NovelToon NovelToon
Hujan Di Istana Akira

Hujan Di Istana Akira

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Fantasi / Romansa Fantasi / Harem / Romansa / Dokter
Popularitas:359
Nilai: 5
Nama Author: latifa_ yadie

Seorang dokter muda bernama Mika dari dunia modern terseret ke masa lalu — ke sebuah kerajaan Jepang misterius abad ke-14 yang tak tercatat sejarah. Ia diselamatkan oleh Pangeran Akira, pewaris takhta yang berhati beku akibat masa lalu kelam.
Kehadiran Mika membawa perubahan besar: membuka luka lama, membangkitkan cinta yang terlarang, dan membongkar rahasia tentang asal-usul kerajaan dan perjalanan waktu itu sendiri.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon latifa_ yadie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bayang diBalik Kuil Tua

Sudah seminggu sejak langit terakhir kali berhenti menangis.

Tapi setiap malam, aku bisa mendengar suara gemuruh halus di bawah tanah, seperti detak jantung dunia yang tak tenang.

Waktu mungkin memang tidak memilih satu dunia — tapi menyatukan dua dunia ternyata bukan anugerah.

Itu bencana yang sedang menunggu untuk meledak.

Pagi itu, Akira dan aku turun dari gunung menuju desa kecil di kaki lembah.

Udara di sana aneh — seolah masa lalu dan masa depan berdampingan tanpa batas.

Anak-anak berlari sambil membawa layang-layang dari plastik transparan, dan di pinggir jalan ada gerobak tua dengan roda logam seperti sepeda motor modern.

Seorang kakek menyalakan dupa dengan korek api gas.

Dan di atas bukit, berdiri sebuah kuil batu berlumut yang tampak kuno… tapi di puncaknya ada antena besi.

Aku berdiri terpaku. “Kuil itu…”

Akira menatap ke arah yang sama. “Kuil Tua Hoshin.”

“Kenapa ada antena?”

“Bukan antena,” katanya pelan. “Itu menara sinyal. Bangunan itu… berubah setelah badai terakhir.”

Kami berjalan ke sana melewati jalan berbatu.

Langkah kami bergema di bawah langit yang tenang tapi gelap di ujung horizon.

Semakin dekat kami ke kuil, udara terasa semakin dingin, seolah waktu menahan napas.

Dindingnya penuh retakan, tapi di setiap celahnya, cahaya biru samar berdenyut pelan — energi waktu.

Aku menyentuhnya. “Dia hidup…”

“Waktu tidak pernah mati,” kata suara lembut di belakang kami.

Kami menoleh.

Seorang perempuan tua berdiri di tangga kuil, mengenakan kimono lusuh warna abu-abu.

Wajahnya keriput, tapi matanya bening seperti air.

“Aku sudah menunggumu, Mika dari dunia langit,” katanya.

Aku menatapnya waspada. “Kau siapa?”

“Aku penjaga kuil waktu. Namaku Elder Sumi. Aku adalah murid terakhir dari Elder Kiyoshi.”

Akira melangkah maju. “Kalau kau penjaga kuil, berarti kau tahu kenapa dunia ini berubah.”

Sumi mengangguk pelan. “Waktu telah kehilangan pusatnya. Dua jalur—masa lalu dan masa depan—telah menyatu, tapi tanpa penjaga yang seimbang, dunia akan retak dari dalam.”

Aku menatapnya. “Apa maksudnya penjaga yang seimbang?”

“Dulu, ada dua. Penjaga waktu dari dunia langit… dan pewaris darah kerajaan. Dua kekuatan yang menjaga arah waktu tetap berjalan.”

Aku menelan ludah. “Kau maksud aku dan Akira?”

Dia mengangguk. “Ya. Tapi ketika kalian bersatu… keseimbangan itu pecah.”

Aku menatap Akira cepat. “Jadi… cinta kita menyebabkan dunia ini goyah?”

Elder Sumi tersenyum tipis. “Cinta tidak salah, tapi setiap cinta besar selalu menuntut harga.”

Akira menggenggam tanganku. “Kalau begitu, apa yang harus kami lakukan?”

Sumi menatap ke dalam kuil. “Ikuti aku. Waktu akan menjawabnya sendiri.”

Kami masuk ke dalam kuil.

Udara di dalam lebih dingin, bau tanah dan logam bercampur jadi satu.

Di tengah ruangan ada lingkaran batu besar — altar waktu.

Simbol spiral di lantainya kini bersinar terang, tapi bentuknya terdistorsi, seperti retak.

Dari retakan itu, keluar suara dengungan rendah, seperti mesin besar yang hampir hidup.

“Waktu sedang menyesuaikan diri,” kata Sumi. “Tapi setiap detik yang berlalu tanpa keseimbangan akan membuka retakan lebih besar.”

Aku menatapnya. “Bagaimana cara memperbaikinya?”

Sumi berjalan ke rak tua di sisi ruangan, mengeluarkan gulungan debu.

Ia membukanya perlahan.

Di atasnya ada dua simbol — spiral biru dan segitiga merah yang saling berputar.

“Keseimbangan hanya bisa dicapai kalau Penjaga Waktu dan Pewaris Darah berpisah…

tapi keduanya harus membuat janji yang sama di waktu yang berbeda.”

Aku membaca ulang kalimat itu. “Berpisah… tapi berjanji di waktu berbeda?”

Sumi mengangguk. “Satu dari kalian harus tinggal di masa kini, dan yang lain harus kembali ke masa asalnya. Tapi janji yang kalian buat akan menjadi jangkar bagi dunia baru ini.”

Akira menatapku. “Tidak. Aku tidak akan biarkan kau pergi lagi.”

Sumi menatapnya tenang. “Kalau kau menahan waktu, maka waktu akan menahanmu. Dan lambat laun, dunia ini akan berhenti berputar.”

Aku menyentuh tangan Akira. “Mungkin… memang ini yang harus kita lakukan.”

Dia menggeleng keras. “Kau baru saja kembali. Aku tidak akan kehilanganmu lagi.”

Aku memaksakan senyum. “Mungkin kali ini bukan kehilangan. Mungkin ini… cara untuk menjaga dunia yang kita cintai tetap hidup.”

Hening.

Hanya suara gemuruh dari dalam altar yang terdengar.

Sumi menatap kami lembut. “Kuil ini punya pintu waktu terakhir. Tapi hanya bisa terbuka oleh keduanya — bersama. Setelah itu, waktu akan menutup dirinya selamanya.”

Kami berdua berdiri di depan altar.

Simbol spiral mulai berputar perlahan, memancarkan cahaya biru dan merah yang saling melingkar.

Aku menatap Akira, mataku berair. “Kau tahu aku akan pergi, kan?”

Dia menggenggam tanganku lebih kuat. “Kalau kau pergi, aku akan memanggilmu lewat hujan, seperti janjiku dulu.”

Aku tertawa kecil di antara air mata. “Dan aku akan menjawabnya di waktu lain.”

Sumi memejamkan mata, mengangkat tongkat kayunya. “Mulailah, sebelum waktu memakan dirinya sendiri.”

Kami menutup mata.

Aku merasakan sesuatu mengalir di tubuhku — hangat, kuat, tapi juga menyakitkan.

Cahaya dari altar membungkus kami berdua, dan di tengah cahaya itu, aku melihat dua dunia berputar: satu dunia modern penuh cahaya, dan satu dunia kuno yang perlahan memudar.

Aku mendengar suara Ryou samar-samar berbisik:

“Setiap cinta yang menembus waktu… harus mengorbankan satu musim untuk hidup.”

Aku menarik napas panjang. “Akira…”

Dia membuka mata, menatapku dalam. “Ya?”

“Kalau dunia ini berakhir, ingatlah satu hal.”

“Apa?”

“Cinta kita bukan kutukan. Cinta kita adalah alasan waktu masih berputar.”

Dia tersenyum, lalu mencium keningku.

Dan pada saat itu, cahaya biru dan merah meledak jadi putih sempurna.

Ketika aku membuka mata, kuil itu hening.

Langit di luar cerah. Tidak ada hujan, tidak ada retakan waktu.

Tapi di sampingku — tidak ada Akira.

Aku berdiri perlahan, tubuhku lemah.

Di lantai altar, hanya ada satu simbol yang tersisa: spiral biru, separuhnya pudar.

Aku menatapnya lama, lalu tersenyum pahit.

“Dia menepati janjinya lebih dulu.”

Aku keluar dari kuil.

Angin berhembus lembut, membawa aroma bunga plum.

Di kejauhan, aku melihat desa yang sama, tapi berbeda — rumah-rumahnya sekarang memiliki lampu listrik dan jalan beraspal, tapi orang-orang masih mengenakan kimono dan bicara sopan.

Dunia baru telah lahir.

Perpaduan antara masa lalu dan masa depan.

Dan di langit, aku melihat pelangi yang menggantung indah di atas menara logam di kuil.

Suara lembut terdengar di telingaku — suara yang hanya bisa kudengar di hati.

“Mika, waktu tidak memisahkan kita.

Ia hanya memberimu tempat untuk menungguku sampai hujan berikutnya.”

Aku menutup mata, membiarkan air mata jatuh.

“Baiklah, Akira,” bisikku. “Aku akan menunggu… di dunia yang kau ciptakan untukku.”

Hari-hari berlalu.

Aku tinggal di desa itu, membantu orang-orang menyesuaikan diri dengan dunia baru.

Kadang aku melihat anak kecil bermain di jalan dengan mainan dari plastik — sesuatu yang tak pernah ada sebelumnya.

Kadang aku mendengar para petani berbicara tentang “energi listrik” dan “alat komunikasi tanpa kabel”.

Dan setiap kali hujan turun, semua itu terasa seperti lagu lama yang menenangkan.

Suatu sore, aku naik ke bukit tempat kuil berdiri.

Batu-batunya kini diselimuti lumut baru, tapi simbol spiral di tengah altar masih berpendar lembut.

Aku meletakkan tangan di atasnya, menutup mata.

Dan di dalam kegelapan, aku mendengar suara Akira lagi —

“Aku akan datang di waktu yang kau panggilku, Mika.

Dunia ini mungkin berubah, tapi cinta kita tidak pernah pergi.

Ia hanya menunggu, di balik hujan.”

Aku tersenyum.

Lalu angin bertiup lembut, membawa serpihan kelopak plum berjatuhan di sekelilingku.

Langit berubah jingga, dan di balik cahaya sore itu, aku merasa seolah bayangan seseorang berdiri di ujung kuil — siluet yang sangat kukenal, memandangku dari seberang waktu.

Aku tahu siapa dia.

Dan aku tahu, di setiap hujan yang turun, waktu akan selalu membawa satu hal kembali padaku —

jejak dari cinta yang pernah menyatukan dua dunia.

1
Luke fon Fabre
Waw, nggak bisa berhenti baca!
Aixaming
Nggak kebayang akhirnya. 🤔
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!