Brakk
"Tidak becus! aku bilang teh hangat. Kenapa panas sekali? kamu mau membakar tanganku?"
Alisa tidak mengatakan apapun, hanya menatap ke arah suaminya yang bahkan memalingkan pandangan darinya.
"Tahunya cuma numpang makan dan tidur saja, dasar tidak berguna!"
Alisa menangis dalam hati, dia menikah sudah satu tahun. Dia pikir Mark, suaminya adalah malaikat yang berhati lembut dan sangat baik. Ternyata, pria itu benar-benar dingin dan tak berperasaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon noerazzura, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12. Belum Bisa Pergi
Pak Mamat dan bibi Dini yang datang ke rumah sakit itu lagi agak terkejut. Beberapa orang terlihat seperti penjaga bahkan membungkuk hormat pada mereka di sepanjang koridor menuju ke ruangan rawat Alisa.
"Pak Mamat, kayaknya ada pejabat yang masuk rumah sakit ya. Tuh, lihat para penjaga yang menjaganya. Badannya lebih besar dari semua satpam yang ada di rumah!" ujar bibi Dini sambil berjalan menuju ke ruangan rawat Alisa.
Pria tua yang tampak sopan, bahkan membalas dengan membungkukkan badannya hormat pada para penjaga itu segera mengangguk setuju.
"Iya bi, sepertinya ada pejabat yang sakit. Pejabat itu kalau sakit katanya berat-berat ya bi, penyakitnya?" tanya pak Mamat.
"Mana bibi tahu pak Mamat. Kan bibi belum pernah jadi pejabat!"
Pak Mamat malah terkekeh.
"Iya juga ya bi, gimana kita tahu. Kita belum pernah jadi pejabat ha ha ha"
Paula tersenyum, melihat pak Mamat dan bibi Dini yang datang membawakan makanan untuknya.
"Nyonya, ini bibi bawakan makanan. Dan baju ganti Nyonya"
Paula meraih barang-barang itu.
"Terimakasih banyak ya bi, pak Mamat"
"Jangan seperti itu Nyonya, sudah seharusnya. Nyonya adalah majikan kami" kata pak Mamat.
"Aku sudah mendengar dari pihak rumah sakit. Bibi dan pak Mamat yang membayar semua biaya operasiku. Aku sangat berhutang budi pada bibi Dini dan pak Mamat"
Pak Mamat segera melambaikan tangan dengan cepat.
"Tidak nyonya, aku hanya menyumbang sedikit. Bibi Dini yang membayar semua dengan tabungannya..."
"Pak Mamat!" sela bibi Dini.
Pak Mamat segera menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Dia lupa, kalau bibi Dini kemarin mengatakan padanya agar jangan memberitahu pada nyonyanya masalah ini. Karena dia khawatir, Nyonyanya malah akan kepikiran.
"Maaf bi, aku lupa" ucap pak Mamat pelan.
Paula meraih tangan bibi Dini yang kasarnya hampir sama dengan tangannya.
"Bi, terimakasih banyak. Aku pasti akan mengingat semua kebaikan bibi. Dan pasti akan membalasnya suatu saat nanti"
Mata Paula berkaca-kaca. Dan memeluk bibi Dini. Dia tahu, wanita paruh baya yang ada di hadapannya itu bukan tidak mungkin belum menghubungi suaminya. Namun, Paula juga tahu, kalau suaminya pasti tidak akan datang. Apalagi, harus membayar biaya rumah sakit dan biaya operasinya yang begitu mahal.
Paula tahu, kalaupun dia menceritakan yang sebenarnya bahwa yang mendorongnya jatuh dari lantai 2 ke lantai 1 adalah Karina. Mark, juga tidak akan melakukan apapun pada wanita itu. Bahkan mungkin, menganggap peristiwa sebesar ini tidak pernah ada.
"Bagaimana keadaan nyonya? apa yang masih sakit?" tanya bibi Dini yang berusaha mengalihkan perhatian Alisa.
Karena dia pikir, mungkin majikannya itu sebentar lagi akan bertanya, dimana suaminya. Dan apa bibi Dini sudah memberitahu pada suaminya tentang masalah ini. Bibi Dini, juga tidak ingin mengatakan yang sebenarnya bahwa dia sudah menghubungi, Mark. Namun pria itu bahkan mengatakan kalau jangan mengganggunya hanya untuk memberi kabar tentang Alisa.
"Sudah tidak apa-apa" jawab Paula.
Karena memang, Joyce sudah mendatangkan beberapa dokter ahli terbaik di bidangnya ke rumah sakit untuk memeriksa dan memberi obat Paula. Jadi, keadaan Paula bahkan lebih baik dari sebelum terjadi kecelakaan itu. Tidak ada lagi malnutrisi, dan tidak ada lagi kekurangan darah.
"Berada di luar rumah itu, mungkin lebih baik nyonya" kata bibi Dini lirih.
Pak Mamat yang mendengar apa yang dikatakan oleh bibi Dini itu terdiam. Dia memang tidak tahu banyak tentang apa yang terjadi dalam rumah karena dia memang hanya seorang supir. Akan tetapi, dia juga sering mendengar para pelayan membicarakan, bagaimana Berta, Rena, Tasya bahkan Mark memperlakukan Alisa.
Yang jelas, yang dia dengar dari para pelayan itu. Semuanya tidak ada sama sekali hal baik yang terjadi pada Alisa di rumah itu. Jadi, ketika Bibi Dini mengatakan hal itu kepada Alisa. Pak Mamat sebenarnya juga ingin mendukung tapi dia kan tidak mau ikut campur terlalu jauh. Jadi dia diam saja.
Alisa tersenyum. Dia tahu, kalau bibi Dini mengatakan semua itu karena memang merasa kasihan terhadap apa yang sudah terjadi padanya di dalam rumah itu. Tapi, seperti yang sudah dia katakan kepada Joyce, ada yang harus dia kembalikan, dan ada yang harus dia ambil dari rumah itu, setelah satu tahun yang terjadi selama ini disana.
"Aku sudah baik-baik saja bibi. Dan semua hal buruk itu, tidak akan pernah terjadi lagi padaku" kata Alisa mencoba meyakinkan bibi Dini.
Bibi Dini menghela nafas panjang. Dia sungguh kasihan pada Alisa. Tapi, yang menentukan hidup Alisa, adalah dirinya sendiri. Bibi Dini juga tidak mau memaksa Alisa pergi. Dia hanya memberi saran, hanya berusaha untuk itu saja.
Setelah makan bersama, bibi Dini dan pak Mamat pulang lagi. Paula melihat ke arah pintu, dia menghela nafasnya dan mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi Joyce, tapi tidak lama sebelum panggilan itu tersambung, pintu itu terbuka lagi.
Paula yang berpikir itu adalah bibi Dini, segera menyembunyikan lagi ponselnya. Karena semua orang yang ada di kediaman Austin itu tahunya Paula tidak punya ponsel.
"Bibi, ada yang terlupa ya?" Tanya Paula yang segera menoleh ke arah pintu setelah menyembunyikan ponselnya di bawah bantal.
Tapi, betapa terkejutnya dia melihat yang datang ternyata adalah Mark. Dan pria itu tidak sendirian, dia datang bersama dengan Karina.
Paula menghela nafas panjang. Meski emosi, dia tidak bisa melampiaskannya sekarang.
Paula tidak bicara, jika itu adalah Alisa yang masih amnesia, mungkin akan sangat senang sekali melihat Mark datang, meski itu bersama Karina.
Mungkin Alisa akan segera turun dari tempat tidur dan menghampiri suaminya itu. Meski sebenarnya dia sendiri sudah tahu kalau suaminya itu tidak akan pernah peduli padanya. Paula benar-benar merutuki dirinya yang lemah, bodoh dan bucin itu saat amnesia.
Sedangkan Mark, dia menatap ke arah Alisa, yang menurutnya sedikit menunjukkan perubahan yang cukup signifikan.
Wanita itu meliriknya sekilas. Lalu segera memalingkan wajahnya ke arah lain. Sedangkan dulu, tidak pernah seperti itu. Alisa akan memandang terus ke arah Mark. Meski pria itu tak meliriknya sedikitpun.
"Bagaimana kondisimu? apa yang terjadi?" tanya Mark yang langsung duduk di kursi yang tadi digunakan bibi Dini untuk bicara dengan Paula.
Paula melirik ke arah Karina. Tatapannya tak lagi seperti Alisa, memandang penuh takut, gugup dan tak berdaya. Tatapan mata Paula begitu tajam. Hingga membuat Karina tidak senang.
"Kenapa kamu melihatku seperti itu? mau menuduhku mencelakaimu! Mark tidak akan percaya!" ujarnya penuh percaya diri.
Paula memutar bola matanya malas.
"Alisa, jawab aku. Bagaimana kamu jatuh? apa seperti yang dikatakan Karina. Kamu terpeleset dan jatuh, kamu ini sembrono sekali!" ucap Mark.
Paula menoleh ke arah Mark. Dengan tatapan tidak senang.
'Cih, aku bahkan belum mengatakan apa-apa. Jika dia sangat percaya pada wanitanya itu. Untuk apa bertanya padaku. Buang-buang waktu!' batin Paula.
***
Bersambung...
/Joyful//Joyful//Joyful//Joyful//Joyful//Joyful//Joyful/