Mereka memanggilnya Reaper.
Sebuah nama yang dibisikkan dengan rasa takut di zona perang, pasar gelap, dan lingkaran dunia bawah.
Bagi dunia, dia adalah sosok bayangan—tentara bayaran tanpa wajah yang tidak meninggalkan jejak selain mayat di belakangnya.
Bagi musuh-musuhnya, dia adalah vonis mati.
Bagi saudara seperjuangannya di The Veil, dia adalah keluarga.
Namun bagi dirinya sendiri... dia hanyalah pria yang dihantui masa lalu, mencari kenangan yang dicuri oleh suara tembakan dan asap.
Setelah misi sempurna jauh di Provinsi Timur, Reaper kembali ke markas rahasia di tengah hutan yang telah ia sebut rumah selama enam belas tahun. Namun kemenangan itu tak berlangsung lama. Ayah angkatnya, sang komandan, memberikan perintah yang tak terduga:
“Itu adalah misi terakhirmu.”
Kini, Reaper—nama aslinya James Brooks—harus melangkah keluar dari bayang-bayang perang menuju dunia yang tak pernah ia kenal. Dipandu hanya oleh surat yang telah lusuh, sepotong ingatan yang memudar, dan sua
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BRAXX, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
QTRRM
Malam turun perlahan menyelimuti rumah itu. Sophie berdiri di dekat kompor, bersenandung pelan sambil mengaduk sepanci sup. Aroma rempah memenuhi udara. Di ruang tamu, James duduk berhadapan dengan Julian, yang beristirahat di kursi rodanya dengan selimut menutupi lutut. Si kembar, Chloe dan Felix, tertawa dan bermain di dekat mereka.
James mencondongkan tubuh ke depan, siku bertumpu di lutut, ucapnya dengan suara yang rendah. “Jadi... sudah waktunya kau memberitahuku kenapa kau menjadi target.”
Julian menunduk. Jemarinya sedikit menegang di atas sandaran tangan kursi roda.
“Kau harus memberitahuku semuanya,” lanjut James. “Kalau aku ingin mengakhiri semua ini... aku perlu tahu. Kalau tidak, mereka tidak akan berhenti.”
Julian akhirnya menghela napas. Suaranya terdengar lembut, “Baiklah... aku akan memberitahumu.”
“Hampir setahun yang lalu, temanku, Trevor, jatuh sakit. Itu terjadi tiba-tiba. Aku membawanya ke rumah sakit yang kupercaya—swasta, bersih, mahal. Tapi semakin lama dia dirawat, kondisinya justru semakin parah. Tubuhnya seolah-olah mulai rusak dari dalam. Organ-organnya gagal berfungsi, dan tidak ada yang bisa menjelaskan kenapa.” Ucap Julian dengan bergetar.
“Suatu hari, ketika aku datang menjenguk, aku melihat seseorang keluar dari kamarnya. Wajahnya tertutup masker putih. Dia tertegun saat melihatku... lalu kabur. Aku berlari masuk. Hidung Trevor berdarah. Dia menatapku dengan pandangan kosong, dan berbisik sesuatu—sesuatu yang tidak kupahami.”
James diam, mendengarkan.
“Dia terus mengulanginya... seolah itu hal terakhir di pikirannya.”
‘QTRRM. The Aethel Club.’
Julian memalingkan wajahnya. Tangannya menyeka matanya yang mulai basah.
“Keesokan harinya aku pergi ke kantor polisi. Tapi sebelum sampai disana, aku mendapat pesan. Tanpa nomor. Hanya tulisan: ‘Kalau kau ingin keluargamu tetap hidup, berhentilah bertanya.’”
Dia menghela napas tajam. “Aku tidak kembali lagi. Aku tidak membicarakannya. Tapi... aku pikir mereka tahu aku masih menyimpan sesuatu. Mereka mulai mengawasi. Mungkin mereka berencana membungkamku seperti yang lain. Dan kemudian... BlackLotus datang.”
Keheningan kembali memenuhi ruangan, Julian memandang James. “Aku bersyukur kau kembali. Kau menyelamatkan kami... semuanya. Aku tidak ingin membayangkan apa yang akan terjadi kalau kau tidak datang.”
James menatap tangannya. Bekas luka. Garis-garis halus. Lalu kembali menatap Julian.
“Sekarang semuanya sudah beres,” ucap James tenang. “Semuanya akan baik-baik saja. Dan aku justru yang berterima kasih padamu... karena sudah melindunginya. Karena memberi mereka rumah yang sesungguhnya.”
Saat itu juga, Sophie muncul dari arah dapur, mengelap tangannya dengan kain. Ia berhenti sejenak, mendengar kalimat terakhir, senyum tipis terlukis di wajahnya.
“Kalian berdua gosip seperti nenek-nenek,” ujarnya menggoda. “Ayo, makan malam sudah siap.”
Dari lorong, Chloe dan Felix berlari kecil.
“Makan! Akhirnya!”
“Aku lapar!”
Mereka semua menuju ruang makan, meja penuh dengan hidangan, tanpa berlama-lama mereka langsung menyantap makanan mereka.
Setelah menyelesaikan makan malamnya, James masuk ke kamarnya dan duduk di tepi ranjang, setelah itu dia mengambil ponsel, untuk menelepon Paula.
“Paula.”
“Ya, Boss.”
“Bagaimana keadaanmu?” tanya James.
“Mengikuti jejak yang diberikan Nikos,” jawab Paula. “Aku tidak menyangka kau benar-benar membubarkan BlackLotus... itu saja sudah membuat setengah dunia bawah tanah panik.”
“Paula,” katanya tenang, “siapkan rencana aksi terhadap Aethel Club.”
Terdengar jeda.
“Kau menemukan lebih banyak kaitan?”
“Aku menemukan cukup banyak.” Nada suaranya mengeras. “Aku ingin nama-nama mereka. Profil. Berkas lengkap semua orang di dalamnya—apakah mereka anggota, investor, penegak, atau pengunjung. Aku ingin pola mereka. Laporan pergerakan malam mereka. Struktur organisasi mereka. Siapa yang memberi perintah. Siapa yang menjalankannya. Dan aku ingin cetak biru klub itu—setiap lantai, setiap terowongan.”
Dia berdiri sekarang, melangkah ke jendela, menatap ke luar lalu berkata. “Kali ini kita bukan hanya mengawasi. Kita akan menghapus mereka semua.”
Suara Paula di seberang garis terdengar tenang. “Dimengerti.”
“Ada yang lain?” tanyanya.
James menghela napas sebelum menjawab. “Tidak. Itu saja untuk sekarang. Hubungi aku segera begitu kau menemukan sumber pendanaan mereka. Dari situlah kita mulai memotong.”
“Ya, Boss. Aku akan segera mulai.”
Panggilan terputus.
Keesokan paginya James sudah bangun lebih awal. Dari dapur terdengar bunyi peralatan makan, Sophie sedang menyiapkan makanan sambil bersenandung kecil. Julian duduk di kursinya dengan secangkir minuman hangat sambil membaca koran dan sesekali menatap keluar jendela.
Chloe dan Felix, yang sudah berpakaian untuk berangkat sekolah, sedang berdebat kecil memperebutkan sepotong roti panggang terakhir.
“Kau yang makan lebih banyak kemarin,” kata Chloe, mencoba merebutnya.
“Itu namanya pintar,” jawab Felix sambil tersenyum, memegang roti itu jauh dari jangkauannya.
James masuk, handuk tersampir di bahunya, “Baiklah, hentikan tembakan, prajurit,” katanya ringan. “Jangan sampai kita memulai Perang Dunia Ketiga hanya karena sarapan.”
Sophie tersenyum. “Mereka sudah bangun sejak subuh, penuh energi. Aku rasa mereka separuh jam weker.”
Julian tidak mengalihkan pandangan dari surat kabarnya. “Atau separuh badai.”
Anak-anak ikut tertawa setelah mendengar itu.
Setelah sarapan, James membantu menyiapkan tas mereka dan berlutut untuk mengikat tali sepatu Felix, sambil memberinya kedipan mata.
“Kalian siap menaklukkan dunia?”
“Siap, Tuan!” jawab mereka serempak.
Chloe dan Felix terkikik sambil memanggul tas mereka. Jalan menuju sekolah hanya beberapa menit dari rumah, James berjalan di tengah-tengah mereka, membiarkan anak-anak itu berayun di lengannya seperti sulur pohon.
Mereka menunjuk hal-hal di sepanjang jalan—barisan semut, burung yang terbang melintas, dan seekor kucing aneh yang selalu menatap dari balkon.
“Kucing itu mata-mata,” bisik Felix.
“Agen rahasia,” Chloe mengangguk serius.
“Nama sandi: Whiskers,” tambah James dengan wajah datar.
Saat mereka tiba di gerbang sekolah, jalanan mulai dipenuhi anak-anak dan orang tua lainnya. Chloe memeluknya sebentar, sementara Felix memberi hormat seperti biasa.
“Jadilah luar biasa,” kata James. “Dan jangan memulai kekacauan hari ini.”
“Kami akan berusaha,” jawab mereka sambil tersenyum.
Ketika si kembar berlari masuk ke halaman sekolah, James berdiri sejenak, menatap mereka. Ada sesuatu yang menenangkan dalam pemandangan itu—sesuatu yang mengingatkannya mengapa dia melakukan semua ini. Dia menarik napas, lalu berbalik dan berjalan menuju halte bus terdekat.
Bus akhirnya tiba dengan desisan pelan. James naik, menemukan kursi kosong di dekat jendela, lalu menyandarkan kepala.
Tak lama kemudian dia sampai di gerbang. Ternyata Alicia sudah menunggunya, berdiri di luar pintu masuk sambil menatap ponselnya. Ketika melihat James datang, dia menyapa dengan tersenyum ringan. “Selamat pagi, James.”
“Pagi,” jawab James sambil membalas senyum. “Sudah lama menunggu?”
Alicia mengangkat bahu dengan gaya pura-pura polos. “Aku tidak bisa masuk sendirian tanpa pengawal pribadiku, kan?”
James tersenyum kecil. “Kau benar-benar menikmati peran ini, ya?”
“Yah, kalau tidak begitu aku harus mengakui kalau aku gugup berjalan sendirian. Pilih saja versi yang kau suka,” katanya dengan nada main-main.
“Baiklah,” jawab James sambil berjalan lebih dulu membuka gerbang. “Silahkan duluan, Nona Remington.”
“Terima kasih, Agen Reaper,” bisiknya sambil mengedipkan mata.
Saat mereka berjalan beriringan, tiba-tiba, James berhenti melangkah namun Alicia terus berjalan, belum menyadarinya. Beberapa langkah kemudian, dia berbalik dengan dahi berkerut.
James tidak menatapnya.
Di seberang halaman, dekat bangku batu di bawah pepohonan, berdiri sekelompok mahasiswa. Berpakaian rapi, berisik, dan penuh kesombongan. Di tengah mereka, seorang pemuda bersandar santai pada pagar—berpakaian mahal, rambut disisir rapi ke belakang..
Alicia mengangkat alis saat James kembali berjalan di sisinya.
“Apakah semuanya baik-baik saja?” tanyanya.
James mengangkat bahu dengan santai. “Hanya anak laki-laki yang merasa dirinya raja di bukit.”
kapan lanjutan sistem kekayaan itu author tiap hari saya liht tapi blm ada lanjutan
lanjutkan