Tolong " teriak seorang wanita bercadar itu ketika mulut berlapis cadar itu didekap seorang pria. setelah berhasil menutup pintu itu ia langsung melempar perempuan itu ke sofa.
Pria asing itu membuka paksa cadar perempuan yang menjadi mangsa saat ini. Ia mendekam wanita ini dengan tubuh besarnya.
pria itu mulai mencium leher wanita itu, gadis itu terus saja memberontak dengan memalingkan wajahnya. Ciuman yang sangat begitu kasar dan sangat brutal.
Ia membuka paksa baju panjang yang perempuan ini kenakan. Dan sekarang nampak perempuan ini itu sudah menampakkan tubuh polosnya tanpa busan.
Gadis itu terus saja memberontak, ia mencoba memukul dan semau cara ia lakukan tapi tidak berhasil. Tenaga pria ini lebih kuat dari dirinya.
Gadis itu terus menangis dan meminta pertolongan. tapi tidak ada sama sekali yang datang menolongnya.
" aku mohon jangan lakukan itu " ucapnya dalam tangisnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon limr, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
8 [ revisi ]
Bab Delapan (Revisi)
“Nak, sudah siap?” suara lembut sang Ummi membuyarkan lamunan Aira. Sebenarnya ummi menaruh curiga pada Aira tapi sepertinya Aira tidak ingin bercerita membuat sang ummi mengurungkan niatnya untuk bertanya apa yang sedang Aira pikirkan sebenernya.
“Iya, Ummi. Aira sudah siap,” jawabnya pelan sambil mengangkat tas kecilnya dan melangkah menuju mobil.
Hari ini, Aira akan kembali ke rumah bersama Abi dan Ummi setelah prosesi wisuda selesai. Namun, bukannya kebahagiaan yang menyelimuti hatinya, justru kehampaan yang membekas.
Pikirannya masih dipenuhi kejadian kelam yang menimpa dirinya. Ia merasa kotor... tak lagi suci seperti dahulu. Tapi di antara luka dan rasa hancur itu, Aira mencoba bersyukur—setidaknya, laki-laki yang telah menghancurkannya memilih untuk bertanggung jawab.
Dalam hidupnya, Aira tak pernah membenci siapa pun. Tapi sekarang, rasa benci itu tumbuh... untuk pria yang akan menjadi suaminya. Bukan hanya karena apa yang telah terjadi, tapi juga karena ia tahu, jika kebenaran terungkap, bukan hanya dirinya yang akan hancur... tapi juga kedua orang tuanya.
Aira menatap ke luar jendela, menahan sesak yang mengendap di dadanya.
“Nak, kamu tidak apa-apa?” tanya sang Ummi yang sejak tadi mengamatinya dari samping.
“Aira tidak apa-apa, Ummi,” jawabnya lembut, mencoba tersenyum. Meskipun senyum itu tersembunyi di balik kerudung dan masker, namun tatapan matanya tetap tak bisa menyembunyikan luka di dalam.
Perjalanan terasa panjang. Aira hanya diam, larut dalam pikirannya sendiri. Setibanya di rumah, ia disambut hangat oleh keluarganya.
“Maaf ya, Ra, Kakak nggak bisa datang ke wisudamu.”
“Tak apa, Kak. Aira mengerti kondisi Kakak.”
Meski ada tawa dan pelukan, tak ada yang benar-benar bisa mengusir rasa perih dalam hati Aira.
---
Sementara itu, di sebuah gedung pencakar langit di pusat kota, Kenzo sedang tenggelam dalam tumpukan dokumen di mejanya. Wajahnya yang tampan dan karismatik selalu membuat para wanita berdebar, tapi hari ini, seperti biasa, tak ada senyum atau ekspresi di wajahnya.
Hanya kerja. Hanya kesunyian.
Tok tok tok.
“Masuk.” ucapnya tanpa mengalihkan pandangan dari dokumen.
Pintu terbuka, dan Andre melangkah masuk dengan membawa nampan kecil.
“Tuan, ini waktu makan siang Anda.”
Kenzo tak menjawab. Ia terus menulis. Menandatangani. Membaca.
“Tuan...?”
Baru saat itu Kenzo mengangkat kepala, tatapannya tajam.
“Aku bilang pergi. Aku harus menyelesaikan ini.”
Andre mengangguk pelan. “Baik, Tuan. Saya permisi.”
---
Sudah menjadi kebiasaan Kenzo melewatkan waktu makan siangnya. Andre, asisten setianya, selalu mengingatkan—tapi jarang dipedulikan.
Keluar dari ruangan itu, Andre menghela napas panjang. Ia menatap kosong ke depan sebelum bergumam pelan,
“Semoga suatu hari nanti... ada seseorang yang bisa menjadi tempat pulang untukmu, Tuan.”
Meski hanya seorang asisten, Andre sungguh mengkhawatirkan kesehatan dan kesepian tuannya.
---
Hampir menjelang sore, Kenzo baru menyelesaikan semua berkas. Ia menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi, menutup mata, dan membiarkan keheningan menyelimuti ruangan. Tak ada suara, tak ada orang, tak ada pelukan—hanya dirinya sendiri.
Hening yang menyesakkan.
Ia mengambil ponsel dan menekan nomor.
“Ke ruanganku sekarang.”
Beberapa menit kemudian, Andre masuk.
“Iya, Tuan?”
“Antar aku ke tempat biasa.”
“Baik, Tuan.”
Andre tahu betul ke mana mereka akan pergi. Ia langsung menyalakan mesin mobil dan membawa tuannya ke tempat yang dimaksud.
Sebuah restoran mewah di pusat kota. Tempat yang hampir setiap hari Kenzo kunjungi setelah bekerja.
Begitu mobil berhenti, Kenzo keluar dan melangkah masuk. Para pelayan langsung mengenalnya. Mereka menunduk sopan, menyapa dengan senyum penuh hormat. Tak hanya karena statusnya sebagai pebisnis besar, tapi juga karena ia adalah pelanggan paling setia.
Restoran itu tak sekadar tempat makan—itu tempat Kenzo melepaskan sedikit beban, walau hanya sebentar. Di sana, setidaknya, ia bisa duduk tenang... dan merasa tak sepi, meski hanya sementara.
Lanjut Thor...