak lagi hangat, begitu juga hatinya.

"Nggak apa-apa, Nay... Kalau dia nggak mau, bukankah bagus setidaknya kamu dan bayimu bisa makan lebih dari cukup hari ini. Itu yang paling penting," ucapnya pelan, mencoba menguatkan diri sendiri. Tapi dada terasa sesak. Ada sesuatu yang retak pelan-pelan, namun nyata.

***

Di sisi lain, Arsen melaju di jalanan pagi dengan kecepatan sedang. Awalnya, semuanya terasa biasa saja. Tapi perlahan, rasa sakit itu kembali datang, menyesak di dada, seperti ada yang menggenggam erat dari dalam. Tangannya mencengkeram setir kuat-kuat, seolah mencari pegangan untuk melampiaskan sesuatu yang tak tertahankan. Tak butuh waktu lama, air mata mulai turun, tanpa bisa ia kendalikan. Ia bahkan tak sadar kapan tepatnya ia mulai menangis.

"Apa aku sudah gila?" bisiknya lirih, suara serak. Sesekali ia mengusap pipinya, mencoba menghapus jejak perasaan yang tak bisa ia pahami.

Emosinya naik-turun, tak tentu arah. Ada marah, takut, sedih, semua bercampur jadi satu. Ia merasa asing, bukan hanya pada dunia, tapi pada dirinya sendiri.

Sebagai seorang dokter bedah, ia terbiasa bersikap tenang, tegas, dan rasional. Tapi semalam dan pagi ini, semuanya terasa kacau. Ia tak bisa menjelaskan apa yang berkecamuk di hatinya.

Arsen menarik napas panjang, mencoba menstabilkan diri. Tapi ia tahu, ini bukan sekadar kelelahan atau stres. Ini sudah menyentuh sesuatu yang lebih dalam. Dengan keputusan cepat, ia segera menginjak gas mobil menuju rumah sakit. Bukan untuk menangani pasien. Tapi untuk dirinya sendiri.

"Aku nggak bisa selamatkan orang lain... kalau jiwaku sendiri sedang terluka," gumamnya lirih.

Setibanya di rumah sakit tempat ia bekerja, Arsen langsung menuju ruang psikiater sebelum mulai bertugas. Ia tahu, ia tak bisa terus menunda ini.

"Jadi, Dokter Arsen merasa sedih... tanpa tahu sebabnya?" ulang sang psikiater—seorang pria paruh baya dengan sorot mata tenang dan suara bersahabat. Ia menatap Arsen yang duduk tegak di hadapannya. Tangan saling menggenggam di pangkuan, mata memerah, tapi wajahnya tetap berusaha tampak kuat.

Arsen mengangguk pelan. “Awalnya saya kira hanya karena lelah. Tapi ini beda, Dok. Rasanya... seperti dicekik dari dalam. Dada sesak. Seperti ada kesedihan yang bukan milik saya, tapi saya rasakan sepenuhnya.”

Psikiater itu mencatat sesuatu, lalu menatap Arsen kembali dengan empati. “Baik. Kita lakukan pemeriksaan dulu, ya. Saya ingin memastikan ini bukan gangguan mood atau kondisi psikologis lain.”

Pemeriksaan dilakukan dengan menyeluruh. Pertanyaan demi pertanyaan mengalir, soal pola tidur, tekanan kerja, trauma masa lalu, hingga dinamika hubungan pribadi. Namun dari evaluasi awal, semuanya berada dalam batas normal. Tak ada indikasi depresi berat ataupun gangguan kecemasan.

“Secara medis dan psikologis, Anda stabil, Dokter Arsen,” ujar psikiater itu sambil meletakkan berkasnya. “Tapi... ada satu hal yang ingin saya gali lebih jauh.”

Arsen hanya mengangguk. Ia tak banyak bicara, tapi diamnya memberi ruang.

“Coba ingat kembali. Momen terakhir sebelum rasa sesak itu datang. Apa yang terjadi sebelumnya?”

Arsen terdiam cukup lama. Benaknya mengingat-ingat kembali, dan kini ia baru sadar jika ia sedih setelah berkata dingin pada Naya.

“Saya... berkata kasar pada wanita itu. Seperti pagi ini dia sudah menyiapkan sarapan. Tapi saya menolaknya. Bahkan bukan cuma menolak... saya bilang dia nggak pantas menunjukkan perhatian pada saya.”

Psikiater itu mengerutkan alis tipis, lalu tersenyum samar. “Apa maksud Anda wanita itu adalah istri Anda?" melihat Arsen mengangguk tipis, dengan sedikit menggelengkan kepala dokter itu bertanya kembali, "Apa istri Anda sedang hamil?”

Pertanyaan itu membuat napas Arsen tertahan. Ia menatap dokter itu, bingung, lalu mengangguk pelan. “Ya. Baru semester awal.”

Sang dokter ikut mengangguk, wajahnya tenang dan penuh pengertian.

“Ini bukan gangguan jiwa, Dokter. Tapi kemungkinan besar, ini yang kita sebut pregnancy sympathy atau couvade syndrome. Sebuah kondisi di mana suami ikut merasakan gejala emosional, bahkan fisik yang dialami istri selama kehamilan.”

Arsen mengerutkan dahi. “Maksudnya... saya bisa ikut merasakan apa yang di alami wanita itu? Hah... itu tidak mungkin Dok.”

“Kenapa tidak mungkin, ini bisa terjadi. Dan itu cukup umum, walau jarang disadari. Rasa lelah, sedih, mual, bahkan gangguan tidur bisa muncul sebagai bagian dari ikatan emosional yang kuat antara Anda dan istri... atau bahkan bayi.”

Dada Arsen terasa semakin berat. Pikirannya berkecamuk.

Psikiater itu menatapnya lekat, lalu menjawab lembut, “Saya rasa... Anda sedang belajar mengenali perasaan Anda sendiri. Kadang, rasa bersalah bisa jauh lebih menyakitkan dari yang kita duga. Dan jika Anda merasa sakit, mungkin itu adalah bayangan luka yang Anda beri pada seseorang... yang sebenarnya ingin Anda jaga.”

Arsen menunduk, jemarinya mengepal di atas pangkuan. Suaranya nyaris hilang.

“Bagaimana mungkin...?”

1
Anna Nurjati
ha ha ha ...kak othornya kocak jg ya?tp hebat dan luar biasa loh... ceritanya bagus pake banget.Terimakasih Thor, sukses selalu.../Good/
Anonymous
fr befah bukannua sudah spesialis ya. kok dokyer bedah umum. maaf klo sy yg salah
𝐇⃟⃝ᵧꕥ📴𝓗𝓪𝔂𝓾𝓻𝓪𝓹𝓾𝓳𝓲: iya kak benar, ada kok spesialis bedah umum.
total 1 replies
Anonymous
👍
Anonymous
👍
Mimos Silalahi
👍👍👍
Ati Rohayati
bener aku juga suami A aku A anak anak semua nya O
Kimo Miko
ws pokokke jempol kak👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍
𝐇⃟⃝ᵧꕥ📴𝓗𝓪𝔂𝓾𝓻𝓪𝓹𝓾𝓳𝓲: terimakasih kakak
total 1 replies
Kimo Miko
wkwkwk..... dito panik dikira nisa mau terbang gak tahunya cuma mau teriak biar beban berkurang. ws ayo lak pulang tanggal pernikahanmu sudah dekat dan juga kasihan kakek meskipun dia salah. kakek melakukan itu karena punya alasan sendiri
Kimo Miko
kejar dito... mana tahan ditinggal nisa. ternyata dito bisa bucin juga
Kimo Miko
lanjut thor ..
Kimo Miko
gak komen thor aku sudah ilfil sama mbokne naya.
Kimo Miko
ada rahasia apa🤔
Kimo Miko
emang ada apa sampai naya terbelalak?
Kimo Miko
coba tes DNA ulang nisa. mungkin ada sabotase waktu kamu tes DNA.
Kimo Miko
waduh... data diri naya belum terungkap malah mamke naya kritis piye coba guys?
Kimo Miko
emang enak.... makanya punya mulut di rem gak asal nyolot. yang kamu sentil adalah orang yang gak bisa disentuh. pelajaran buat kamu dara apalagi kamu lagi koas ... pingin gak lulus?
Kimo Miko
dito itu seorang dokter atau intelejen sih. setiap langkahnya selalu jitu hampir tidak ada yang meleset. coba dito selidiki dan kerjasama dengan kakek salim siapa tahu naya adalah cucu kakek salim yang hilang
𝐇⃟⃝ᵧꕥ📴𝓗𝓪𝔂𝓾𝓻𝓪𝓹𝓾𝓳𝓲: dia keturunan mafia, tapi malah jadi dokter
total 1 replies
Kimo Miko
semoga saja nisa adikmu adalah naya.
Kimo Miko
ya ya ya... bingungkan? kedua duanya sama pentingnya . gimana thor siapa yang lebih penting?
Kimo Miko
segeralah terkuak thor siapa naya sebenarnya. sekarang roki dan zayan memetik buah yang ditanam. terima hasil kerasmu ya pak dan anak
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!