NovelToon NovelToon
Chaotic Destiny

Chaotic Destiny

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Mengubah Takdir / Epik Petualangan / Perperangan / Light Novel
Popularitas:7.7k
Nilai: 5
Nama Author: Kyukasho

Ratusan tahun lalu, umat manusia hampir punah dalam peperangan dahsyat melawan makhluk asing yang disebut Invader—penghancur dunia yang datang dari langit dengan satu tujuan: merebut Bumi.

Dalam kegelapan itu, lahirlah para High Human, manusia terpilih yang diinkarnasi oleh para dewa, diberikan kekuatan luar biasa untuk melawan ancaman tersebut. Namun kekuatan itu bukan tanpa risiko, dan perang abadi itu terus bergulir di balik bayang-bayang sejarah.

Kini, saat dunia kembali terancam, legenda lama itu mulai terbangun. Para High Human muncul kembali, membawa rahasia dan kekuatan yang bisa menyelamatkan atau menghancurkan segalanya.

Apakah manusia siap menghadapi ancaman yang akan datang kembali?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kyukasho, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 29 Remake: Latihan Intensif

Langit Vixen pagi itu cerah, namun bagi Sho dan Aria, warna biru lembut itu terasa seperti kanvas kosong yang menyembunyikan badai di hati mereka.

Alun-alun kota dipenuhi suara riuh para pedagang, dentingan logam dari pandai besi, dan tawa anak-anak yang bermain di dekat air mancur. Namun di tengah keramaian itu, dua sosok berdiri saling berhadapan—diam, hanya saling menatap.

Sho mengenakan mantel panjang berwarna gelap. Embusan angin pagi membuat helaian rambut cokelatnya bergerak, dan mata merahnya berkilat memantulkan cahaya matahari.

Di seberangnya, Aria berdiri anggun mengenakan jubah perjalanan biru tua yang melingkupi gaun ringan di dalamnya. Rambut biru malamnya tertiup angin, memantulkan kilau samar emas dari mata indahnya.

Tidak ada kata-kata formal perpisahan. Hanya tatapan yang berbicara lebih dari seribu kalimat.

Sho akhirnya menarik napas panjang.

“Kurasa ini perpisahan kita,” katanya, suaranya tenang namun bergetar di ujungnya.

Aria mengangguk pelan, mencoba tersenyum meski bibirnya terasa kaku. “Baik... Jaga dirimu, Sho.”

Ia pernah mendengar cerita tentang latihan brutal itu—dan kini, ia memutuskan untuk menantang cerita itu sendiri, juga karena tempat itu adalah ujian paling ekstrem bagi tubuh dan mental

Salju di Faice tidak pernah berhenti turun—angin menusuk tulang, dan medan berbahaya bahkan membuat para perampok enggan mendekat. Sho sempat ragu, namun keyakinannya untuk menjadi lebih kuat mengalahkan rasa takut.

Aria, sebaliknya, memilih arah barat. Tujuannya: Pulau Evergreen—sebuah pulau terisolasi yang hanya bisa dimasuki oleh mereka yang mendapat izin khusus. Sebelumnya, ia sempat berbincang dengan Levina, sang Guild Master Vixen. Dalam pertemuan itu, Levina menatapnya lama sebelum memberikan sebuah cincin perak dengan ukiran daun di permukaannya.

“Dengan ini, kau bisa menyeberang dan masuk ke Evergreen. Gunakan waktumu di sana dengan bijak, Aria,” kata Levina waktu itu.

Evergreen terkenal sebagai tempat yang damai namun penuh misteri. Bagi Aria, itu adalah tempat sempurna untuk menempa kemampuan memanah dan memanfaatkan kekuatan cahaya milik Apollo tanpa gangguan dunia luar.

Kembali di alun-alun, keheningan terasa menekan. Orang-orang lewat tanpa menyadari betapa berat langkah yang sebentar lagi akan diambil dua High Human ini.

Sho mengulurkan tangan. “Sampai kita bertemu lagi.”

Aria meraih tangannya erat. Jemarinya dingin, namun genggaman itu mengandung kekuatan yang membuat Sho sejenak ingin membatalkan perpisahan ini. Tetapi keduanya tahu, langkah mereka hari ini akan menentukan masa depan.

“Jangan membuatku mencarimu di tengah badai salju, mengerti?” ujar Aria dengan senyum tipis.

Sho membalas senyum itu. “Dan jangan buat aku mengarungi lautan hanya untuk menjemputmu.”

Mereka melepas genggaman. Sho menatap sekali lagi, lalu berbalik ke arah selatan. Suara langkahnya berat namun mantap. Aria berdiri sejenak, menatap punggung Sho yang perlahan menghilang di keramaian, sebelum ia sendiri melangkah ke arah barat, menuju pelabuhan yang akan membawanya menyeberangi laut menuju Evergreen.

Dan di atas alun-alun Vixen, matahari terus memanjat langit—menyaksikan dua jalan yang kini berpisah, entah kapan akan bertemu lagi.

---

Pegunungan Faice.

Udara di lereng pegunungan Faice bukan sekadar dingin—ia adalah pisau tak terlihat yang menusuk kulit hingga menembus tulang. Bahkan di balik mantel tebalnya, Sho merasa tubuhnya seperti direnggut perlahan oleh hawa beku. Setiap hembusan angin membawa butiran salju yang menghantam wajahnya, membuat pipi dan telinganya terasa perih.

Lereng Faice menjulang di depannya seperti tembok putih tak berujung. Langit di atas sana berwarna kelabu pekat, seakan matahari pun enggan menampakkan diri di wilayah ini. Langkahnya berat, bukan hanya karena salju yang menumpuk hingga lutut, tetapi juga karena udara tipis yang memaksa paru-parunya bekerja lebih keras.

Sho tidak tahu sudah berapa lama ia berjalan, hanya saja ketika deretan bangunan beratap kayu tebal dan bertembok batu mulai terlihat di tengah kabut, ia tahu itulah yang ia cari—barak militer Faice.

Begitu ia mendekat, dua penjaga bersenjata tombak salju mengangkat tangan, menghentikan langkahnya.

“Berhenti! Apa urusanmu di sini, orang luar?” Salah satu dari mereka bertanya, suaranya dalam dan tegas. Napasnya berubah menjadi kabut putih di udara beku.

Sho hanya menarik napas sekali, lalu menjawab singkat, “Aku ingin bergabung... Dengan militer.”

Kedua penjaga itu saling berpandangan, menilai pemuda di hadapan mereka dari ujung kepala hingga ujung kaki. Tidak ada rasa gentar pada mata merahnya, hanya ketenangan yang anehnya terasa mengancam.

Tanpa banyak kata, mereka membukakan pintu gerbang kayu berat yang dipenuhi lapisan es tipis. Dari dalam, udara dingin justru terasa lebih menusuk. Sho melangkah masuk, dan dunia di dalam barak itu sama sekali tidak ramah—suara teriakan instruktur, hantaman kayu, dan denting senjata terdengar di mana-mana.

Seorang pria berotot besar dengan kumis tebal berjalan menghampirinya. Mantelnya terbuka meski udara sedingin ini, menunjukkan otot dada yang seperti diukir dari batu.

“Pendatang baru?” Tanyanya dengan nada setengah mencibir. “Di sini, kau akan dilatih hingga kau tidak akan bisa mengenali dirimu sendiri. Banyak yang datang penuh semangat, tapi pulang dengan cepat... Atau mati... Dengan cepat.”

Sho menatap lurus ke mata pria itu. “Aku tidak datang untuk pulang cepat.”

Pria itu tersenyum tipis, lalu memberi isyarat. “Baiklah. Latihanmu dimulai sekarang. Lari mengelilingi lapangan... Tanpa henti, sampai aku bilang berhenti, anggap saja ini ujian agar kau bisa masuk kedalam militer.”

Salju terus turun tanpa ampun ketika Sho mulai berlari. Setiap tarikan napas terasa seperti menelan pecahan es. Kakinya menembus salju tebal, dan angin dingin menampar wajahnya berkali-kali. Namun ia tidak memperlambat langkah. Ia tahu, ini baru permulaan.

Di kejauhan, suara sang instruktur menggema.

“Kalau kau bisa bertahan di sini, bocah... Kau bisa bertahan di mana saja.”

Sho hanya menunduk sedikit, membiarkan napasnya menjadi kabut putih di udara, dan terus berlari.

---

Pulau Evergreen.

Deru ombak perlahan mereda ketika kapal yang ditumpangi Aria bersandar di dermaga kayu berlumut. Aroma asin laut bercampur dengan wangi dedaunan segar yang terbawa angin dari dalam pulau. Evergreen tampak seperti surga yang terjaga—pepohonan raksasa menaungi jalan setapak, dan kabut tipis menggantung di antara dahan, seolah pulau ini menyimpan rahasia yang tak sembarang mata boleh melihat.

Aria melangkah turun dari kapal. Hanya satu langkah, dan telapak sepatunya menyentuh tanah Evergreen. Di depan gerbang kayu berukir lambang burung laut, barisan penjaga bersenjata tombak berdiri kaku. Wajah mereka dingin, tatapan mereka tajam.

Namun, tak satu pun dari mereka bergerak untuk menghalangi. Mereka hanya menundukkan kepala singkat ketika cincin di jemari Aria memantulkan cahaya matahari sore. Cincin pemberian Levina—tanda izin yang hanya dimiliki segelintir orang di dunia.

Tanpa kata, Aria berjalan melewati gerbang. Di dalam, suara burung asing menggema, dan tanah di bawah kakinya terasa hangat meski ia tahu laut di sekitarnya dingin.

Di ujung jalan setapak, seorang wanita menunggu. Ia memiliki rambut hitam panjang yang diikat setengah ke belakang, gaun latihan tanpa lengan yang memamerkan bahu berotot namun tetap feminin, dan tatapan mata biru pekat yang memancarkan wibawa. Ada ketenangan yang menyelimuti dirinya, namun Aria bisa merasakan kekuatan yang nyaris menakutkan di balik senyum tipisnya.

Wanita itu berbicara dengan suara tenang namun penuh kendali.

“Selamat datang di Evergreen. Mengapa kau datang ke sini? Dan... apa tujuanmu?”

Aria menatap lurus ke arahnya. Tidak ada ragu. Tidak ada jeda.

“Aku datang... Untuk menjadi kuat,” jawabnya, suaranya mantap meski napasnya masih terbawa ritme kapal. “ Sangat kuat... Agar aku bisa melindungi siapapun yang aku cintai.”

Untuk sesaat, tatapan wanita itu mengeras, seolah menilai apakah kata-kata itu hanyalah omong kosong atau memang kebenaran. Lalu, bibirnya melengkung dalam senyum yang hangat sekaligus menantang.

“Baiklah. Kau akan mendapatkannya... Jika kau sanggup bertahan.”

Ia berbalik, rambutnya berayun mengikuti langkah. “Ikut aku.”

Mereka melewati hutan lebat yang tampak alami namun tersusun seperti labirin. Beberapa kali Aria melihat siluet orang berlatih di antara pepohonan—ada yang berlari membawa beban di punggung, ada yang bergelantungan di dahan setinggi puluhan meter, dan ada pula yang bertarung dengan senjata aneh yang belum pernah ia lihat.

Akhirnya mereka tiba di sebuah lapangan terbuka yang dipagari batu putih alami. Udara di sini berbeda—lebih padat, seakan setiap tarikan napas menguji paru-paru.

“Mulai hari ini,” kata sang wanita, berdiri tegak di tengah lapangan, “kau akan berlatih di bawah pengawasan Evergreen. Latihan di sini... Tidak kalah ekstrem dari apa pun yang ada di luar sana. Kau akan diuji, tubuh dan jiwamu... Sampai batas yang bahkan kau sendiri tak tahu kau miliki.”

Aria mengangguk sekali. Matanya berkilat dengan semangat.

“Aku siap.”

Wanita itu tersenyum tipis. “Kita lihat saja nanti.”

---

Udara di lereng Faice seperti belati tipis yang menusuk setiap pori-pori kulit. Sho berdiri di lapangan latihan yang lapang nya justru terasa seperti perangkap dingin. Salju tipis menempel di rambutnya, menetes ke pipi lalu membeku di ujung rahang.

Ia hanya mengenakan celana latihan tipis. Dada telanjangnya terbuka lebar, dagingnya dipukul angin dingin yang terasa seperti ratusan cambuk es.

“Lari keliling lapangan! Tiga puluh putaran! Dan JANGAN melambat!” teriak instruktur, suaranya menggetarkan udara.

Sho mulai berlari. Nafasnya langsung berubah menjadi kabut putih yang terputus-putus. Setiap langkah membuat otot kakinya berdenyut, setiap hembusan angin membuat kulitnya nyaris mati rasa.

“Api hijau… jika aku menyalakannya, aku akan hangat. Aku bisa bertahan lebih lama.” Benaknya

Suara hati itu menggoda. Tapi suara Persephone memotongnya, dingin namun tegas.

“Tidak. Kau ingin kuat? Maka hadapi dingin ini dengan daging dan darahmu sendiri. Api hanyalah penyangga. Aku ingin kau menjadi baja.”

Sho menggertakkan gigi, memaksa kakinya bergerak lebih cepat. Instruktur di pinggir lapangan melangkah maju, suaranya menghantam telinga Sho lagi.

“Lebih cepat, Noerant! Kau berlari seperti anak kecil yang takut pada salju!”

Kakinya mulai nyeri, napasnya memanas di paru-paru, keringat bercampur es di punggungnya. Namun ia terus berlari, lingkar demi lingkar, hingga rasa sakit dan dingin melebur menjadi satu.

---

Di sisi lain dunia, Aria berdiri di dahan pohon yang setebal lantai rumah. Di punggungnya tergantung tas besar penuh batu—bebannya seperti menarik tulangnya ke bawah.

Di bawahnya, tanah hutan Evergreen membentang luas, dipenuhi akar-akar sebesar tubuh manusia. Syarat latihannya sederhana diucapkan, namun kejam saat dijalani: berkeliling pulau tanpa menyentuh tanah.

Instrukturnya, seorang wanita rambut hitam panjang yang diikat setengah ke belakang dan mata setajam elang, ia adalah wanita yang sama, wanita yang menyambut kedatangan Aria, ia berdiri di dahan lain. Ia tersenyum tipis sebelum menghitung,

“Dalam hitungan ke tiga... Aku mulai mengejarmu.”

Aria menarik napas. Kakinya sedikit menekuk, otot pahanya siap menolak beban berat.

“Satu…”

Ia mengencangkan pegangan busur di punggung.

“Dua…”

Peluh menetes di pelipis, bukan karena panas, tapi karena antisipasi.

“Tiga.”

Aria melesat. Dahan berguncang saat ia melompat, dan tas berbatu di punggungnya seperti memukul tulang belakang setiap kali ia mendarat. Nafasnya cepat, matanya mencari dahan berikutnya yang cukup kuat untuk menahan berat tubuh dan beban.

WHUSH!

Suara di belakangnya membuat bulu kuduknya berdiri. Instruktur itu sudah mengejar—melompat dengan kelincahan seekor kucing besar.

“Jangan jatuh. Aku tak boleh berhenti,” gumamnya.

Ia memaksa tubuhnya bergerak lebih cepat, meskipun otot bahunya mulai terbakar karena menahan tali tas yang menusuk kulit.

Di satu titik, ia hampir kehilangan keseimbangan saat ranting patah di bawah kakinya. Tapi ia memutar tubuh di udara, memanfaatkan momentum untuk mendarat di dahan berikutnya.

“Lumayan,” terdengar suara instruktur di belakang, “Tapi jika kau melambat sedikit saja... Aku akan menangkap mu.”

Aria mengepalkan gigi, lalu melesat lebih jauh, melupakan rasa sakit di bahu dan punggung.

---

Di dua tempat berbeda, di bawah dingin mematikan dan di tengah hutan raksasa, Sho dan Aria sama-sama dipaksa menghadapi batas tubuh mereka.

Dan di kedalaman hati masing-masing, satu hal yang sama membara, yaitu tekad untuk menjadi cukup kuat agar tak pernah lagi kehilangan orang yang mereka cintai.

Di dua tempat berbeda, keduanya berada di ambang batas. Dingin yang menusuk, beban yang menekan, dan kelelahan yang nyaris merobek kesadaran.

Satu langkah saja, satu detik saja... Akan menentukan apakah mereka bertahan, atau jatuh.

1
That One Reader
baiklahh udah mulai terbayang wujud dan sifat karakternya
That One Reader
hmmm... "matanya masih merah, bukan karena kekuatannya", "Kekuatan" yang dimaksud gimana yh? tapi awal ketemuan sama Aria lumayan berkesan sii
That One Reader
welp.. prolognya okee
Sandra
simingit kikik:v
Cyno
Semangat author
Cyno
Ceritanya seru
Cyno
kalau sho bisa mengubah bident sesuka hati apa nanti aria bisa mengubah bow dia juga? menarik
J. Elymorz
Huhuu shoo/Cry/
Sandra
anjay pahlawan datang tapi bapaknya Aria... :(
Sandra
aku ga tau mau komen apa tapi mau lanjut!!
Sandra
kereennn!! semangat kak!!!
J. Elymorz
sho.. hikss /Cry//Cry/
J. Elymorz
omaigatt di remake, apakah alur ceritanya lebih ke arah romance? hmmzmz/Applaud//Applaud/
J. Elymorz
lucuuuu
J. Elymorz
lucuuuu, sifat mereka berbanding terbalik
J. Elymorz
yahh hiatus/Cry/

semogaa hp nya author bisa sehat kembali, dan semoga di lancarkan kuliahnya, sehat sehat yaa author kesayangan kuu/Kiss//Kiss/
J. Elymorz
gila... hollow bener' gila
Soul Requiem
Ini Saya, Kyukasho, untuk sementara Chaotic Destiny Akan Hiatus dikaenakan HP saya rusak/Frown/
J. Elymorz: /Cry//Cry//Cry/
total 1 replies
J. Elymorz
ouh oke.. kelakuan bodoh dari krepes ternyata berguna, bagus krepes
J. Elymorz
si krepes dateng tiba-tiba banget plss, krepes jangan jadi beban yh/Grievance//Grievance/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!