NovelToon NovelToon
Rahasia Di Balik Cinta Terlarang

Rahasia Di Balik Cinta Terlarang

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / Duniahiburan / Rumahhantu / Mafia / Cintapertama / Berondong
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: Ulina Simanullang

Di Universitas Harapan Bangsa, cinta tumbuh di antara dua insan dari dunia yang berbeda. Stefanus, pemuda cerdas yang hidup serba kekurangan, menempuh pendidikan berkat beasiswa.Di sisi lain, ada Stefany, gadis cantik dan pintar, putri tunggal Pak Arman, seorang pengusaha kaya yang ternyata menyimpan rahasia kelam Ia adalah bos mafia kejam.Pertemuan sederhana di kampus membawa Stefanus dan Stefany pada perasaan yang tak bisa mereka tolak. Namun, cinta mereka terhalang restu keluarga. Pak Arman menentang hubungan itu, bukan hanya karena perbedaan status sosial,hingga suatu malam, takdir membawa malapetaka. Stefanus tanpa sengaja menyaksikan sendiri aksi brutal Pak Arman dan komplotannya membunuh seorang pengkhianat mafia. Rahasia berdarah itu membuat Stefanus menjadi target pembunuhan.Akhirnya Stefanus meninggal ditangan pak Arman.stelah meninggalnya Stefanus,Stefany bertemu dengan Ceo yang mirip dengan Stefanus namanya Julian.Apakah Julian itu adalah Stefanus?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ulina Simanullang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 20: Keberangkatan Stefany

Malam itu rumah keluarga Arman terasa begitu sunyi. Jam dinding di ruang tengah berdetak pelan, seolah ikut menghitung mundur waktu yang tersisa sebelum Stefany benar-benar meninggalkan rumah ini.

Stefany duduk di tepi tempat tidurnya. Cahaya lampu kamar hanya menerangi sebagian ruangan, menimbulkan bayangan-bayangan di dinding. Di depan kakinya, koper besar sudah tertutup rapi, tapi hatinya sama sekali belum siap.

Ketukan pelan terdengar di pintu.

“Stefany… boleh Ayah masuk?” suara Pak Arman terdengar tenang, tapi ada sesuatu di sana entah rasa sedih atau ragu yang membuat Stefany langsung tahu, ayahnya juga tidak setegar yang terlihat.

“Masuk, Yah,” jawab Stefany pelan.

Pintu terbuka. Pak Arman melangkah masuk dengan langkah tenang tapi berat. Ia menatap putrinya yang duduk memeluk bantal, matanya sembab karena sudah terlalu lama memendam rasa.

“Sudah siap?” tanya Pak Arman akhirnya, suaranya nyaris berbisik.

Stefany menggeleng pelan. “Belum, Yah. Stefany belum siap… rasanya semua ini terjadi terlalu cepat.”

Pak Arman duduk di kursi dekat tempat tidur, jaraknya hanya beberapa langkah dari Stefany. “Ayah tahu ini sulit. Tapi percaya sama Ayah, Nak… di sana kamu akan punya banyak kesempatan. Masa depanmu akan lebih baik.”

Stefany menatap ayahnya dengan mata yang berkilat karena air mata. “Tapi kenapa harus sejauh itu, Yah? Kenapa tidak di sini saja? Stefany bisa sekolah di kota lain… atau di universitas mana pun. Kenapa harus keluar negeri?”

Pak Arman menghela napas panjang. Tatapannya melembut, tapi ada ketegasan yang tetap ia pertahankan. “Karena Ayah ingin kamu mulai benar-benar dari awal. Lingkungan baru, kehidupan baru. Di sana, kamu tidak akan selalu diingatkan tentang semua yang sudah terjadi di sini.”

“Semua yang sudah terjadi…” Stefany mengulang kalimat itu pelan. “Maksud Ayah tentang Stefanus, kan?”

Pak Arman terdiam sesaat, lalu mengangguk pelan.

Stefany memalingkan wajah, berusaha menyembunyikan air mata yang jatuh. “Ayah kira… dengan pergi jauh, Stefany bisa melupakannya?”

“Bukan melupakan, Stefany,” suara Pak Arman terdengar lebih lembut. “Tapi belajar melepaskan. Belajar menerima bahwa hidup harus terus berjalan, meskipun orang-orang yang kita sayangi kadang… tidak bisa tetap bersama kita.”

Stefany terdiam lama. Kata-kata itu menancap di dadanya seperti duri. Ia tahu ayahnya benar, tapi hatinya menolak menerima kenyataan itu.

“Yah…” Stefany akhirnya bersuara lagi, pelan sekali. “Kalau suatu hari Stefany ingin pulang, Ayah izinkan, kan?”

Pak Arman menatap putrinya lama sekali sebelum menjawab. “Tentu saja, Nak. Rumah ini akan selalu menunggumu.”

Stefany mengangguk pelan. Malam itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia memeluk ayahnya erat-erat. Pelukan yang hangat, tapi terasa menyakitkan karena mungkin akan jadi pelukan terakhir sebelum jarak ribuan kilometer memisahkan mereka.

Matahari baru saja terbit ketika Stefany membuka matanya. Untuk sesaat, ia lupa bahwa hari ini adalah hari keberangkatannya. Tapi begitu matanya menangkap koper di sudut kamar, kenyataan itu menghantam seperti gelombang besar.

Hari ini… ia benar-benar akan pergi.

Stefany duduk di tepi tempat tidur, menarik napas panjang, berusaha mengumpulkan keberanian. Di luar, terdengar suara pelayan menyiapkan sarapan. Suara piring dan sendok beradu di meja makan terasa seperti bunyi yang asing pagi ini—semuanya terasa berbeda.

Pintu kamarnya diketuk pelan.

“Stefany, sudah bangun?” suara ayahnya terdengar dari luar.

“Sudah, Yah,” jawab Stefany lirih.

“Kalau begitu turunlah. Sarapan dulu sebelum kita berangkat.”

Stefany berganti pakaian, merapikan rambut, lalu berjalan turun ke ruang makan. Di sana, Pak Arman sudah duduk menunggunya. Wajahnya seperti biasa tegas, tanpa banyak ekspresi. Tapi Stefany tahu, jauh di dalam, ayahnya juga sedang berjuang menahan sesuatu.

“Selamat pagi, Yah,” sapa Stefany pelan.

“Pagi, Stefany. Duduklah. Makanlah sedikit,” kata Pak Arman sambil menunjuk kursi di seberangnya.

Stefany duduk, tapi tak banyak bicara. Sarapan pagi itu terasa hambar, seolah semua rasa hilang tertelan kesedihan yang mereka berdua sembunyikan.

Beberapa menit berlalu sebelum Stefany bersuara.

“Yah…” ia berhenti sejenak, menatap piringnya, lalu melanjutkan, “Apakah Ayah yakin ini yang terbaik?”

Pak Arman meletakkan sendoknya, menatap Stefany lekat-lekat. “Ayah sudah memikirkannya baik-baik. Ayah tahu ini berat buatmu, tapi percayalah, di sana kamu akan mendapatkan banyak hal yang tidak akan kamu temukan di sini.”

“Tapi… Stefany takut,” ucapnya jujur. “Takut sendirian di negeri orang. Takut kalau Stefany tidak bisa bertahan. Takut kalau semua ini… salah.”

Pak Arman menghela napas panjang. “Ketakutan itu wajar, Stefany. Tapi Ayah percaya, kamu jauh lebih kuat daripada yang kamu kira. Di sana, kamu akan belajar banyak hal, tidak hanya pelajaran di kampus, tapi juga tentang hidup.”

Stefany menunduk, jari-jarinya meremas ujung serbet di pangkuannya. “Kalau saja Stefanus masih ada… mungkin Stefany tidak akan merasa sesendiri ini.”

Hening sejenak. Nama itu, Stefanus, selalu menjadi luka yang tidak pernah sembuh di antara mereka.

Pak Arman akhirnya berkata pelan, “Ayah tahu kamu merindukannya. Tapi hidupmu harus terus berjalan, Nak. Pergi ke sana bukan berarti melupakan dia. Ini hanya… cara lain untuk terus hidup.”

Stefany menatap ayahnya dengan mata berkaca-kaca. “Stefany tidak tahu apakah bisa melakukannya, Yah.”

Pak Arman tersenyum tipis, mencoba menguatkan. “Kamu bisa. Ayah yakin.”

Mereka melanjutkan sarapan dalam diam. Di luar, suara mobil sopir keluarga sudah terdengar di halaman. Waktu keberangkatan semakin dekat.

Mobil hitam keluarga itu meluncur perlahan meninggalkan halaman rumah. Di kursi belakang, Stefany duduk di samping ayahnya, tangannya menggenggam erat tas kecil yang berisi dokumen dan ponselnya.

Di luar jendela, pemandangan kota yang biasa ia lihat setiap hari terasa berbeda. Pohon-pohon, bangunan, jalanan yang ramai semuanya seperti memudar di matanya.

Ini mungkin terakhir kalinya aku melihat semua ini… pikir Stefany dalam hati.

Di kursi depan, sopir hanya fokus menyetir. Tak ada musik, tak ada percakapan. Hanya suara mesin mobil yang mengisi keheningan.

Pak Arman melirik putrinya. Ia melihat wajah Stefany yang pucat, matanya menerawang jauh.

“Kamu tidak bicara sama sekali dari tadi,” ujar Pak Arman pelan, memecah keheningan.

Stefany menoleh sebentar, lalu kembali memandang keluar jendela. “Stefany tidak tahu harus bicara apa, Yah. Rasanya… seperti mimpi. Tiba-tiba saja semuanya berubah.”

Pak Arman mengangguk perlahan. “Perubahan memang sering datang tiba-tiba. Tapi itu bukan berarti buruk, Stefany. Kadang, perubahan adalah cara hidup memberi kita kesempatan baru.”

Stefany menarik napas dalam. “Ayah yakin ini kesempatan? Bukan… hukuman?”

Pertanyaan itu membuat Pak Arman terdiam sejenak. Ia menatap putrinya, berusaha mencari jawaban yang tepat.

“Bukan hukuman, Stefany,” ucapnya akhirnya. “Ayah hanya ingin kamu jauh dari semua kesedihan yang ada di sini. Di sana, kamu bisa belajar banyak hal, melihat dunia yang lebih luas. Mungkin… itu bisa membantu hatimu sembuh.”

Stefany menatap ayahnya lama sekali. “Tapi apa hati benar-benar bisa sembuh, Yah? Kalau semua yang Stefany cintai sudah tidak ada?”

Pak Arman memejamkan mata sebentar, lalu membuka lagi. “Hati kita tidak pernah benar-benar sembuh, Stefany. Tapi kita belajar hidup dengan luka itu. Itulah yang membuat kita kuat.”

Stefany menggigit bibirnya, menahan air mata. “Stefany takut sendirian di sana. Takut kalau tidak ada yang peduli.”

“Di dunia ini, selalu ada orang baik, Nak,” kata Pak Arman lembut. “Kamu hanya harus berani membuka hati untuk mengenal mereka. Dan ingat, sejauh apa pun kamu pergi, rumah ini tetap milikmu. Ayah tetap ada untukmu.”

Suasana di mobil kembali hening. Tapi kali ini, heningnya berbeda bukan lagi karena canggung, melainkan karena terlalu banyak yang ingin diucapkan, tapi tidak ada kata-kata yang cukup untuk menyampaikannya.

Mobil terus melaju. Setiap kilometer yang dilalui terasa seperti memisahkan Stefany semakin jauh dari hidup yang dulu ia kenal.

Di kejauhan, papan penunjuk arah menuju bandara mulai terlihat. Hati Stefany berdegup kencang. Waktu semakin dekat.

1
Ida Bolon Ida Borsimbolon
mantap,Tetap semangat berkarya💪☺️
argen tambunan
istriku jenius bgt lah♥️♥️
argen tambunan
mantap
Risno Simanullang
mkasi kk
Aiko
Gila keren!
Lourdes zabala
Ngangenin ceritanya!
Risno Simanullang: mkasi kk
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!