“Mahkota Samudra bukan sekadar lambang kejayaan, melainkan kutukan yang menyalakan api cinta, ambisi, dan pengkhianatan. Di tengah pesta kemakmuran Samudra Jaya, Aruna, panglima muda, terjebak dalam cinta mustahil pada Putri Dyah, sementara Raden Raksa—darah selir yang penuh dendam—mengincar takhta dengan segala cara. Dari kedalaman laut hingga balik dinding istana, rahasia kelam siap menenggelamkan segalanya.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon penulis_hariku, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7 Pertarungan, ambisi, dan racun
Siang itu matahari bersinar terik, namun semangat prajurit Samudra Jaya tidak surut. Di arena latihan, Aruna, panglima muda yang gagah, tengah melatih para pasukan elit. Derap langkah kaki yang serentak, gemerincing senjata yang beradu, dan teriakan komando membuat suasana penuh wibawa. Di pondok kayu di sisi arena, Putri Dyah bersama para dayang—termasuk Puspa—menyaksikan latihan itu. Tak jauh dari mereka, Raden Arya ikut berdiri, memperhatikan dengan wajah tenang namun penuh perhatian.
Tiba-tiba, suara langkah berat terdengar. Raden Raksa masuk ke arena, diikuti Sangkara dan Jaya Rudra. Sorot matanya tajam, dan senyum tipis tersungging di bibirnya. Semua prajurit yang sedang berlatih seketika menunduk hormat, suasana menjadi sedikit tegang.
“Wah, wah… ilmu panglima Aruna rupanya tidak main-main,” ucap Raksa dengan nada penuh sindiran, melangkah mendekat. “Tapi apakah engkau hanya pandai melatih prajurit, ataukah memang benar-benar mahir di medan pertarungan?” Aruna menunduk hormat, menahan diri. “Gusti Raksa, hamba tidak pantas melawan Paduka. Tugasku hanya melatih para prajurit, bukan menantang darah istana.”
Raksa tertawa pendek. “Heh, jangan bersembunyi di balik alasan. Apa kau takut kalah di hadapan putri Dyah? Atau takut ada mata yang akan melihat kelemahanmu?” Tatapan matanya melesat ke arah pondok, seakan ingin menyinggung sesuatu yang tersembunyi. Mendengar ejekan itu, wajah Aruna menegang. Para prajurit menahan napas, Putri Dyah sendiri mengerutkan alis. “Gusti Raksa,” ucapnya tegas, “tak seharusnya Paduka merendahkan orang yang telah mengabdi sepenuh hati pada kerajaan.”
Namun Raksa hanya terkekeh. “Kakakku yang mulia, tidak ada salahnya sedikit hiburan, bukan?” Aruna akhirnya menghela napas panjang, lalu mengangguk hormat. “Baiklah, jika itu yang Paduka kehendaki.” Arena hening seketika. Dua sosok gagah itu berdiri berhadapan, saling memberi salam hormat sebelum kaki mereka menapak tanah dengan sikap siap. Lalu, suara benturan tubuh, gesekan langkah, dan gemuruh sorak prajurit memenuhi udara. Aruna dengan kelincahannya menahan setiap serangan Raksa, sementara Raksa sendiri menunjukkan kekuatan pukulannya yang penuh tenaga. Pertarungan berlangsung lama, hingga keduanya terengah-engah. Akhirnya, dengan satu langkah mundur, keduanya berhenti. Seri. Tak ada yang benar-benar kalah, tak ada yang benar-benar menang.
Raksa tersenyum miring. “Lumayan juga, panglima. Tapi aku ingin melihat yang lain…” Tatapannya beralih pada Raden Arya yang sejak tadi berdiri di sisi pondok. “Bagaimana, kangmas Arya? Apakah engkau tidak ingin mencoba?” Arya terdiam. Ia tahu ilmu kanuragannya tak setara dengan Raksa. Namun tatapan Raksa, yang diselipi ejekan sekaligus tantangan, membuat darah mudanya mendidih.
“Adimas Raksa,” Arya berusaha menahan diri, “aku tidak layak melawanmu. Aku masih banyak belajar.”
Raksa mendengus. “Ah, alasan yang sama dengan Aruna tadi. Apa semua lelaki di istana ini hanya pandai bicara? Ataukah ada sesuatu yang kau takutkan?” Raksa melirik sekilas ke arah pondok, tepat pada sosok Puspa yang menunduk gelisah. Putri Dyah menangkap tatapan itu, jantungnya berdebar. Ia melirik cepat pada Puspa, menyadari apa yang sedang dipermainkan adiknya.
“Jangan terpengaruh, Arya,” bisik Putri Dyah pelan, namun cukup terdengar. Namun kata-kata Raksa semakin menusuk. “Apa kau ingin terlihat lemah di hadapan semua orang? Bahkan di hadapan seorang dayang pun?” Arya mengepalkan tangan. Wajahnya memerah, antara marah dan tertantang. Ia melangkah maju, menatap Raksa dengan mata berapi. “Baiklah, Raksa. Jika ini yang kau inginkan, aku akan menghadapimu.” Senyum miring kembali muncul di bibir Raksa. “Itu baru saudara laki-laki yang kutahu.” Dalam hatinya ia bergumam.
“Lihatlah, Puspa. Lihat siapa yang benar-benar kuat di istana ini,” Raden Raksa teringat kejadian tadi dimana Puspa dengan tulusnya memberikan senyum untuk kakak laki-lakinya itu, dan kini dia akan membuktikan siapa diantara mereka yang terkuat.
Pertarungan pun dimulai. Gerakan Arya terlihat lebih kaku dibandingkan Raksa, meski ia berusaha keras untuk mengimbangi. Raksa bergerak cepat, dengan kekuatan dan kepercayaan diri yang jauh lebih tinggi. Beberapa kali Arya terhuyung, meski terus bangkit. Para prajurit bersorak, sebagian prihatin melihat Raden Arya yang tampak terdesak. Putri Dyah menggenggam erat kainnya, sementara Puspa tanpa sadar maju selangkah, matanya penuh kekhawatiran pada Arya. Akhirnya, sebuah pukulan keras dari Raksa membuat Arya terjatuh. Meski berusaha bangkit, tubuhnya tak sanggup menahan. Raden Arya kalah.
Suasana hening. Hanya terdengar napas berat Arya yang terengah. Raksa berdiri tegak, menatapnya dengan senyum penuh kemenangan. Namun ketika matanya melirik ke arah pondok, ia mendapati sorot mata Puspa—bukan kagum padanya, melainkan khawatir pada Arya. Seketika wajahnya menegang. Rahangnya mengeras, tangan kanannya mengepal. Amarah membuncah, namun ia menahannya. Tanpa sepatah kata, Raksa membalikkan badan dan melangkah pergi, diikuti Sangkara dan Jaya Rudra. Setiap langkahnya berat, seakan menahan bara api yang menggerogoti hatinya. Di sisi lain, Puspa buru-buru menunduk, mencoba menyembunyikan kegelisahan di wajahnya. Namun hatinya masih berdegup kencang, bayangan Arya yang jatuh di arena terus terngiang. Sedangkan Putri Dyah hanya bisa menarik napas panjang, menyadari badai yang lebih besar sedang menanti Samudra Jaya.
Senja perlahan tenggelam di balik dinding keraton ketika Putri Dyah kembali ke kaputren. Langkahnya pelan, namun sorot matanya menyiratkan beban pikiran setelah menyaksikan ketegangan di arena latihan prajurit siang tadi. Sesampainya di pasren, ia meminta seluruh dayang undur diri, kecuali satu orang yang ia kehendaki tetap tinggal Puspa.
Pasren itu hening. Lampu minyak sudah dinyalakan, cahayanya berpendar lembut di antara ukiran kayu dan kain tipis yang menjuntai. Putri Dyah duduk di dipan berlapis selimut halus, sementara Puspa masih berdiri, tampak gelisah sejak mereka masuk.
“Puspa,” suara Putri Dyah tenang, namun ada nada tajam di dalamnya, “aku melihat kegelisahanmu sejak tadi. Kau tak bisa menyembunyikannya dariku. Katakan, apa yang sebenarnya terjadi?” Puspa menunduk, jemarinya meremas ujung kain kebayanya sendiri. Ia sempat ragu, lalu menjawab dengan suara lirih.
“Gusti... hamba takut kata-kata ini hanya menambah resah Gusti.” Pultri Dyah menghela napas panjang, lalu menatapnya dengan sungguh-sungguh. “Resah itu justru lebih berbahaya bila kita diamkan. Ucapkanlah yang sebenarnya, Puspa. Aku ingin mendengar dari bibirmu sendiri.” Puspa terdiam sejenak, lalu perlahan bersimpuh di hadapan junjungannya. Tatapan matanya berkaca, seakan menahan beban yang lama dipendam.
“Sejak beberapa waktu lalu... hamba merasa selalu diawasi. Ada tatapan yang mengikuti ke mana pun hamba melangkah. Dan siang tadi, di arena latihan... semua itu semakin jelas.”
Putri Dyah mengerutkan kening. “Tatapan siapa yang kau maksud?”
Suasana mendadak hening. Puspa menelan ludah, lalu berbisik nyaris tak terdengar.
“Raden Raksa, Gusti.”
Mata Putri Dyah terbelalak, meski ia segera berusaha menyembunyikan keterkejutannya. “Raksa? Kau yakin, Puspa?” Puspa mengangguk pelan. Air matanya menetes ke lantai.
“Bukan sekali dua kali, Gusti. Pandangannya... tajam, seperti hendak menguasai. Kadang, di hadapan orang banyak pun ia sengaja menatap hamba, seolah ingin menunjukkan sesuatu. Hamba tak bisa menolak, tapi hati ini diliputi cemas. Seolah-olah, hamba hanyalah sasaran keinginannya.” Putri Dyah terdiam sejenak, lalu menggenggam tangan Puspa erat-erat. Ada getar halus di jemari dayangnya itu.
“Puspa, engkau sahabatku, bukan sekadar dayang. Jika benar Raksa menyimpan niat yang tak sepatutnya, aku tidak akan membiarkanmu sendirian menghadapi ini. Jangan pernah merasa tak berdaya.” Puspa menunduk, isaknya makin dalam. “Tapi bagaimana, Gusti? Ia seorang bangsawan. Apa yang bisa hamba lakukan bila ia memaksa? Hamba takut... takut Gusti ikut terbebani karena hamba.” Putri Dyah menatapnya lekat, kali ini dengan ketegasan yang jarang muncul. “Jangan khawatirkan aku, Puspa. Aku akan menjaga dirimu. Bila perlu, aku akan bicara dengan orang yang bisa dipercaya. Kebenaran akan selalu menemukan jalannya, bahkan meski tertutup oleh kuasa sebesar apa pun.” Puspa tersedu, lalu menyandarkan kepalanya di pangkuan Putri Dyah. Malam itu, pasren yang biasanya tenang kini menyimpan rahasia besar. Putri Dyah hanya bisa menatap jauh ke arah lampu minyak yang berkelip, menyadari bahwa ancaman itu bukan lagi sekadar bisikan—melainkan bayangan nyata yang telah menjejak di lingkaran terdekat mereka.
****
Pagi harinya di balairung rapat rutin melaporkan keadaan istana, tumenggung Wiranegara melaporkan ada laporan dari anak buahnya di perbatasan selatan jika ada penyusup dar kerajaan lawan Parang Giri yang ingin mencoba menguasai perbatasan.
Pagi itu, cahaya matahari menembus kaca berukir balairung agung. Para bangsawan, pejabat istana, dan keluarga kerajaan Samudra Jaya telah berkumpul. Namun kursi utama yang biasa ditempati Raja Harjaya tampak kosong, menandakan sang raja masih menjalani tapa brata. Suasana rapat dipimpin penuh wibawa oleh Mahapatih Nirmala, yang duduk di kursi kehormatan, mengenakan jubah kebesaran dan wajah serius. Tumenggung Wiranegara maju ke tengah ruangan, menunduk hormat.
“Paduka Mahapatih, ada kabar penting dari perbatasan selatan. Anak buah hamba melaporkan gerakan mencurigakan. Tampaknya penyusup dari Parang Giri berusaha masuk ke wilayah kita. Mereka tidak banyak, namun membawa tanda-tanda pasukan pengintai.” Bisik-bisik terdengar di antara para bangsawan. Mahapatih Nirmala mengangguk pelan, sorot matanya tajam. “Penyusup, katamu? Apakah ada bukti jelas bahwa mereka berasal dari Parang Giri?”
“Benar adanya,” jawab Wiranegara mantap. “Sandi dan tanda mereka tidak dapat dipungkiri. Besar kemungkinan ini hanyalah permulaan.” Belum sempat Mahapatih menanggapi, Raden Raksa yang duduk di kursi depan bersuara lantang.
“Kalau benar begitu, mengapa kita harus menunggu sampai mereka datang dengan pasukan besar? Menurutku, ada baiknya kita membuka jalan perundingan. Bersekutu dengan Parang Giri jauh lebih bijak ketimbang terus bermusuhan. Bayangkan jika kekuatan besar mereka bersatu dengan Samudra Jaya.” Beberapa pejabat menoleh, ada yang tampak setuju, namun tak sedikit yang terkejut dengan gagasan itu. Raden Arya, yang sedari tadi diam, kini angkat bicara dengan nada lebih tenang namun penuh kewaspadaan.
“Raksa, gagasanmu terlalu berisiko. Parang Giri terkenal licik. Sekali kita membuka pintu, mereka bisa masuk dan mencengkeram kita dari dalam. Apakah kau lupa? Perbatasan selatan adalah benteng terakhir Samudra Jaya. Bila itu jatuh, seluruh jalan menuju istana terbuka lebar.” Raksa menoleh dengan senyum penuh tantangan.
“Kangmas Arya, kau selalu melihat sisi gelap. Jika kita cukup pandai, kekuatan Parang Giri justru bisa menjadi batu loncatan. Dunia politik tak selalu hitam putih.” Putri Dyah Anindya yang duduk di sisi permaisuri tampak resah. Ia menatap kedua kakaknya bergantian.
“Adimas Raksa, Adimasx Arya… pertahanan kita sudah goyah. Rakyat di desa-desa mulai resah. Jika kita terus berdebat, mereka yang paling dulu menanggung akibatnya. Aku takut Samudra Jaya tidak lagi sekuat dulu.” Suasana balairung kian berat. Kata-kata sang putri membuat semua orang terdiam. Mahapatih Nirmala sendiri mengusap janggutnya, dalam benak ia menimbang dua jalan yang sama-sama berbahaya. Patih Wicaksana, pejabat tua yang dikenal bijak, akhirnya bersuara.
“Paduka Mahapatih, hamba sependapat dengan Raden Arya dan Gusti Putri. Parang Giri bukan sekutu yang dapat dipercaya. Namun menolak mentah-mentah juga berbahaya. Sebaiknya kita kirim utusan untuk mengulur waktu, sambil memperkuat perbatasan. Dengan begitu, kita punya ruang untuk bersiap.” Raksa mendengus lirih, namun memilih diam. Arya hanya menunduk, jemarinya mengetuk kursi dengan gelisah. Putri Anindya meliriknya, melihat kegundahan mendalam yang sulit disembunyikan. Akhirnya Mahapatih Nirmala menegakkan tubuh, suaranya bulat dan penuh wibawa.
“Baiklah. Tumenggung Wiranegara, perintahkan pasukan di selatan untuk bersiaga penuh. Jangan beri mereka celah sekecil apa pun. Patih Wicaksana, siapkan utusan resmi yang akan membawa pesan ke Parang Giri. Kita akan dengar maksud mereka. Namun ingat—jangan sekali pun lengah. Aku tak ingin Samudra Jaya jatuh karena tipu daya.” Semua yang hadir menunduk memberi hormat. Namun di balik itu, wajah-wajah para pangeran masih menyimpan pertentangan batin. Raksa dengan ambisi yang kian menyala, Arya dengan kecemasan yang menggelayuti pikirannya, sementara Putri Dyah Anindya tak henti merasa gentar melihat bayang-bayang kehancuran yang mulai merayap. Rapat pun ditutup, namun di hati semua yang hadir, satu hal menjadi jelas badai besar tengah mengintai Samudra Jaya.
***
Sementara itu selir kedua Ken Suryawati mulai melancarkan rencananya memberikan racun pada permaisuri. Pagi ini nyi Rengganis—dayang kepercayaan Ken Suryawati pergi ke dapur keputren lalu melihat-lihat tiba-tiba ada seseorang yang menarik perhatiannya. Seorang dayang yang baru saja masuk ke istana, dia orang baru pasti tidak akan ada yang curiga. Nyi Rengganis menghampirinya.
“Ehem...siapa namamu?”
“Saya nyi?” tanyanya pelan.
“Iya,”
“Nama saya Sima nyi,”
“Ikut aku,” ucap nyi Rengganis lalu diikuti oleh sima menuju belakang dapur yang jarang dilewati oleh orang.
“Nyuwun sewu, ada apa nyi?” tanya Sima, dengan cepat nyi Rengganis tiba-tiba mengeluarkan sebuah bungkusan hitam dan meletakkannya ditangan Sima.
“A-apa ini nyi?” tanyanya sambil gemetar.
“Jangan banyak tanya, ini ramuan rempah khusus untuk gusti permaisuri ingat kau cukup memberikan sejumput saja diminuman permaisuri, ingat hanya sejumput saja dan satu lagi jangan buka mulut atau mengatakan apa pun pada orang lain. Kalau tidak anakmu yang akan aku jual ke juragan Harso,” ancam nyi. Rengganis, Sima melebarkan matanya bagaimana wanita tua didepannya ini tahu apa yang terjadi pada keluarga kecilnya.
“Nyi...bagaimana....”
“Cukup jangan banyak tanya, lakukan saja apa yang aku suruh dan ini,” nyi Rengganis mengeluarkan dua keping perak lalu memberikannya pada Sima
“Aku akan memberikan sisanya setiap kau melakukan tugasmu, kau paham!” Sima pun mengangguk
“Dan ingat ini rahasia diantara kita jangan sampai ada orang lain yang tahu, kalau tidak bukan hanya anakmu yang aku jual tapi juga kau dan suamimu yang aku penggal,”
Sima mengangguk cepat, dia tahu bungkusan itu bukan sekedar ramuan rempah tapi sesuatu yang membahayakan permaisuri tapi jika dia menolak maka nasib keluarganya akan dalam bahaya.
“Kalau begitu kembali ke tempatmu, jangan sampai ada yang curiga denganmu,” ucap nyi Rengganis sambil menepuk bahu Sima sekali.
Sima mengangguk pelan, lalu berbalik perlahan, langkahnya berat karena beban yang baru saja diberikan padanya. Setiap detik yang dilewati menuju dapur seperti dipenuhi rasa takut dan gelisah. Bagaimana ia bisa memberikan racun itu pada permaisuri, wanita yang selalu dipandang suaminya dengan hormat, tanpa rasa bersalah? Hatinya berontak, namun bayangan anaknya yang kecil di rumah selalu menghantui. Di dapur, Sima mencoba menenangkan diri. Ia membuka bungkusan itu sebentar, hanya sekadar memastikan ramuan itu masih utuh. Aromanya tajam dan aneh, berbeda dengan rempah-rempah biasa. Seketika rasa mual muncul di perutnya. “Ini… benar-benar racun,” bisiknya pelan, menahan air mata. Namun, tidak ada waktu untuk ragu. Ia harus segera melaksanakan perintah nyi Rengganis, jika tidak, keluarga kecilnya akan hancur. Dengan tangan gemetar, Sima menyiapkan minuman permaisuri, memasukkan sejumput ramuan itu sesuai perintah. Setiap gerakan terasa seperti pertaruhan antara hidup dan mati.
Tiba-tiba terdengar langkah kaki dari arah dapur utama. Sima menahan napas, menunduk cepat, dan menyembunyikan bungkusan itu di balik kembennya. Seorang dayang senior lewat, menatap Sima sejenak tapi kemudian berlalu, seolah tidak mencurigai apa pun.
Sima menghela napas panjang. Hatinya terasa berat, namun ia tahu, apa pun yang terjadi, semua ini demi keselamatan anaknya. Namun, benak Sima tetap tak bisa lepas dari satu pertanyaan yang menghantuinya berapa lama aku bisa menahan rasa takut ini sebelum semuanya terbongkar?
Di sisi lain, nyi Rengganis yang berdiri di sudut istana memantau dari jauh, senyum tipisnya menebarkan hawa dingin. Rencananya mulai berjalan, dan langkah pertama untuk menggoyahkan kedudukan permaisuri kini berada di tangan Sima—meski wanita muda itu sendiri belum tahu sepenuhnya betapa dalam jebakan yang sedang menantinya.
Beberapa saat kemudian, Sima memberanikan diri membawa minuman itu ke ruang permaisuri. Hatinya berdetak kencang, setiap langkah terasa berat seolah ia berjalan di atas kaca pecah. Di dalam, permaisuri sedang duduk di kursi berlapis kain sutra, membaca dokumen yang dibawa dari dapur.
“Ini, Gusti Permaisuri,” ucap Sima dengan suara pelan, sambil menundukkan kepala dan meletakkan gelas di meja.
Permaisuri menoleh dan tersenyum lembut. “Terima kasih, Sima. Kau selalu sigap membantu.” Sima mengangguk cepat, menahan napas, lalu mundur perlahan tanpa menatap mata permaisuri terlalu lama. Begitu ia keluar dari ruangan, rasa takut dan bersalah langsung menyerbu hatinya. Namun sebelum ia sempat menenangkan diri, langkah nyi Rengganis terdengar dari balik tirai.
“Bagus… kau sudah melakukannya,” suara nyi Rengganis terdengar dingin namun puas. “Sekarang tinggal menunggu efeknya. Ingat, jangan ada yang curiga. Sekali tercium, kau dan keluargamu akan menanggung akibatnya.” Sima menelan ludah, tubuhnya gemetar. Ia merasa seakan baru saja menapaki ambang neraka. Di sisi lain istana, permaisuri menyesap minumannya perlahan. Tidak ada yang tampak berbeda pada awalnya. Namun beberapa menit kemudian, wajahnya mulai pucat, dan tangannya gemetar sedikit saat memegang gelas.
“Apakah kau baik-baik saja, Gusti Permaisuri?” tanya salah satu dayang yang duduk di dekatnya.
Permaisuri mencoba tersenyum, tapi bibirnya terasa kering. “Ah… hanya sedikit pusing, mungkin karena kurang tidur,” jawabnya sambil menepuk-nepuk pipinya. Ia berusaha menenangkan diri, namun dalam hatinya muncul rasa cemas yang tak bisa dijelaskan. Di balik tirai, nyi Rengganis tersenyum tipis, matanya bersinar penuh kemenangan. Langkah pertamanya untuk menghancurkan kedudukan permaisuri kini berjalan mulus, dan ia tahu, badai yang lebih besar akan segera menyusul. Sima menunduk di sudut istana, menatap lantai sambil menahan air mata. Ia sadar, setelah ini, hidupnya tak akan pernah sama lagi. Setiap keputusan yang diambilnya kini telah menjeratnya dalam lingkaran maut yang tak terlihat.
Senja menutup hari dengan nuansa tegang di Samudra Jaya. Pertarungan di arena latihan telah memperlihatkan ambisi, kekuatan, dan kerentanan para pangeran, sementara ancaman dari dalam mulai merayap diam-diam. Di balik senyum dan hormat, intrik mematikan tengah dijalankan, menempatkan Sima dan permaisuri dalam lingkaran berbahaya. Putri Dyah dan para loyalisnya merasakan hawa gelap yang mulai menyelimuti istana. Badai yang lebih besar belum tampak jelas, namun langkah-langkah licik mulai menapaki jalannya. Setiap keputusan, setiap gerak hati, kini menentukan nasib bukan hanya keluarga kerajaan, tetapi juga seluruh Samudra Jaya. Malam ini menandai awal bahaya yang tersembunyi.