sebuah cerita sederhana seorang melati wanita sebatang kara yang memilih menjadi janda ketimbang mempertahankan rumah tangga.
jangan lupa like dan komentar
salam autor
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon santi damayanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
JM 7
Melati ambruk, tubuhnya jatuh ke lantai tanpa daya hingga tak sadarkan diri.
Arga yang baru masuk langsung melangkah hendak mendekatinya.
“Biarkan saja, Arga. Dia hanya pura-pura,” larang Ibu Mega dengan nada ketus sambil melipat tangan di dada.
Arga tertegun, gusar, bingung harus menuruti ibunya atau mengikuti naluri hatinya. Tatapannya jatuh pada Melati: bibirnya pecah-pecah, wajahnya pucat pasi, napasnya tersengal. Perlahan muncul rasa khawatir yang kuat.
Dengan menghela napas berat, Arga mengabaikan larangan ibunya. Ia akhirnya berjongkok mendekati Melati, lalu menyentuh keningnya. Saat tangannya menempel, ia terkejut.
“Panas banget, Bu… kayaknya dia demam,” ucap Arga panik, matanya membesar.
“Sudah, bawa aja ke kamar. Beli obat warung, nanti juga sembuh sendiri,” sahut Ibu Mega tak acuh sambil melirik sekilas.
“Enggak, Bu… enggak bisa dengan obat warung. Ini harus dibawa ke rumah sakit!” suara Arga meninggi, nadanya penuh desakan.
“Ya elah… nyusahin banget sih. Dari pagi cuma tidur aja, giliran kamu pulang malah pingsan,” sahut Kartika sambil mendengus kesal, kedua tangannya terlipat seakan tak peduli.
Arga semakin panik ketika melihat tubuh Melati menggigil hebat, lalu mulai kejang. Matanya membesar, keringat dingin muncul di pelipisnya. Tanpa pikir panjang, ia langsung membopong tubuh Melati ke dalam pelukannya.
“Melati… bertahan ya…” gumam Arga, langkahnya cepat keluar rumah.
Dengan wajah pucat dan rahang mengeras, ia memasukkan Melati ke dalam mobil. Mesin langsung dinyalakan. Sementara itu, dari teras rumah, Ibu Mega dan Kartika hanya berdiri dengan wajah kesal, tidak sedikitpun menunjukkan rasa iba.
Dari awal Arga membopong hingga membawa Melati masuk ke mobil, tak seorang pun bergerak untuk peduli. Hanya Arga seorang yang benar-benar panik dan berusaha menyelamatkan istrinya.
Arga melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Tangannya yang satu memegang setir, tangan satunya sesekali menggenggam erat tangan Melati yang terkulai lemah di kursi penumpang. Napas Melati pendek-pendek, tubuhnya menggigil meski keringat dingin membasahi dahinya.
“Bertahan ya, Melati… sebentar lagi sampai,” bisik Arga, suaranya bergetar.
Mobil berhenti di depan IGD rumah sakit. Arga buru-buru turun, lalu membuka pintu penumpang. Dengan wajah panik ia membopong tubuh Melati yang nyaris tak bergerak, dan berlari masuk ke dalam ruang gawat darurat.
“Dokter! Tolong! Istri saya pingsan, badannya panas sekali!” teriak Arga.
Perawat segera datang dengan ranjang dorong. Mereka cepat mengambil alih Melati dari pelukan Arga. Tubuh Melati diletakkan dengan hati-hati di atas ranjang, lalu segera didorong ke dalam. Arga mengikuti dari belakang, langkahnya tergesa.
Di ruang IGD, dua perawat segera memasang infus di tangan Melati, sementara seorang dokter muda memeriksa dengan stetoskop. Suasana terasa tegang, suara alat medis dan langkah kaki bergema di ruangan putih itu.
“Demamnya tinggi sekali, 40 derajat. Kita curiga tipes,” ujar dokter dengan nada serius sambil memandang layar termometer. “Segera pasang cairan. Perutnya kosong sekali, ini berbahaya kalau tidak segera ditangani.”
Deg! Jantung Arga seakan diremas. Ia menatap Melati dengan mata berkaca-kaca. Melati tidak pura-pura pingsan. Tubuhnya benar-benar sakit, dan yang lebih menyakitkan bagi Arga adalah mendengar kalau perut istrinya kosong. Padahal, Melati lah yang setiap hari memasak untuk semua orang di rumah.
“Kenapa istrinya nggak makan, Pak? Apa dia sedang puasa?” tanya dokter sambil menatap Arga penuh tanda tanya.
“Saya… dari pagi kerja, Dok…” jawab Arga gugup, suaranya tercekat.
“Ya, setidaknya Bapak tanya kondisi istri Bapak pas jam makan siang. Kalau ibu rumah tangga seperti itu biasanya suka lupa makan karena banyaknya pekerjaan rumah,” ucap dokter sambil menghela napas kecil, menulis sesuatu di catatan medis.
Seketika Arga merasa bersalah pada Melati. Dadanya terasa sesak. Ia tidak ingat lagi kapan terakhir kali berbalas pesan dengan istrinya, apalagi sekadar menanyakan kabar atau memastikan Melati sudah makan.
Sementara itu, dua perawat mulai sibuk memasang cairan infus di tangan Melati. Jarum menusuk pelan kulit pucatnya, selang bening segera dialirkan cairan. Seorang perawat lain memasang selang oksigen ke hidungnya. Arga menatap setiap gerakan dengan wajah tegang, tangannya mengepal di sisi ranjang.
“Untung saja Anda datang tepat waktu. Kalau tidak… mungkin akan lebih parah,” terang dokter sambil menutup map hasil pemeriksaan awal.
Arga terdiam, matanya hanya tertuju pada wajah Melati yang pucat dan lemah. Ia bingung harus berkata apa.
“Lain kali lebih perhatian sama istri, Pak. Bapak memang pencari nafkah, tapi ingat… ada istri yang selalu memastikan semuanya lancar. Namun kadang kala justru tidak dihargai oleh pasangannya,” kata dokter lagi. Ucapannya terdengar tenang, tetapi bagai tamparan keras yang menyadarkan Arga.
Arga menunduk, jari-jarinya meremas selimut Melati. Hatinya diguncang penyesalan.
“Kita tunggu saja hasil tes darah. Jangan tinggalkan istri Bapak. Kalau ada apa-apa, langsung hubungi perawat,” ucap dokter akhirnya, sebelum melangkah pergi meninggalkan Arga yang masih berdiri terpaku di sisi ranjang, menatap wajah istrinya dengan perasaan campur aduk.
Beberapa jam kemudian, Arga masih setia duduk di kursi samping ranjang IGD. Tatapannya terus melihat wajah melati yang pucat, infusan dan oksigen.
Pintu ruangan terbuka, seorang dokter bersama perawat masuk membawa map hasil laboratorium. Arga langsung berdiri, wajahnya penuh cemas.
“Bagaimana, Dok? Hasilnya?” tanyanya terburu-buru.
Dokter membuka map, membaca cepat, lalu menatap Arga.
“Hasil tes darah menunjukkan positif tipes. Kondisinya diperparah karena perutnya kosong terlalu lama. Jadi, tubuhnya lemah sekali.”
Suara dokter tenang, tapi bagi Arga terasa seperti pukulan telak di dada.
Arga menarik napas dalam, kepalanya menunduk. “Tipes… karena dia belum makan…” gumamnya lirih, nyaris tidak terdengar.
“Kami akan rawat inap. Dia harus mendapatkan cairan infus, obat antibiotik, serta pengawasan ketat. Kalau telat sedikit saja tadi, bisa berbahaya,” jelas dokter sambil menuliskan instruksi medis.
“Lakukan yang terbaik, Dok,” ucap Arga cepat, matanya penuh harap.
“Anda dan istri anda memakai asuransi dengan kelas khusus, jadi kami akan membawa istri anda ke ruang perawatan VIP,” ucap salah seorang perawat sambil membawa data medis.
Arga sempat terdiam, keningnya berkerut. Selama dua tahun menikah, Arga dan Melati tidak pernah sekalipun ke rumah sakit, dan baru kali ini ia tahu bahwa mereka memiliki asuransi dengan kelas khusus. Ada rasa heran sekaligus syukur, setidaknya Melati bisa dirawat dengan fasilitas yang lebih layak.
Melati kemudian dipindahkan. Ranjang yang cukup besar dengan sprei putih bersih sudah menanti. Infus tergantung di sisi ranjang, tetesannya menetes pelan. Selang oksigen masih terpasang di hidung Melati yang terlelap dengan wajah pucat pasi.
“Tenang saja, kami akan melakukan yang terbaik. Tapi kalau besok Bapak harus kerja, sebaiknya hubungi saudara untuk bergantian menjaga istri Bapak. Pasien seperti ini butuh perhatian penuh,” ucap dokter, suaranya datar namun tegas.
“Baik, Dok,” jawab Arga pelan, hampir seperti bisikan.
Setelah dokter dan perawat meninggalkan ruangan, suasana menjadi sunyi. Hanya terdengar suara mesin infus yang berdenyut ritmis dan desiran lembut oksigen.
Ponsel Arga di saku celananya terus berdering, getarannya mengusik kesunyian. Ia sempat mengabaikan, tapi ponsel tidak berhenti. Saat dilihatnya layar, ternyata ada puluhan panggilan tak terjawab—dari ibunya, dari Kartika, bahkan dari Indra.
Arga menarik napas dalam, akhirnya menekan tombol hijau. Suara ibunya langsung terdengar keras dari seberang.
“Arga! Tinggalkan Melati di sana, kan ada perawat. Kamu besok harus kerja. Jangan sampai bolos, ingat kamu sedang dipromosikan jadi manajer utama!” suara Ibu Mega terdengar keras, sama sekali tidak menanyakan keadaan menantunya.
Arga menutup mata sejenak, menatap wajah pucat Melati yang terbaring lemah. “Tapi Bu, Melati tidak bisa ditinggalkan… Aku akan menginap di sini. Aku nggak tenang kalau dia sendirian,” jawab Arga pelan tapi tegas.
“Arga!” suara Ibu Mega meninggi, terdengar hentakan keras di seberang. “Ini perintah Ibu! Kalau kamu nurut sama Ibu, ikuti perintah Ibu! Kalau kamu masih mau nginap di situ… suatu saat kalau Ibu meninggal, kamu jangan menyentuh jasad Ibu!”
Ucapan itu menghantam dada Arga seperti petir. Ia terdiam kaku, ponsel bergetar di tangannya. Dadanya sesak, pikirannya kacau. Di satu sisi, hatinya ingin tetap mendampingi Melati yang lemah tak berdaya. Di sisi lain, ancaman ibunya mengguncang seluruh keyakinannya.
Arga duduk kembali di kursi samping ranjang, wajahnya tertunduk, ponsel masih menempel di telinga. Ia benar-benar berada dalam dilema besar—antara menjadi anak yang patuh atau suami yang setia menjaga istrinya.