Aruna pernah memiliki segalanya — cinta, sahabat, dan kehidupan yang ia kira sempurna.
Namun segalanya hancur pada malam ketika Andrian, pria yang ia cintai sepenuh hati, menusukkan pisau ke dadanya… sementara Naya, sahabat yang ia percaya, hanya tersenyum puas di balik pengkhianatan itu.
Kematian seharusnya menjadi akhir. Tapi ketika Aruna membuka mata, ia justru terbangun tiga tahun sebelum kematiannya — di saat semuanya belum terjadi. Dunia yang sama, orang-orang yang sama, tapi kali ini hatinya berbeda.
Ia bersumpah: tidak akan jatuh cinta lagi. Tidak akan mempercayai siapa pun lagi.
Namun takdir mempermainkannya ketika ia diminta menjadi istri seorang pria yang sedang koma — Leo Adikara, pewaris keluarga ternama yang hidupnya menggantung di antara hidup dan mati
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Novia na1806, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 26 -- darren mulai stres
Pagi itu, rumah besar keluarga Adikara tampak tenang di permukaan. Dari luar, tak ada yang menyangka bahwa beberapa jam lalu tempat megah itu hampir berubah menjadi medan perang.
Burung-burung berkicau di taman belakang, angin lembut meniup tirai putih yang setengah terbuka, dan aroma kopi segar perlahan memenuhi koridor.
Namun ketenangan itu hanyalah ilusi.
Di ruang kontrol bawah sayap timur, Darren berdiri di depan layar holografik yang menampilkan denah keamanan rumah. Beberapa titik merah berkedip pelan—tanda area yang rusak parah dan belum bisa sepenuhnya dipulihkan.
Ia menatap angka waktu di pojok layar: 06:15.
“Masih belum stabil sepenuhnya,” gumamnya rendah.
“Biarkan saja,” suara dingin terdengar dari belakang.
Darren menoleh cepat. Leo sudah berdiri di ambang pintu, mengenakan kemeja hitam bersih tanpa topengnya kali ini. Rambutnya sedikit berantakan, namun aura tenang dan tajam itu tetap sama—menandakan seseorang yang tidak butuh tidur untuk bertahan.
“Fokuskan pemulihan di perimeter luar,” lanjut Leo. “Dan pastikan orang-orang kita menjaga jalur akses keluarga Surya. Aku tak mau ada celah sekecil apa pun.”
“Baik, Tuan.” Darren menatapnya sejenak, lalu memberanikan diri bertanya, “Tentang simbol yang kami temukan tadi… apakah Anda yakin itu berasal dari keluarga Andersson?”
Leo tidak langsung menjawab. Ia melangkah mendekat, menatap layar dengan tatapan dalam yang membuat udara seolah menegang.
“Aku tidak yakin,” katanya pelan. “Tapi ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar serangan balasan.”
Darren menatapnya bingung. “Maksud Tuan?”
Leo menatapnya balik. “Mereka tidak datang untuk membunuhku, Darren. Mereka datang… untuk memastikan sesuatu.”
Hening sejenak.
“Untuk memastikan apa, Tuan?”
Leo hanya berkata dingin, “Bahwa aku masih hidup.”
...----------------...
Udara pagi itu terasa lembut, membawa aroma samar sabun lavender dan matahari yang baru naik. Tirai putih bergoyang pelan diembus angin dari jendela yang terbuka sedikit. Cahaya kuning hangat merayap di dinding krem muda, menyapu lantai marmer mengilap, lalu berhenti tepat di wajah seorang wanita muda yang masih meringkuk di balik selimut tebal.
“Ugh…” gumam Aruna sambil menggeliat pelan.
Kelopak matanya terbuka setengah, lalu menutup lagi. Terlalu silau. Ia memiringkan tubuh, menarik bantal besar untuk menutupi wajah.
“Kenapa rasanya kayak tidur di spa bintang lima ya…” gumamnya setengah mengantuk. “Kasur empuk, wangi lavender, bantalnya juga pelukable banget…”
Ia mencium bantal itu. Harum sabun dan sedikit aroma maskulin yang anehnya menenangkan. Aruna berhenti sejenak.
“…eh, tunggu. Wangi cowok?”
Ia membuka mata cepat-cepat dan duduk tegak. Rambutnya berantakan, poninya mencuat ke segala arah seperti rumput liar seusai badai. Matanya membulat saat pandangannya menyapu seluruh ruangan.
Tempat tidur besar berkanopi putih. Lemari kaca tinggi berisi koleksi buku. Lantai marmer berkilau. Vas bunga segar di meja rias. Dan di pojok ruangan… ada jas hitam terlipat rapi di kursi.
Aruna mengerjap. Sekali. Dua kali.
“INI BUKAN KAMAR AKU!!” serunya spontan.
Ia panik, menatap sekeliling seperti ayam kehilangan induk. “Astaga! Aku… aku nyasar??! Tapi gimana bisa?! Semalam aku kan tidur di kamar—eh, tunggu, kamar siapa ini?!”
Ia bangkit dari ranjang, kaki kecilnya tersandung selimut, dan— plak! —jatuh tersungkur ke lantai marmer.
“Aw-aw-aw! Duh! Kenapa lantainya keras banget sih?!”
Sambil mengelus lututnya, Aruna mendengus kecil. “Ya ampun, Aruna… baru juga bangun, udah jatuh. Citra istri bangsawan hancur total!”
Ia berdiri lagi, menepuk-nepuk piyama putih sutranya yang agak kusut. Piyama itu sedikit kebesaran, ujung lengannya menutupi separuh tangannya. Ia menatap dirinya di cermin panjang di dinding.
Rambutnya berantakan, wajahnya masih ada bekas bantal di pipi, dan matanya setengah mengantuk.
“Cantik sih… tapi kayak panda insomnia,” komentarnya jujur pada bayangannya sendiri. “Aduh, jangan bilang aku tidur sambil ngiler juga ya…”
Ia buru-buru menatap bantal di ranjang—dan menarik napas lega.
“Oke, aman. Nggak ada noda misterius. Syukurlah.”
Setelah memastikan reputasinya masih utuh (setidaknya di mata bantal), Aruna mulai berkeliling kamar. “Hmmm… tapi serius deh, kamar ini mewah banget. Tirainya aja kayak kain pengantin. Jangan-jangan ini kamar tamu VIP?”
Ia membuka lemari kecil di dekat tempat tidur, menemukan beberapa buku tebal bertuliskan Strategi Bisnis Internasional — Leo Adikara.
Aruna memegang kepala. “Aku nggak ingat apa-apa… semalam tuh aku… apa ya? Aku pulang kerja… terus…”
Ia berusaha keras mengingat. Tapi kepalanya justru terasa berdenyut pelan.
“Ugh… otakku kayak bubur. Mungkin aku terlalu capek. Ya ya, mungkin aku cuma jalan setengah sadar terus salah masuk kamar. Iya, pasti itu. Bukan hal memalukan. Sama sekali nggak.”
Ia menatap cermin lagi, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. “Aruna Surya, kamu cuma—uhm—salah kamar. Itu manusiawi. Nggak ada yang lihat. Nggak ada bukti. Berarti nggak pernah terjadi, titik.”
Dengan tekad itu, ia berjalan keluar kamar sambil bergumam cepat, “Oke, aku harus balik sebelum ada yang lihat. Biar nggak dikira aku—”
“Selamat pagi, Nyonya.”
Suara itu membuat Aruna langsung berhenti di tempat.
Darren berdiri di ujung lorong dengan pakaian rapi berwarna hitam. Seperti biasa, ekspresinya datar, tenang, dan penuh wibawa. Di tangan kanannya, ia membawa tablet elektronik.
“Oh! D-Darren!” Aruna tertawa gugup sambil memegangi rambutnya yang masih acak-acakan. “Kau sudah bangun pagi ya? Wah, kerja keras sekali! Hebat!”
Darren menatapnya sekilas. “Tentu saja, Nyonya. Saya sudah bangun sejak pukul empat.”
Aruna mengangguk cepat. “H-hebat! Aku juga… eeh… nyaris bangun jam segitu. Tapi—eh, aku cuma bangun sedikit terus ketiduran lagi hehe… ha-ha…”
Suasana hening beberapa detik.
Darren mengangguk sopan. “Saya paham.”
“Paham? Paham apa?!” Aruna langsung panik. “Jangan bilang kau paham kalau aku baru bangun jam segini!”
“Saya tidak mengatakan apa-apa, Nyonya.”
“Ugh, ekspresi datarmu itu bikin aku curiga!”
Darren menunduk sedikit, menyembunyikan senyum kecil. “Apakah Anda merasa lebih baik setelah… istirahat panjang tadi malam?”
“Eh? Istirahat panjang?” Aruna mengerutkan dahi. “Maksudmu apa? Aku cuma tidur seperti biasa. Memangnya kenapa?”
Darren terdiam sejenak, lalu menatapnya hati-hati. “Anda… tidak ingat apa pun tentang semalam?”
Aruna memegangi kepalanya. “Hmm… aku cuma ingat pulang kerja, terus mandi, terus mungkin aku makan sedikit roti, lalu tidur. Kenapa? Ada yang aneh?”
“…tidak, Nyonya.” Jawaban Darren terdengar terlalu cepat.
“Darren?” Aruna menyipit curiga. “Kau kelihatan mencurigakan.”
“Saya?” Ia tersenyum tipis. “Saya hanya menjalankan tugas, Nyonya.”
“Hm. Baiklah.” Aruna mengangkat alis, tapi akhirnya menyerah. “Terserah deh. Yang penting sekarang aku mau ke kamar suamiku dulu.”
Darren langsung menegakkan tubuh. “Tuan Leo… saat ini belum bisa dijenguk.”
Aruna berhenti. “Eh? Maksudmu gimana?”
“Keadaan Tuan sedikit… tidak stabil. Dokter pribadi masih memantau kondisinya. Anda sebaiknya beristirahat dulu.”
Raut wajah Aruna berubah seketika. Dari ceria menjadi khawatir. “Tidak stabil? Apa maksudmu tidak stabil? Dia kenapa? Jantungnya? Napasnya? Atau—”
“Tidak perlu khawatir, Nyonya,” potong Darren cepat, nada suaranya tetap tenang. “Tuan akan baik-baik saja. Ini hanya reaksi tubuh akibat perubahan tekanan darah.”
“Tekanan darah?!” Aruna langsung menatap Darren seolah sedang menghadapi ujian matematika. “Kau yakin bukan karena aku yang tidur gak sama dia semalam?! Maksudku—eh—aku cuma salah kamar aja, nggak ngapa-ngapain! Serius!”
Darren memandangnya lama tanpa ekspresi. “Saya… tidak tahu apa yang Anda bicarakan, Nyonya.”
“Bagus! Jangan tahu!” Aruna menepuk dadanya lega. “Anggap saja aku ngomong halusinasi barusan.”
Darren menahan napas panjang—mungkin antara bingung dan lelah menghadapi wanita satu ini. “Saya akan menyampaikan kepada dokter bahwa Anda ingin menjenguk Tuan Leo setelah kondisi stabil.”
“Baik. Tolong kabari aku segera begitu dia sadar, ya,” ucap Aruna dengan nada serius, lalu bergumam lirih, “Aku belum siap jadi janda di usia segini…”
Darren hampir tersedak udara. “Nyonya—Tuan masih hidup.”
“Ya aku tahu! Tapi tetap aja, denger berita ‘kondisi tidak stabil’ tuh kayak alarm kematian, tahu nggak!”
“…” Darren terdiam, lalu menunduk sopan. “Saya akan memastikan Tuan tetap… hidup, Nyonya.”
“Bagus! Pastikan juga aku dikabarin tiap jam, ya. Kalau bisa tiap lima menit.”
“Baik, Nyonya,” jawab Darren, kali ini nada suaranya terdengar menyerah.
Aruna menarik napas lega. “Oke, aku mau bersih-bersih dulu. Setelah itu aku mau buatkan bubur buat Leo. Walau dia belum sadar, tapi siapa tahu dia bisa mencium aromanya dan bangun. Kan di drama-drama gitu tuh, pasien koma tiba-tiba sadar karena wangi makanan!”
“Tidak yakin hal itu… berlaku dalam dunia nyata, Nyonya.”
“Darren, kau terlalu logis. Hidup itu butuh keajaiban.”
“…baik, Nyonya.”
Aruna berjalan pergi dengan langkah ringan, masih berceloteh sendiri. “Hmm, aku harus cari celemek bunga itu. Kalau masak tanpa celemek, nanti bajuku kena minyak. Leo pasti nggak suka lihat aku kotor—eh, meski dia koma juga sih, tapi harga diri istri CEO tetap harus dijaga!”
Darren hanya menatap punggungnya menjauh sambil menarik napas panjang. “Energi seperti itu… mungkin satu-satunya hal yang lebih kuat dari ledakan semalam,” gumamnya pelan.
Setelah berganti pakaian—dengan baju kodok denim biru muda dan kaus putih, rambut dicepol tinggi dengan pita kecil—Aruna tampak seperti versi mini dari istri CEO yang kebanyakan menonton drama. Ia berdiri di dapur besar keluarga Adikara dengan wajah semangat.
“Oke! Bubur cinta penyembuh koma, misi dimulai!”
Ia menatap panci besar di depannya, memegang spatula seperti senjata sakral. “Beras, air, kaldu ayam, sedikit jahe, dan… cinta tulus istri yang belum siap jadi janda. Perfect.”
Tapi lima menit kemudian…
“Eh? Kenapa airnya malah kering?! Astaga! Aku baru nengok sebentar, kok gosong?!”
Darren yang kebetulan lewat di lorong hanya menatap asap tipis keluar dari dapur dan memijit pelipisnya. “Saya baru saja membersihkan sisa ledakan semalam… sepertinya saya harus menambah daftar pekerjaan hari ini: menyelamatkan dapur.”
Sepuluh menit kemudian, Aruna duduk di kursi dengan wajah muram, menatap bubur gosongnya.
“Yah… sepertinya Leo bakal tetap tidur lama kalau cium bau ini.”
Darren meletakkan secangkir teh di depannya. “Mungkin Tuan akan lebih tenang kalau Anda juga beristirahat sebentar.”
Aruna menghela napas panjang. “Aku cuma… khawatir aja. Aku tahu dia koma, tapi rasanya aneh. Aku ngerasa kayak… dia tahu aku ada di sini.”
Darren menatapnya sejenak, lalu berkata pelan, “Mungkin perasaan Anda tidak salah, Nyonya.”
Aruna menoleh cepat. “Kau ngomong apa?”
“Tidak ada, Nyonya,” sahut Darren cepat.
Aruna mendengus kecil. “Dasar misterius. Kalian semua di rumah ini suka banget ngomong setengah kalimat.”
Darren hanya menunduk sopan lagi. “Apakah Anda ingin saya mengantarkan teh ini ke kamar Tuan?”
“Tidak, biar aku saja. Aku ingin lihat dia… meski cuma sebentar.”
Darren menatapnya lama, lalu mengangguk pelan. “Baiklah. Tapi jangan terlalu lama, Nyonya.”
Aruna tersenyum kecil. “Tenang aja. Aku cuma mau memastikan dia masih ganteng.”
Darren mengangkat alis tapi tidak berkomentar lagi.
Saat Aruna melangkah menuju kamar Leo, matahari pagi mulai menyinari seluruh rumah Adikara. Cahaya hangat itu menembus kaca besar, mengenai wajah Aruna yang bersinar lembut—ceroboh, cerewet, tapi dengan hati yang benar-benar tulus.
Dan tanpa ia sadari, di dalam kamar besar itu, seseorang yang katanya “koma” membuka matanya… mendengar setiap langkah dan gumamannya.
Senyum samar muncul di bibirnya.
..kok bisa menggerakkan orang2...