NovelToon NovelToon
Mr. Billionare Obsession

Mr. Billionare Obsession

Status: sedang berlangsung
Genre:Obsesi / Cintapertama
Popularitas:3.7k
Nilai: 5
Nama Author: Yusi Fitria

Semua berawal dari rasa percayaku yang begitu besar terhadap temanku sendiri. Ia dengan teganya menjadikanku tumbal untuk naik jabatan, mendorongku keseorang pria yang merupakan bosnya. Yang jelas, saat bertemu pria itu, hidupku berubah drastis. Dia mengklaim diriku, hanya miliknya seorang.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yusi Fitria, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Part 7

Rasanya menenangkan bisa berendam di bath-up. Air yang hangat dengan aroma bunga mawar yang menyegarkan, membuatku semakin nyaman dan tidak mau beranjak.

"'Cause I'm in a field of dandelions

Wishing on every one that you'd be mine, mine

And I see forever in your eyes

I feel okay when I see you smile, smile..."

Aku bersenandung, menyanyikan lagu favoritku yang berjudul Dandelions. Maknanya indah, tentang perasaan seorang wanita yang mengharapkan pria yang dicintainya akan menjadi miliknya selamanya.

Mengingat makna lagu itu, aku jadi membayangkan Elbarra. Lagu ini cocok untuknya, bukankah dia juga mengharapkan bahwa aku menjadi miliknya?

"Sudah selesai mandinya?"

Aku menoleh, kudapati Elbarra sudah masuk ke kamar mandi. Spontan, aku membenamkan tubuhku sebatas leher, hanya kepalaku yang terlihat. Aku benar-benar takut, masalahnya aku mandi tanpa menggunakan sehelai apapun.

Pria tersebut terkekeh geli, entah apa yang lucu. Eh, tunggu sebentar. Bukankah dia tadi sedang marah? Cepat sekali berubahnya.

"Kenapa harus malu? Bukankah hal wajar bila suami melihat tubuh istrinya?" ujarnya sambil berjongkok disampingku.

Aku memutar bola mataku malas, suami istri lagi yang dibahas.

"Jangan terlalu lama berendam. Cepatlah beranjak! Kita makan malam bersama."

Tak kuindahkan kata-katanya. Aku hanya diam dan menatapnya.

Tukk!

"Aww..." Aku meringis sakit sambil menatapnya sebal.

"Jika aku mengajakmu berbicara, maka dijawab. Kau dengar?" Elbarra hendak menjitak dahiku lagi, buru-buru kututup dahiku menggunakan tangan.

"Apa kau selalu menggunakan kekerasan?" sungutku kesal.

Ia tersenyum, senyum yang sangat menawan. Dalam jarak sedekat ini, dadaku berdebar tak karuan. Dia memang menyebalkan, tapi aku tak bisa bohong jika parasnya mampu mengunggah hati.

"Jika kau menurut, aku tidak akan kasar."

Aku berdecak tidak percaya. Kenapa aku harus menurut padanya?

"Selesaikan mandimu, oke? Aku tunggu diluar." Elbarra mengusap kepalaku sejenak, sebelum akhirnya meninggalkanku sendirian.

Aku bernafas lega. Secepat kilat aku menyelesaikan urusan mandiku. Aku tidak mau Elbarra datang kembali dan melihatku tanpa mengenakan apapun.

Ceklekk!

Kubuka pintu kamar mandi yang terhubung langsung dengan Walk-in Closet, jantungku seolah berhenti saat mendapati keberadaan Elbarra yang tengah duduk disofa dalam posisi membelakangiku.

"Apa yang kau lakukan disini?" Aku memekik kaget. Kukencangkan eratan di handuk yang kupakai.

Elbarra berbalik, lalu tersenyum tanpa rasa bersalah. "Aku ingin membantu istriku memilih pakaian."

"Tidak perlu. Aku bisa sendiri," ketusku, berharap agar ia segera pergi dari sini.

Apakah dia mendengarkanku? Tidak sama sekali. Pria itu menghampiriku, kemudian menarik tanganku agar ikut bersamanya.

"Bagaimana dengan dress berwarna hijau ini? Apakah kau suka?"

Aku menyentuh dress yang ditunjuk olehnya, sedetik kemudian aku menggeleng pelan. Elbarra lalu berpindah ke dress lainnya, mulai dari warna biru, kuning, hingga merah. Namun tak ada satupun yang menarik bagiku.

Hingga mataku tertuju pada sebuah piyama lucu berwarna pink. Aku tersenyum kemudian segera mengambilnya. Tanpa mengucapkan apapun, aku bergegas menuju kamar mandi untuk mengenakan piyama itu.

Tak butuh waktu lama, aku kembali menemui Elbarra. Kulihat ia sudah tidak berada di Walk-in closet lagi. Nampaknya dia sudah kembali ke kamar.

Saat aku membuka pintu, Elbarra yang awalnya sedang memainkan ponselnya langsung beralih menatapku. Ia memperhatikan penampilanku dari atas sampai bawah, lalu tersenyum tulus.

"Cantik."

Satu kata yang sukses membuatku jadi gugup dan malu.

"Ayo kita makan malam, Sayang!"

Kulirik sekejap uluran tangan Elbarra. Dengan ragu kusambut tangan itu. Ia tersenyum senang, lalu membawaku keluar dari kamar.

Untuk pertama kalinya aku keluar dari kamar tersebut. Ternyata rumah ini memiliki lift, sungguh luar biasa.

Ting!

Pintu lift terbuka. Aku dan Elbarra masuk kedalamnya. Genggaman tangannya semakin erat, hingga membuatku menoleh menatapnya.

'Apakah dia begitu bahagia hanya menggenggam tanganku?' batinku bergumam.

Terus kuperhatikan pria itu yang tersenyum tanpa henti. Ternyata dia tidak seburuk itu.

"Apa kau mulai menganggumiku, Sweety?"

Dia kembali ke setelan awalnya. Aku berdehem pelan, "Tidak. Kau masih sama, menyebalkan."

Dia tertawa, "Tapi aku tetap tampan 'kan walaupun menyebalkan?"

Aku berdecih, lalu membuang muka. Tapi tak bisa kupungkiri jika dia memang tampan, namun aku malu mengatakannya. Katakanlah aku gengsi.

Ting!

Lift kembali terbuka. Aku dapat melihat ruang tamu yang sangat luas. Sofanya saja begitu besar dan mewah, begitupun dengan perabotan yang lain.

Aku tersenyum saat mataku melihat Mia, begitupun sebaliknya. Dia berdiri, kemudian mempersilahkan kami untuk duduk. Dengan sigap Elbarra menarik satu kursi untukku duduk, setelah itu ia mengambil posisi untuk duduk di sampingku.

Mia membantuku untuk memotong steak, hingga menuangkan minum untukku.

"Terima kasih," ucapku yang dibalas anggukan olehnya.

Kumasukkan sepotong steak kemulutku, rasanya benar-benar lumer. Tapi, ini bukan daging sapi.

"Ini ayam?"

Mia mengangguk, "Ini ayam kalkun, Nona."

"Nona? Siapa yang kau panggil Nona?" hardik Elbarra.

Seketika Mia menunduk, "Maaf, Tuan. Nyonya maksudku."

"Aku tidak ingin mendengar lagi ada yang memanggil Sisi dengan sebutan Nona. Kalian paham?"

Kulihat pelayan-pelayan disana mengangguk patuh. Oh Elbarra, kau benar-benar kejam. Hanya karena 'panggilan', kau memarahi mereka.

Aku tidak perduli dengan ucapan pria kasar itu. Dipikiranku hanya dipenuhi oleh makanan. Kuambil semangkuk salad sayur, hmm yummy. Lalu kutarik sepiring Spaghetti Carbonara. Begitu seterusnya, kucoba satu-persatu makanan diatas meja.

Terakhir, sebagai makanan penutup, Mia menghidangkan Tiramisu Cake. Setiap sendok yang masuk kedalam mulutku, aku termenung. Kapan terakhir kali aku makan enak? Rasanya sudah lama sekali.

"Ada apa, Sayang? Apa yang membuatmu menjadi sedih? Apakah kuenya tidak enak?" Elbarra bertanya dengan nada khawatir.

"Hah?" Aku melongo bingung. Namun saat pria itu mengusap pipiku, baru kusadari bahwa air mataku meluncur bebas tanpa kuminta.

"Kuenya sangat enak, aku suka." Kupandang Mia seraya tersenyum, "Terima kasih,"

"Terima kasih kembali, Nyonya." Wanita paruh baya tersebut menunduk sopan.

Kuhabiskan sisa kue milikku, kemudian pamit kembali ke kamar. Di dalam kamar, aku duduk dikasur sambil bersandar. Selama dua hari ini, pasti Addie berusaha menghubungiku.

Pintu kamar terbuka, menampilkan Elbarra memasuki kamar ini. Ia menghampiriku sambil membawa segelas susu coklat.

"Minumlah selagi panas!"

Tak langsung kuterima begitu saja, aku memandang gelas itu dengan tatapan curiga.

"Ckk," Elbarra berdecak kesal. Ia lalu meminum susu itu sedikit. "Jika kuberi racun, maka aku yang akan mati terlebih dahulu."

"Bukan racun yang kutakutkan, tapi obat 'itu'."

"Itu apa?"

Aku jadi gelagapan sendiri, "Bukan apa-apa, lupakan."

Tiba-tiba ia menunjukkan senyum menyebalkan. Ah, tidak. Itu lebih seperti senyum orang cabul.

"Jika aku ingin, akan aku lakukan. Tidak perlu memakai obat perangsang."

Mataku melotot mendengarnya, "Jangan coba-coba. Jika kau melakukannya, aku akan bunuh diri."

"SISIIII!!"

Dia tidak menyangka jika aku mengucapkan kalimat itu, bukan? Aku pun sama. Kalimat itu spontan saja keluar dari mulutku.

Elbarra mengacak rambutnya frustasi. "Terserah kau saja. Aku mau keruang kerja. Jika butuh apa-apa, datang saja keruang kerjaku yang ada di sebelah."

Aku mengangguk tanpa minat. Pria itu akhirnya pergi sendiri tanpa kuminta. Kutatap sekilas susu cokelat ditanganku, sebelum benar-benar meminumnya. Nikmat mana lagi yang kau dustakan?

Waktu berlalu begitu cepat, jam sudah menunjukkan pukul 10.00 malam. Aku mengantuk lagi, padahal baru saja terbangun pukul 6 sore tadi. Sepertinya, aku akan menjadi putri tidur.

1
Ika Yeni
baguss kak ceritaa nyaa ,, semangat up yaa 😍
Yushi_Fitria: Terima kacih😍
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!