 
                            Masih saling sayang, masih saling cinta, namun terpaksa harus berpisah karena ego dan desakan dari orang tua. Ternyata, kata cinta yang sering terucap menjadi sia-sia, tak mampu menahan badai perceraian yang menghantam keras.
Apalagi kehadiran Elana, buah hati mereka seolah menjadi pengikat hati yang kuat, membuat mereka tidak bisa saling melepaskan.
Dan di tengah badai itu, Elvano harus menghadapi perjodohan yang diatur oleh orang tuanya, ancaman bagi cinta mereka yang masih membara.
Akankah cinta Lavanya dan Elvano bersatu kembali? Ataukah ego dan desakan orang tua akan memisahkan mereka dan merelakan perasaan cinta mereka terkubur selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jesslyn Kim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kesempatan dalam kesempitan
Hari-hari Vanya selalu di sibukkan dengan setumpuk pekerjaan, tak jarang ia harus lembur untuk mengejar target peluncuran produk baru yang rencananya akan di rilis dalam akhir bulan ini. Terkadang Vanya meminta ijin tidak lembur agar punya waktu lebih banyak dengan Elana, tapi tentu saja tidak bisa terlalu sering. Bahkan rumor di kantor menyebar begitu cepat, karena Vanya selalu mendapatkan perlakuan spesial dari Ryuji.
Dan semakin hari, Ryuji semakin menunjukkan perhatiannya pada Vanya, terkadang Vanya merasa sungkan, malu bahkan risih. Vanya tak ingin memikirkan pasangan untuk saat ini. Bahkan hatinya masih hancur lebur dan berantakan.
"Vanya, hari ini temani saya meeting di Grand hotel ya? Nanti begitu selesai meeting kamu boleh langsung pulang," Ryuji melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. Sekarang baru pukul 1 siang, itu artinya Vanya bisa pulang lebih cepat hari ini.
"Baik pak, saya siapkan dulu apa yang mau di bawa." meski ragu, Vanya hanya bisa menuruti apa yang atasannya minta. Hotel itu milik keluarga Vano, dan sepertinya ia tidak siap jika harus bertemu dengan Vano untuk saat ini.
"Ayolah Vanya, hotel itu luas lagipula tidak mungkin Vano keluyuran kan? Dia pasti ada di ruangannya." gumamnya sambil membereskan beberapa berkas sekalian merapihkan meja kerjanya, karena nanti ia akan langsung pulang, sesuai apa yang di katakan Ryuji.
"Kita pakai satu mobil saja, biar nanti sekalian saya antar kamu pulang." Ucap Ryuji saat berada di parkiran.
"Tapi pak, besok saya..." belum sempat Vanya menyelesaikan ucapannya.
"Besok saya yang jemput kamu. Lagi pula besok pagi-pagi kita harus ke pabrik untuk survey mesin yang akan launching di pameran. Saya dapat kabar mesin mobilnya sudah siap 90%," lanjut Ryuji menjelaskan lebih detail.
"Baik pak, maaf kalau merepotkan." lagi-lagi Vanya merasa sungkan karena menurutnya Ryuji sangat berlebihan.
"Tidak Vanya, justru dengan cara ini lebih efisien." Ryuji meyakinkan, ini memang murni karena pekerjaan. Tidak ada maksud lain.
"Vanya hanya mengangguk," memanglah orang jepang terkenal sangat menghargai waktu.
Mereka pun masuk kedalam mobil Ryuji, sepanjang perjalanan mereka berdua hanya diam, tidak ada yang di bahas bahkan soal pekerjaan.
"Oh iya, apa kamu mau ikut ke jepang? Saya ada beberapa kerjasama pengiriman sparepart dari beberapa produsen," Ryuji mencoba mencairkan suasana yang sedari tadi terasa canggung olehnya.
"Maaf saya belum bisa meninggalkan Elana, pak."
"Ajak saja Elana dan susternya, sekalian liburan," Ryuji memberikan usul.
Benar juga, Vanya dan Elana bahkan sudah lama tidak liburan. Bahkan sejak perceraian yang membuatnya hampir gila pun Vanya masih di sibukkan dengan beberapa urusan dan pekerjaan yang tak bisa di tinggalkan.
"Saya diskusikan dengan Elana dan sus Tari dulu ya pak," bagaimanapun ia tak bisa mengambil keputusan begitu saja. Semua harus di pikirkan matang-matang.
"Iya Vanya, saya berharap kamu bisa ikut," Ryuji tersenyum, sejujurnya ia berharap Vanya dan Elana bisa ikut.
Satu jam kemudian setelah melewati jalanan yang macet, akhirnya mereka sampai di Grand Hotel.
"Rencananya saya akan launching produk baru di sini, maaf saya tidak mengonfirmasi sama kamu sebelumnya. Tidak bisa di pungkiri hotel ini salah satu hotel terbaik di ibu kota ini, saya sudah mencoba survey ke beberapa hotel dan kurang cocok." Ucap Ryuji yang baru memberitahukan kebenaran mengenai rencananya.
"Tidak perlu meminta maaf pak, saya akan tetap bekerja profesional di manapun itu berada," Meski sedikit kecewa, tapi Vanya tidak bisa berbuat banyak. Apalagi Vanya tahu Ryuji orang yang sangat perfeksionis.
"Terimakasih atas pengertiannya, Vanya. Ayo silakan masuk," ucap Ryuji saat memasuki lobby.
Meski sedikit ragu, Vanya berjalan mengikuti Ryuji. Setelah sekian lama akhirnya ia kembali ke hotel ini. Bahkan selama menikah dengan Vano pun, Vanya hanya beberapa kali menginjakkan kaki di hotel ini. Tempat ini sudah banyak berubah, kemajuannya begitu pesat. Vanya ingat persis, waktu pertama ia mengenal Vano bahkan hotel ini masih nampak biasa saja.
"Vano, kerja kerasmu selama ini membuahkan hasil. Aku bangga padamu," Tanpa sadar Vanya kagum dan memuji Vano. "Ah! ngapain juga muji dia," Tiba-tiba Vanya tersadar.
-
-
Vano memeriksa beberapa agenda yang menurutnya penting dan diperlukan untuk turun tangan sendiri, selebihnya biarlah Andre yang menjadi tumbalnya. Meskipun sebenarnya kini merasa kurang nyaman karena Bella terkadang tiba-tiba saja datang ke kantor tanpa pemberitahuan terlebih dahulu.
"Tanaka auto tech. bukannya perusahaan tempat Vanya bekerja?" matanya otomatis terhenti ketika membaca nama perusahaan tersebut.
Dengan segera Vano menghubungi Andre agar segera menemuinya.
"Selamat siang pak," Andre selalu bersikap professional walaupun dalah hatinya ingin sekali memaki dan mengajar Vano yang seenaknya.
"Berikan informasi tentang perusahaan ini," Vano menunjuk agendanya. Ia tak ingin berbasa-basi lagi dengan Andre.
"Perusahaan mereka akan mengadakan pameran mengenai teknologi mesin mobil terbaru, yang akan di selenggarakan akhir bulan ini di ballroom vip, dengan jumlah undangan sekitar 1000 orang, selama tiga hari berturut-turut" Andre menjelaskan dengan detail.
"Boleh juga si Ryuji itu." gumam Vano dalam hati.
"Saya akan temui mereka langsung," Vano segera bersiap untuk pergi setelah melihat waktu temu yang hampir tiba.
"Sebaiknya jangan," cegah Andre spontan.
"Kenapa kamu larang saya?" Vano melayangkan tatapan tajam.
"Astaga! Dia ini memang selalu saja cari masalah." umpat Andre kesal, namun hanya memendamnya dalam hati.
"Bella, kamu tidak keberatan kan aku tinggal sebentar?" Kini pandangannya beralih pada Bella.
"Iya sayang," Bella meyakinkan.
Vano pun bergegas pergi, di susul oleh Andre.
"Vano, bahkan dia sudah memanggil mu sayang. Lalu kenapa kamu masih mau mengejar Vanya?" Andre cukup merasa geli saat mendengar Bella memanggil Vano sayang.
"Andreas tutup mulutmu! lebih baik kamu cari pacar saja, daripada terus mengurusi tentang asmaraku. Sudah berapa usiamu?" ucap Vano geram, namun tetap melanjutkan langkahnya.
"Ya tentu saja aku akan dapat pacar kalau saja kau restui aku dengan Kirana," Andre mengimbangi langkah Vano
"Ciihh jangan mimpi," Vano mendorong dada Andre.
"Sialan!" umpatnya kesal.
"Apa mereka sudah sampai?"
"Ya, baru saja masuk lobby. Kamu terlihat tidak sabaran seperti singa yang sedang menunggu mangsa." meski seringkali bertengkar, tapi Andre tidak kapok mengganggu Vano.
"Ya kamu benar, aku ingin melahap Vanya saat ini juga."
"Selamat datang di Grand Hotel," Sambut Vano ramah ketika Ryuji dan Vanya memasuki lobby.
Sementara Andre hanya geleng-geleng kepala dengan tingkat Vano kali ini.
Tanpa berlama-lama merekapun langsung membahas konsep yang akan di pakai saat acara nanti. Karena Ryuji tidak mau memakai jasa vendor lain, untuk itu Ryuji mempercayakan penuh semuanya pada pihak Grand hotel.
Kerjasama pun berjalan lancar, Vano cukup profesional dalam urusan pekerjaan. Meeting pun selesai.
"Pak saya, ijin ke toilet sebentar," ijin Vanya yang sedari tadi menahan keinginannya untuk ke toilet.
"Silahkan... Saya tunggu di parkiran." Ryuji memilih menunggu di parkiran.
"Terimakasih pak," Vanya segera pergi mencari letak toilet berada.
"Biar aku tunjukan jalannya," tiba-tiba Vano muncul di hadapan Vanya.
"Vano!" pekik Vanya kaget.
"Kamu sudah merindukan ku lagi hmm?" Kini Vano kembali menggoda Vanya.
"Jangan macam-macam." Vanya melihat keadaan sekitar yang terlihat sepi.
"Aku tidak akan macam-macam sayang, satu macam sudah cukup," Vano mengedipkan sebelah matanya genit.
"Cukup Vano! aku benar-benar kebelet," jujur Vanya sudah tidak tahan lagi.
"Aku juga," goda Vano.
"Astaga!" Vanya hampir frustasi.
Toilet sebelah sana, menunjuk sebuah ruangan yang tak jauh tempat mereka berdiri.
Vanya segera berlari menuju pintu yang di tunjukan Vano tadi.
Dan ternyata di balik pintu itu bukan toilet, melainkan sebuah kamar. Yang penting ada toilet di dalamnya begitu pikir Vanya. Sedari tadi dia menahan hajat kecil. Vanya merasa tidak enak hati jika meminta ijin ke toilet pada saat meeting berlangsung.
Setelah menuntaskan hajatnya, Vanya pun mencuci tangan di wastafel. Tiba-tiba sebuah tangan kekar melingkar di perutnya.
Vanya melihat ke arah cermin, dan tentu saja itu ulah Vano.
"Aku harus pulang sekarang," Vanya melepas pelukan Vano.
"Kamu masih berpakaian seperti ini?" Vano memutar tubuh Vanya, memperhatikan penampilannya dari atas sampai bawah.
"Bahkan sekertaris mu berpakaian lebih terbuka dari yang aku kenakan," elak Vanya.
"Kamu cemburu sama Lidya?" Vano menatap mata Vanya intens.
"Tidak! Untuk apa aku cemburu?" Vanya memalingkan wajahnya.
"Sebentar saja, kita bisa main dengan tempo yang cepat," Vano berbisik lembut sambil menyeringai licik.
"Vano cukup!" Vanya mencoba mendorong Vano agar menjauh.
"Kamu yakin bisa menolak?" Kini suara Vano terdengar berat.
Vano menghimpit tubuh Vanya ke dinding, hingga tak ada jarak di antara mereka.
Vanya mencoba berontak dan terus mendorong Vano, namun dengan cepat Vano meraih kedua tangan Vanya dan menguncinya di atas kepala Vanya.
Dengan gairah yang sudah bergejolak, Vano mencumbu leher Vanya, bahkan dirinya meninggalkan tanda-tanda merah di sana. Tangannya perlahan membuka satu persatu kancing kemeja yang Vanya kenakan.
Meski awalnya mencoba berontak tapi akhirnya tenaganya tak cukup kuat lagi untuk melawan, dan Vanya hanya bisa diam dan pasrah.
Dering ponsel menghentikan aktifitas Vano. Tak menyiakan kesempatan, Vanya pun segera pergi di saat Vano lengah. Vanya berlari keluar dari ruangan sambil membetulkan kancing kemejanya yang berantakan.
Setelah panggilan terputus Vano pun menyusul Vanya. Tangan Vano mengepal erat saat tahu Vanya masuk kedalam mobil yang sama dengan Ryuji.
***
Jangan lupa like dan komen yaa...
lari vanya.. lari.... larilah yg jauh dr vano n org2 di sekitaran vano pd gila semua mereka