Menikah dengan seseorang yang tumbuh bersama kita sejak kecil—yang rasanya sudah seperti saudara kandung sendiri—namun harus terpaksa menikah dengannya. Itulah yang kualami.
Namaku Alif Afnan Alfaris, seorang arsitek.
Sedangkan dia, Anna Maida, adalah adik sepupuku sendiri. Sepupu, kata ayahku, sudah sah untuk dinikahi—alasannya demi mendekatkan kembali hubungan darah keluarga. Namun sungguh, tak pernah sedikit pun terlintas di benakku untuk menikah dengannya.
Hubungan kami lebih mirip Tom and Jerry versi nyata. Setiap bertemu, pasti ribut—hal-hal kecil saja sebenarnya. Dia selalu menolak memanggilku Abang, tidak seperti sepupu-sepupu yang lain. Alasannya sederhana: usia kami hanya terpaut satu hari.
Anna adalah gadis cerdas yang menyukai hidup sederhana, meski ayahnya meninggalkan warisan yang cukup banyak untuknya. Ia keras kepala, setia, penyayang… dan menurutku, terlalu bodoh. Bayangkan saja, ia mau dijodohkan dengan pria yang sama sekali tidak ia kenal, di usia yang masih sanga
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ann,,,,,,, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
dapur kacau
Anna segera bergegas membukakan pintu. Tanpa menunggu aba-aba, mereka bertiga langsung menyorobot masuk.
“Kalian bertiga! Gak, Om! Gak, ponakan! Rusuh banget!” protes Anna geram, hampir terjatuh karena ditabrak Ayyan yang berlari kencang.
Ayyan nyengir lebar, matanya berbinar seperti Poppy eyes, menatap sang Mama.
“Maaf, Mama cantik! Jangan marah-marah, nanti Om Alif nggak dapat jodoh,” ucap bocah itu enteng, sama sekali tidak peduli saat Alif menatapnya dengan wajah horor.
Anna dan Bian tertawa geli melihat ekspresi cemberut Ayyan, puas sekaligus lucu.
Alif tidak mau kalah. Ia menunduk, memanggul Ayyan seperti karung beras, lalu masuk ke dalam rumah sambil terkekeh.
“Apa katamu, Om nggak dapat jodoh? Nanti bareng Abang kamu juga, jodoh Om belum lahir, Nak!”
Ayyan hanya tertawa lebar, tak peduli dijadikan mainan.
Momen itu terasa hangat. Alif tidak marah pada keponakannya; mereka memang sangat dekat. Meski jarang bertemu, setiap hari selalu video call—sekadar main game bareng atau bikin konten challenge.
Bian pun selalu minta bantuan Alif belajar saat mamanya sibuk. Karena sosok Rian yang cuek terhadap keluarga, Alif jadi sosok pengganti sementara bagi Bian. Anna selama ini memaklumi sikap Rian. Tapi setelah tahu suaminya mengkhianati, hatinya terutup rapat.
Bagi Anna, kesalahan apa pun bisa dimaafkan, kecuali perselingkuhan—terlalu banyak kebohongan dibuat untuk menutupinya.
“Anna, gue mau bikin sambal, sambil ada tomat nggak?” tanyaku sambil menurunkan Ayyan dari pundakku.
Bocah itu langsung berlari menuju kamarnya, bersiap-siap berangkat ke sekolah. Sementara itu, si sulung, Bian, sudah lebih dulu pergi setelah pulang dari masjid.
Anna, sepupuku yang cantik itu, kembali sibuk menggoreng udang tepung. Aku ikut membantunya menata nasi, sayur asam, dan ayam goreng di atas meja. Aku juga ingin membuat sambal terasi sebagai pelengkap.
Kami terlihat kompak, seperti pasangan suami-istri…
Tapi tunggu dulu—itu baru sebentar.
Benar saja, sebelum aku sempat mengambil tomat, sebuah keranjang tomat mendarat di atas kepalaku dengan sempurna.
“Eh! Apa-apaan ini?!” teriakku sambil mengusap kepala, sambil menatap Anna yang terlihat menahan tawa.
“Om Alif, itu balasan karena tadi nyengir ke Mama cantik,” sahut Ayyan dari lantai atas, suaranya terdengar jelas.
Aku terkekeh, lalu menatap Anna.
“Kamu… ikut main juga, ya?”
Anna tersenyum tipis, sambil tetap fokus menggoreng udang.
“Kamu sendiri yang mulai duluan, lif. Jangan marah kalau dibalas.”
Aku menggeleng, sambil mengambil tomat yang berserakan.
“Ya ampun, pagi-pagi sudah perang tomat. Ini kompak banget, ya?”
Di dapur, aroma ayam goreng dan udang tepung memenuhi udara. Anna sibuk menggoreng sambal terasi, sementara aku menata nasi dan sayur asam di atas meja.
“Eh, Anna, jangan terlalu banyak minyaknya! itu tomat nya tenggelam kayak kapal karam,” godaku sambil mencondongkan badan.
Anna menoleh, alisnya terangkat.
“ Alif, itu bukan kapal, itu bahan sambal, dan aku masak sesuai seleraku. Jangan ikut campur!”
Aku terkekeh. “Seleramu? Itu sih selera penyiksa perut orang!”
Anna menepuk tanganku ringan sambil tersenyum, tapi matanya sudah memancarkan “siap-siap dibalas.”
“Ayo, lif, taruh nasi dulu di piring. Jangan cuma berdiri di situ kayak patung,” katanya sambil menunjuk piring.
“Patung? Eh, jangan salah! Patung itu kan gagah,” balasku, lalu pura-pura berdiri tegak sambil menahan tawa.
Anna menahan senyum, tapi tiba-tiba mengambil sendok sambal dan menempelkan sedikit di ujung hidungku.
“Gini baru gagah, iya gak, lif!”
Aku tertawa keras, lalu mencoba membalas dengan menempelkan sedikit saus di pipinya.
“Waduh! Mama cantik jadi merah semua,” teriakku dramatis.
Anna menunduk sambil menahan tawa, dan aku langsung mengambil selembar daun selada untuk “menyerang balik.”
Begitu terus, kami tertawa, saling mengejek ringan, tapi tetap kompak menyiapkan sarapan. Setiap kali salah satu menambahkan bumbu, pasti langsung dikomentari, tapi selalu diiringi senyum atau tawa.
Meski ribut, ada kehangatan yang terasa—seolah kami memang pasangan yang saling mengerti cara satu sama lain, walau sering kali bertingkah konyol. Anak-anak yang menonton dari tangga ikut terkekeh, menikmati pagi yang ceria itu.
semangat thor