Cole Han, gangster paling ditakuti di Shanghai, dikenal dingin dan tak tersentuh oleh pesona wanita mana pun. Namun, semua berubah saat matanya tertuju pada Lillian Mei, gadis polos yang tak pernah bersinggungan dengan dunia kelam sepertinya.
Malam kelam itu menghancurkan hidup Lillian. Ia terjebak dalam trauma dan mimpi buruk yang terus menghantuinya, sementara Cole justru tak bisa melepaskan bayangan gadis yang untuk pertama kalinya membangkitkan hasratnya.
Tak peduli pada luka yang ia tinggalkan, Cole Han memaksa Lillian masuk ke dalam kehidupannya—menjadi istrinya, tak peduli apakah gadis itu mau atau tidak.
Akankah Lillian selamanya terjebak dalam genggaman pria berbahaya itu, atau justru menemukan cara untuk menaklukkan hati sang gangster yang tak tersentuh?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
Cole menghampiri meja itu dan berseru.
“Adik Lillian.”
Gadis itu memandang ke arah Cole dan sedikit terkejut, napasnya tercekat.
“Kakak…” sahutnya dengan nada gugup.
Cole melangkah lebih dekat, senyum tipis namun dingin menghiasi wajahnya.
“Siapa dia? Kenapa tidak kau perkenalkan?” tanyanya dengan senyum pura-pura ramah yang membuat suasana menjadi canggung.
“Ini adalah Victor Zhuang,” jawab Lillian sambil memperkenalkan pria yang dijodohkan oleh rekannya.
Cole menoleh sekilas, menilai Victor dari ujung kepala sampai kaki dengan tatapan tajam.
“Inilah kakak Cole,” ujar Lillian kepada Victor dengan suara pelan.
Victor segera bangkit dari kursinya dan mengulurkan tangan dengan sopan.
“Kakak Cole, panggil saja aku Victor.”
Cole menatap uluran tangan itu sekilas, namun tidak merespons. Senyum sinis muncul di wajahnya.
“Kita tidak dekat. Jadi panggil saja Tuan Han.”
Victor sedikit kaku, namun akhirnya menunduk dan berkata,
“Tuan Han.”
Cole lalu kembali menatap Lillian, tatapannya menusuk seperti ingin menembus isi hatinya.
“Adik Lillian, siang ini datanglah ke rumahku. Ada yang ingin aku bicarakan denganmu.”
Suasana di meja seketika membeku. Cole kemudian berbalik, meninggalkan mereka dengan raut wajah tidak puas. Julian menyusul dari belakang, sementara Lillian hanya bisa terpaku di kursinya.
"Apa yang ingin dia bicarakan? Apakah mengenai penolakan pertunangan?" batin Lillian, dadanya berdegup semakin keras.
Beberapa jam kemudian.
Mansion pribadi Cole.
Siang itu Cole berendam santai di kolam renang, sinar matahari memantul di permukaan air. Segelas anggur merah berada di tangannya, sementara beberapa anggota kepercayaannya berjaga di sekitar kolam.
Julian berjalan mendekat setelah menerima laporan.
“Bos, pria itu adalah calon yang dijodohkan oleh rekan kerja Nona Mei.”
Cole mendengus dingin, meneguk anggurnya sebelum menjawab.
“Baru saja menolak lamaranku, lalu langsung bertemu dengan pria lain. Aku terlalu meremehkan gadis ini.”
Julian menunduk, mencoba meredakan amarah tuannya.
“Sepertinya Nona Mei tidak setuju, hanya saja ini semua diatur oleh rekan kerjanya. Bisa jadi Nona Mei sama sekali tidak menyukai pria itu.”
Cole terdiam sejenak, lalu menaruh gelasnya dengan keras di tepi kolam.
“Lebih baik begitu. Anthony Mei malah berani menghubungiku untuk membatalkan pertunangan ini. Sepertinya aku harus memberi mereka sedikit pelajaran.”
Julian menatap bosnya dengan hati-hati, tahu betul sifat Cole yang tidak suka dilawan. "Gawat… Bos paling tidak suka ditentang."
Tiba-tiba suara asisten rumah tangga terdengar dari kejauhan.
“Bos, Nona Mei sudah tiba.”
Cole tersenyum miring, matanya berkilat penuh makna.
“Persilakan masuk.”
Julian mengangguk hormat, segera memberi instruksi agar Lillian dipersilakan masuk.
Lillian melangkah ragu-ragu ke arah kolam renang. Suara derap langkahnya yang lembut seakan bergema di ruangan luas itu. Cahaya matahari dari kaca besar menyinari tubuh Cole yang sedang berendam, memperlihatkan otot-ototnya yang tegas dan dada bidang tanpa penutup.
“Kakak!” sapa Lillian dengan suara pelan, matanya sedikit beralih ke samping, enggan menatap langsung.
“Hm.” Cole menoleh, tatapannya tajam namun santai, seolah-olah sudah tahu gadis itu akan datang.
Lillian menelan ludah, jantungnya berdetak lebih cepat. "Kenapa aku merasa begitu tertekan hanya dengan melihatnya?" pikirnya. Ia berusaha menjaga jarak dan berkata,
“Aku… aku akan menunggu di luar.”
Cole menaikkan sebelah alisnya, senyum tipis menyungging di wajah.
“Tidak perlu. Kau ingin bergabung?” tanyanya dengan nada datar, namun penuh sindiran.
Lillian terbelalak, wajahnya memerah seketika.
“Tidak!” jawabnya cepat, sedikit terbata.
Cole menyandarkan lengannya di tepi kolam, menatap gadis itu dalam-dalam.
“Kenapa? Tidak ingin melihatku?” suaranya rendah, mengandung tekanan yang membuat Lillian semakin gugup.
“Bukan… hanya saja Kakak tidak mengenakan pakaian,” jawab Lillian dengan canggung.
Cole tersenyum dingin, matanya memancarkan rasa puas melihat kepolosan gadis itu.
“Di saat berenang, tidak mungkin aku mengenakan baju.”
Lillian menarik napas dalam, berusaha menenangkan diri.
“Apakah ada sesuatu yang ingin Kakak beritahu aku?” tanyanya, mencoba langsung ke inti agar suasana canggung itu cepat berakhir.
“Ayahmu menghubungiku menolak lamaran ini, dan begitu tidak sabarnya kau langsung bertemu pria lain. Adik Lillian, apakah menurutmu aku tidak layak menjadi suamimu?” tanya Cole, tatapannya menusuk dalam, membuat udara di sekitar terasa menyesakkan.
Lillian terdiam sesaat, kedua tangannya meremas ujung bajunya. “Bukan itu maksudku. Victor adalah teman dari rekan kerjaku. Pertemuan itu tidak bisa dianggap kesengajaan. Mengenai menolak lamaran, itu adalah keinginanku. Kita tidak saling kenal dan juga tidak saling menyukai. Jadi mana mungkin menikah,” jelasnya lirih, mencoba menahan getaran suaranya.
Cole keluar dari kolam renang dengan gerakan penuh percaya diri. Tubuhnya yang six pack dan penuh wibawa semakin menekan mental Lillian. Julian cepat-cepat menyodorkan handuk kepada bosnya.
Lillian menoleh ke arah lain, wajahnya memerah, tak sanggup menatap pria itu.
“Apakah aku sangat menjijikkan sehingga Adik Lillian tidak berani menatapku?” tanya Cole dingin sambil mendekat.
“Kakak, lebih baik pakai dulu bajumu,” jawab Lillian gugup, suaranya hampir bergetar.
Tanpa memberi kesempatan, Cole melingkarkan lengannya ke pinggang Lillian. Gadis itu tersentak, tubuhnya menegang, jantungnya berdebar kencang.
“Kenapa kita tidak mencoba saja? Mungkin saja hubungan kita akan berhasil,” bisik Cole, suaranya berat dan mengintimidasi.
Lillian menggeleng cepat, hampir panik. "Seorang gangster… bagaimana mungkin aku bisa… kalau dia tahu aku pernah berhubungan dengan pria lain, aku dan keluargaku bisa dalam bahaya."
“Kakak, aku tidak bisa…” ucap Lillian dengan suara lirih, hampir seperti rintihan.
Cole menunduk mendekat, berbisik di telinganya. “Apa kau sudah lupa kenangan malam pertama kita? Aku bahkan tidak bisa lupa sama sekali.”
Lillian terbelalak, tubuhnya seolah kehilangan kekuatan. “Malam pertama? Apakah… dia adalah pria itu?” gumamnya dengan napas terputus.
“Kakak, apa maksudmu!” tanyanya keras, penuh keterkejutan, meski suaranya bergetar.
Cole menatapnya dekat, mata mereka hanya terpisah beberapa inci. “Pertama kali kita bertemu di klub malam… kau sudah lupa? Kemudian kita menghabiskan malam bersama di kamar hotel,” jawab Cole dengan nada mantap, nyaris menohok.
Dunia seakan berhenti berputar bagi Lillian. Kata-kata Cole membuat ingatan samar yang selama ini ia tekan kembali menyeruak.