Ashilla, seorang buruh pabrik, terpaksa menjadi tulang punggung keluarga demi menutupi utang judi ayahnya. Di balik penampilannya yang tangguh, ia menyimpan luka fisik dan batin akibat kekerasan di rumah. Setiap hari ia berjuang menembus shift pagi dan malam, panas maupun hujan, hanya untuk melihat gajinya habis tak bersisa.
Di tengah kelelahan, Ashilla menemukan sandaran pada Rifal, rekan kerjanya yang peduli. Namun, ia juga mencari pelarian di sebuah gudang kosong untuk merokok dan menyendiri—hal yang memicu konflik tajam dengan Reyhan, kakak laki-lakinya yang sudah mapan namun lepas tangan dari masalah keluarga.
Kisah ini mengikuti perjuangan Ashilla menentukan batas antara bakti dan harga diri. Ia harus memilih: terus menjadi korban demi kebahagiaan ibunya, atau berhenti menjadi "mesin uang" dan mencari kebebasannya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MissSHalalalal, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 29 : NYONYA HARDININGRAT
Mobil mewah itu melaju membelah jalanan dengan kecepatan tinggi, meninggalkan debu dan kenangan pahit di rumah orang tuaku. Aku menyandarkan kening di kaca jendela yang dingin, membiarkan air mata terus mengalir membasahi pipi.
Di tengah perjalanan, saat melewati area industri yang kumuh, dadaku serasa dihantam godam. Di sana, di depan gudang tua tempat kami biasa berkumpul untuk sekadar melepas lelah setelah kerja lembur, aku melihat mereka.
Andra sedang duduk di atas motor bututnya, tertawa bersama beberapa teman lainnya. Mereka tampak begitu bebas, begitu nyata. Itulah duniaku yang sebenarnya. Dunia di mana aku adalah Ashilla yang tangguh, bukan Ashilla sang boneka pengganti.
"Andra..." bisikku parau, jemariku menyentuh kaca, seolah bisa menjangkau mereka.
Aku ingin berteriak, ingin melompat keluar dari mobil ini dan berlari menuju mereka. Aku rindu tawa receh kami, rindu aroma kopi murah di gelas plastik, rindu menjadi manusia yang punya identitas. Namun, mobil ini melaju terlalu cepat, mengubah sosok mereka menjadi bayangan yang mengabur.
Erlangga yang sejak tadi diam, memperhatikanku dengan tatapan yang sulit dibaca. Ia tidak melepaskan pandangannya dariku, mengamati bagaimana aku menatap sekumpulan orang yang ia anggap "sampah" itu dengan kerinduan yang mendalam.
"Kenapa? Kau ingin kembali ke sana?" suara Erlangga memecah keheningan, dingin dan tajam.
Aku tidak menjawab, hanya isak tangis yang semakin menjadi-jadi.
Erlangga meraih daguku, memalingkan wajahku agar menatapnya. "Lihat aku, Ashilla. Tempatmu bukan lagi di gudang kotor itu. Mereka tidak akan bisa melindungimu, apalagi memberimu kehidupan."
Ia mengusap air mataku dengan jemarinya yang kasar. "Lupakan mereka. Lupakan masa lalumu yang menyedihkan itu. Mulai hari ini, duniamu hanya ada di dalam rumahku, dan orang yang kau lihat hanyalah aku."
Ia kemudian menekan tombol untuk menutup tirai jendela mobil, memutus akses pandanganku ke dunia luar sepenuhnya. Kegelapan menyelimuti kabin mobil, menyisakan aku dan sang monster dalam kesunyian yang mencekik.
"Jangan biarkan aku melihatmu merindukan kehidupan itu lagi," desisnya posesif sambil menarikku ke dalam pelukannya. "Atau aku akan meratakan gudang itu dan memastikan teman-temanmu tidak punya tempat lagi untuk bernapas."
**
Mobil tidak mengarah kembali ke apartemen. Sebaliknya, kendaraan mewah itu berbelok menuju distrik komersial paling eksklusif di kota ini. Erlangga membawaku ke sebuah pusat perbelanjaan mewah yang hanya bisa dimasuki oleh orang-orang dari kasta tertingginya.
"Turun," perintahnya singkat saat pintu mobil dibukakan oleh pengawal.
Aku melangkah keluar dengan mata sembab dan tubuh yang masih lemas sisa demam semalam. Erlangga menggandeng tanganku dengan sangat erat, seolah memamerkan tawanannya pada dunia. Kami melewati deretan butik high-end hingga berhenti di depan sebuah pintu kaca besar bertuliskan nama desainer ternama.
"Tuan Erlangga, kami sudah menunggu Anda," sapa seorang wanita anggun dengan busana serba hitam. Ia membungkuk hormat, lalu beralih menatapku dari ujung kepala hingga ujung kaki. Tatapannya seolah sedang menilai sebuah komoditas.
"Ubah dia," ucap Erlangga dingin tanpa melepaskan genggamannya. "Aku ingin dia terlihat seperti Nyonya Hardiningrat yang seharusnya."
Aku diseret masuk ke dalam ruang ganti yang luasnya hampir sebesar rumah orang tuaku. Di sana, sudah tersedia berbagai macam gaun yang membuat mataku silau. Namun, jantungku berdegup kencang saat melihat salah satu manekin di sudut ruangan.
Manekin itu mengenakan gaun sutra berwarna putih gading dengan potongan leher rendah yang sangat klasik. Aku membeku. Aku pernah melihat gaun itu sebelumnya—dalam sebuah foto lama yang sempat kulihat di laci meja kerja Erlangga. Itu adalah gaya kesukaan Sarah.
"Pakai itu," perintah Erlangga, menunjuk ke arah gaun putih gading tersebut.
"Erlangga, kumohon... jangan ini," bisikku lirih. Aku merasa identitasku semakin terkikis. Dia tidak hanya ingin memilikiku, dia ingin menghapus Ashilla dan melapisinya dengan bayangan Sarah hingga tak bersisa.
Erlangga melangkah mendekat, memojokkan aku di depan cermin besar. Ia menatap pantulan diriku di sana, lalu berbisik tepat di telingaku. "Jangan membantah, Ashilla. Kau sendiri yang memilih untuk ikut denganku demi keselamatan keluargamu. Sekarang, mainkan peranmu dengan baik."
Para pelayan butik mulai mengerumuniku, menghapus riasan lamaku yang berantakan, dan mulai merias wajahku kembali. Mereka menutup luka-luka kecil di tubuhku dengan concealer mahal hingga kulitku tampak mulus tanpa cela. Saat gaun itu melekat di tubuhku, aku tidak lagi mengenali wanita yang ada di cermin.
Erlangga berdiri di belakangku, tangannya mendarat di bahuku. Matanya berkilat puas, namun ada binar kerinduan yang menyakitkan di sana. Dia tidak sedang menatapku. Dia sedang merayakan kembalinya "Sarah" ke pelukannya.
***
BERSAMBUNG....
wah ga mati ini cuma pergi ma lelaki lain ,,