Di puncak Gunung Awan Putih, Liang Wu hanya mengenal dua hal: suara lonceng pagi dan senyum gurunya. Ia percaya bahwa setiap nyawa berharga, bahkan iblis sekalipun pantas diberi kesempatan kedua.
Namun, kenaifan itu dibayar mahal. Ketika gurunya memberikan tempat berlindung kepada seorang pembunuh demi 'welas asih', neraka datang mengetuk pintu. Dalam satu malam, Liang Wu kehilangan segalanya: saudara seperguruan dan gurunya yang dipenggal oleh mereka yang menyebut diri 'Aliansi Ortodoks'.
Terkubur hidup-hidup di bawah reruntuhan kuil yang terbakar, Liang Wu menyadari satu kebenaran pahit: Doa tidak menghentikan pedang, dan welas asih tanpa kekuatan adalah bunuh diri.
Ia bangkit dari abu, bukan sebagai iblis, melainkan sebagai mimpi buruk yang jauh lebih mengerikan. Ia tidak membunuh karena benci. Ia membunuh untuk 'menyelamatkan'.
"Amitabha. Biarkan aku mengantar kalian ke neraka, agar dunia ini menjadi sedikit lebih bersih."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kokop Gann, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Anjing Penjaga Neraka
Hutan di lereng Gunung Awan Putih adalah labirin akar tua dan jurang tersembunyi. Bagi orang asing, ini adalah jebakan maut. Bagi Liang Wu, ini adalah halaman belakang rumahnya.
Dia tidak membutuhkan mata untuk melihat di kegelapan. Dia mengikuti aroma.
Bau dupa kuil yang menempel di jubah curian Duan. Bau kertas tua dari kitab yang dicuri. Dan di atas segalanya, bau anyir darah—darah Mei yang menempel di tangan pembunuhnya.
Liang Wu melompati batang pohon tumbang, kakinya mendarat tanpa suara di atas lumpur basah. Qi emas di dalam tubuhnya bergolak liar, membakar meridiannya yang belum terbiasa dengan lonjakan tenaga sebesar ini. Rasa sakit itu justru membuatnya semakin fokus.
Di sana.
Sekitar 150 meter di depan, bayangan abu-abu sedang terseok-seok menuruni jalan setapak berbatu. Duan.
Pria itu bergerak lambat. Dia mendekap buntalan kain di dadanya—Kitab Sutra Hati Emas—seolah itu lebih berharga dari nyawanya sendiri. Napasnya terdengar berat dan berisik, terganggu oleh rusuk yang pernah retak sebulan lalu.
"DUAN!"
Teriakan Liang Wu bukan sekadar panggilan; itu adalah ledakan sonik yang disertai Qi. Burung-burung gagak yang bertengger di dahan pohon berhamburan terbang ke langit malam.
Duan tersentak. Dia menoleh ke belakang, wajahnya pucat pasi diterangi cahaya bulan yang menembus celah dedaunan. Ketakutan murni terpancar di matanya saat melihat sosok putih yang melesat ke arahnya seperti hantu pendendam.
"Sialan!" umpat Duan.
Dia tidak mencoba bertarung. Dia tahu kondisi tubuhnya. Dia berbalik dan melempar tiga jarum perak ke arah Liang Wu—senjata rahasia yang dia sembunyikan di lengan bajunya.
Sing! Sing! Sing!
Liang Wu tidak melambat. Dia tidak menangkis. Dia hanya memiringkan kepalanya sedikit. Satu jarum menggores pipinya, dua lainnya menancap di batang pohon di belakangnya. Rasa perih di pipi itu tidak berarti apa-apa.
"Kau pikir jarum jahit bisa menghentikanku?!"
Liang Wu melompat, menerjang dari atas batu besar. Tangan kanannya terangkat, bersinar dengan cahaya keemasan yang redup namun padat.
Tapak Vajra (Bentuk Awal).
Duan menjerit panik, berguling ke samping di tanah berlumpur.
BUMM!
Pukulan Liang Wu meleset dari tubuh Duan, menghantam tanah tempat pria itu berdiri sedetik yang lalu. Tanah meledak. Akar pohon setebal paha orang dewasa hancur menjadi serbuk kayu.
Duan merangkak mundur, matanya terbelalak melihat kawah kecil itu. "Kau... kau gila! Biksu macam apa yang memiliki niat membunuh sepekat ini?!"
"Biksu yang kau ciptakan," desis Liang Wu.
Liang Wu maju lagi. Duan melempar segenggam bubuk kapur ke mata Liang Wu.
Liang Wu menutup matanya, tapi tidak berhenti. Dia hapal letak setiap batu di sini. Dia mendengar gesekan jubah Duan di sebelah kiri. Dia menendang.
Bukk!
Tendangan itu telak mengenai lutut Duan.
Krak!
"ARGH!" Duan menjerit, tubuhnya terpelanting menabrak pohon pinus. Kakinya bengkok pada sudut yang salah. Dia mencoba bangkit, tapi rasa sakit membuatnya jatuh kembali. Buntalan kitab suci itu terlepas dari tangannya, menggelinding ke semak-semak.
Liang Wu membuka matanya yang merah dan berair karena kapur. Dia berjalan mendekat. Langkahnya pelan, setiap injakan kaki menekan mental musuhnya.
Duan, si serigala yang licik, kini hanyalah anjing yang terpojok. Dia menyeret tubuhnya mundur, tangannya menggapai-gapai tanah mencari senjata.
"Saudara Muda... tunggu..." Duan terengah-engah, darah mengalir dari hidungnya. "Dengar... ini salah paham... aku tidak bermaksud membunuhnya! Dia melawan! Dia mencakarku! Itu kecelakaan!"
Liang Wu berhenti dua langkah di depan Duan. Dia menatap pria itu dari ketinggian.
"Kecelakaan?" ulang Liang Wu, suaranya hampa. "Menusuk jantungnya dengan tusuk konde... itu kecelakaan?"
"Aku panik! Aku hanya ingin mengambil kitab itu! Jika dia diam saja, aku tidak akan menyentuhnya!" Duan mengangkat tangannya, memohon. "Liang Wu... kita sama-sama kultivator. Wanita itu... dia hanya pelayan bisu. Dia cacat. Kenapa kau membuang masa depanmu demi makhluk cacat seperti dia?"
Kata-kata itu adalah kesalahan terakhir Duan.
Wajah Liang Wu tidak berubah marah. Sebaliknya, menjadi sangat tenang. Ketenangan yang dimiliki permukaan danau sebelum badai menenggelamkan kapal.
"Dia memiliki nama," kata Liang Wu lembut. "Namanya Mei."
Liang Wu menerjang.
Dia tidak menggunakan Tapak Vajra. Dia tidak ingin kematian yang cepat.
Dia menindih tubuh Duan, lututnya menekan dada pria itu yang sudah retak. Tangan kirinya mencengkeram kerah jubah Duan, sementara tangan kanannya meraih tasbih kayu cendana yang tergantung di lehernya sendiri.
Dia melilitkan tasbih itu di kepalan tangannya, mengubah butiran kayu suci itu menjadi knuckle besi.
BUK!
Pukulan pertama mendarat di rahang Duan. Gigi patah. Darah menyembur.
"Ini untuk senyumnya yang kau curi."
BUK!
Pukulan kedua menghancurkan hidung Duan.
"Ini untuk suaranya yang tidak pernah kau dengar."
BUK! BUK! BUK!
Liang Wu memukul, memukul, dan memukul. Setiap pukulan diiringi dengan sebutir air mata yang jatuh dari matanya sendiri. Dia menangis, tapi tangannya tidak berhenti. Wajah Duan sudah tidak berbentuk, hanya gumpalan daging dan darah.
Duan sudah berhenti memohon. Dia hanya mengerang lemah, kesadarannya timbul tenggelam.
Liang Wu mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi, menyatukannya menjadi satu kepalan besar. Qi emas berkumpul di sana, siap untuk hantaman terakhir yang akan menghancurkan tengkorak Duan menjadi debu.
"Pergilah ke neraka," bisik Liang Wu.
WUSH!
Angin kencang tiba-tiba berhembus. Bukan angin alam. Angin Qi.
Sebuah tangan, keriput namun sekuat akar gunung, mencengkeram pergelangan tangan Liang Wu di udara.
Liang Wu membeku.
Energi emas di tangannya padam seketika, ditekan oleh kekuatan yang jauh lebih besar—kekuatan Inti Emas.
Liang Wu mendongak perlahan, matanya bertemu dengan mata Guru Besar Xuan.
Wajah tua itu basah oleh air mata, tapi ekspresinya keras seperti batu.
"Cukup, Wu'er."
"Lepaskan aku, Guru!" teriak Liang Wu, mencoba menarik tangannya. Tapi cengkeraman Guru Xuan mutlak. "Dia pembunuh! Dia iblis! Dia ada di sini, di bawah tanganku! Biarkan aku menyelesaikannya!"
"Lihat dirimu," suara Guru Xuan bergetar. "Lihat apa yang kau lakukan. Kau bukan lagi menghukum. Kau sedang menikmati penyiksaan ini."
"Aku tidak menikmatinya! Aku membencinya!"
"Itu sama saja! Kebencian adalah makanan bagi iblis batinmu!" Guru Xuan menghempaskan tangan Liang Wu ke samping. Kekuatan hempasan itu melempar Liang Wu berguling ke tanah.
Guru Xuan berdiri di antara Liang Wu dan Duan. Punggungnya menghadap Duan, melindungi si pembunuh.
"Lari," kata Guru Xuan tanpa menoleh ke belakang.
Duan, yang masih setengah sadar, mendengar satu kata itu seperti wahyu. Dengan sisa tenaga terakhirnya, dia merangkak, memungut kitab suci yang terjatuh, dan menyeret kakinya yang patah menjauh ke dalam kegelapan hutan.
"TIDAK!" Liang Wu bangkit, hendak mengejar.
"BERLUTUT!"
Guru Xuan membentak. Tekanan spiritual dari seorang ahli Inti Emas turun seperti gunung yang runtuh.
BRAK!
Liang Wu dipaksa jatuh berlutut, wajahnya terbenam ke dalam lumpur. Dia tidak bisa bergerak. Tulang-tulangnya berderit menahan beban aura gurunya. Dia hanya bisa melihat, dengan sudut matanya yang tertimbun tanah, bayangan Duan yang semakin mengecil dan menghilang ditelan malam.
Serigala itu lolos.
Dan orang yang membuka kandangnya adalah orang yang paling Liang Wu hormati di dunia ini.
"Kenapa..." isak Liang Wu ke tanah basah. "Kenapa Guru melakukan ini... Kenapa Guru lebih memilih menyelamatkan dia daripada hatiku?"
Guru Xuan perlahan menurunkan tekanan auranya. Dia berjalan mendekati Liang Wu, lalu berlutut memeluk muridnya yang kotor oleh darah dan lumpur.
"Karena Mei sudah mati, Nak," bisik Guru Xuan, suaranya pecah. "Aku tidak bisa kehilangan kau juga. Jika kau membunuhnya malam ini, kau akan menjadi pembunuh selamanya. Aku menyelamatkan jiwamu, Wu'er. Suatu hari nanti... kau akan mengerti."
Liang Wu tidak membalas pelukan itu. Tubuhnya kaku dalam dekapan gurunya.
Di dalam hatinya, sesuatu yang vital telah mati malam ini. Sesuatu yang lebih penting daripada nyawa.
Kepercayaannya.
Dia membiarkan dirinya diseret pulang kembali ke kuil, kembali ke penjara, kembali ke dunia yang tidak adil. Tapi matanya tetap terbuka, menatap kegelapan hutan tempat Duan menghilang.
Dia tidak akan lupa.
Alurnya stabil...
Variatif