NovelToon NovelToon
Unexpected Love

Unexpected Love

Status: sedang berlangsung
Genre:Kisah cinta masa kecil / Diam-Diam Cinta
Popularitas:275
Nilai: 5
Nama Author: Mutia Oktadila

Letizia Izora Emilia tidak pernah merasa benar-benar memiliki rumah. Dibesarkan oleh sepasang suami istri yang menyebut dirinya keluarga, hidup Zia dipenuhi perintah, tekanan, dan ketidakadilan.

Satu keputusan untuk melawan membuat dunianya berubah.

Satu kejadian kecil mempertemukannya dengan seseorang yang tak ia sangka akan membuka banyak pintu—termasuk pintu masa lalu, dan... pintu hatinya sendiri.

Zia tak pernah menyangka bahwa pekerjaan sederhana akan mempertemukannya dengan dua pria dari keluarga yang sama. Dua sifat yang bertolak belakang. Dua tatapan berbeda. Dan satu rasa yang tak bisa ia hindari.

Di tengah permainan takdir, rasa cinta, pengkhianatan, dan rahasia yang terpendam, Zia harus memilih: tetap bertahan dalam gelap, atau melangkah berani meski diselimuti luka.

Karena tidak semua cinta datang dengan suara.
Ada cinta… yang tumbuh dalam diam.
Dan tetap tinggal... bahkan ketika tak lagi dipandang.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mutia Oktadila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

chapter 7

"Kalian ajak Zia berkeliling lihat-lihat isi mansion, ya,” ucap Oma Ririn sambil tersenyum pada cucu-cucunya.

“Tapi Oma, Aksa mau main game,” protes Aksa, wajahnya cemberut.

“Gak boleh ngebantah!” tegur Oma dengan tegas. “Kalau kamu ngeyel, Oma larang kamu main game selama satu bulan.”

Aksa langsung melemas. “Iya… iya…” gumamnya dengan lesuh, menyeret kaki mendekati Zia.

Setelah Oma masuk ke kamarnya untuk istirahat, Azka mendekat pada mereka berdua. Wajahnya datar seperti biasa.

“Aksa, lo temenin Zia keliling rumah. Gue mau ngerjain tugas gue yang numpuk,” ucap Azka, lalu pergi begitu saja tanpa mendengar jawaban adiknya.

“Ckk… punya abang gini banget sih,” gerutu Aksa, lalu menoleh malas ke arah Zia.

“Lo juga nyusahin banget deh. Bisa kan lihat-lihat sendiri? Gak perlu gue temenin kayak pemandu wisata.” Aksa pun pergi begitu saja, meninggalkan Zia berdiri sendiri di tengah lorong panjang mansion.

“Hufttt… sabar Zia. Lo kan udah biasa apa-apa sendiri,” ucap Zia pelan, menenangkan dirinya sendiri.

Ia mulai berjalan pelan, melihat-lihat lukisan mahal yang tergantung di dinding, pintu-pintu besar yang tampak seperti di drama-drama luar negeri, sampai akhirnya matanya tertuju pada satu pintu mencolok berwarna hitam di ujung lorong.

Rasa penasaran menuntunnya untuk mendekat. Ia mengulurkan tangan ke arah gagang pintu itu…

Namun belum sempat menyentuhnya, sepasang tangan besar menghentikan gerakannya.

“Jangan berani-beraninya lo masuk ruangan ini,” bisik Azka dari belakang. Suaranya dingin dan tajam. Zia merinding seketika.

Perlahan ia menoleh, menatap mata Azka yang sekarang penuh ketegasan. Tatapan yang bikin lutut Zia hampir lemas.

“M-maaf… aku cuma penasaran,” ucap Zia gugup.

Azka menghela napas, lalu melihat sekeliling.

“Hem… Aksa ke mana?” tanyanya saat menyadari adiknya tidak ada.

“Dia gak mau temenin aku keliling… terus pergi gitu aja,” jawab Zia jujur.

Azka hanya menggeleng, lalu kembali menatap mata bulat di depannya.

“Lo kan kerja di sini. Sebentar lagi sore. Sekarang lo siapin semua keperluan gue. Nanti gue mau pergi ketemu klien,” ucap Azka tanpa ekspresi.

Zia mengangguk cepat, lalu tersenyum tipis. Akhirnya, dia dipakai juga buat kerja.

______

Zia langsung menuju dapur belakang tempat para pekerja biasa menaruh keperluan para penghuni mansion. Ia menanyakan apa saja yang biasa Azka bawa jika hendak keluar rumah, lalu segera mulai menyiapkan semuanya.

Air mineral dingin, tablet, charger, parfum kecil, dan dokumen-dokumen yang tadi diserahkan asisten Azka—semuanya ia tata rapi di tas kerja kulit hitam milik pria itu.

Saat hendak membawa tas itu ke kamar Azka, langkahnya terhenti saat melihat pria itu berdiri di teras samping mansion, sedang menelepon seseorang. Tatapannya tajam, ekspresinya serius. Tapi anehnya, Zia justru merasa itu sisi Azka yang… menarik. Entah kenapa, dadanya jadi hangat.

“Udah beres?” tanya Azka tiba-tiba, sudah berdiri di depannya, membuat Zia terkejut.

“I-iya, ini tasnya.” Zia menyerahkan tas itu.

Azka mengambil tasnya dengan satu tangan. Tatapannya sempat turun menatap jemari Zia yang masih menggenggam tali tas.

“Kalo lo kerja asal-asalan, gue bisa bilang ke Oma buat ganti lo. Lo ngerti, kan?” ucap Azka, datar tapi dalam. Seolah menguji.

Zia menegakkan badan. “Aku gak akan kerja asal-asalan. Aku di sini bukan buat main-main.”

Sekilas, bibir Azka terangkat sedikit. Hampir seperti senyuman, tapi terlalu singkat untuk dipastikan.

“Bagus,” ucapnya pendek.

Azka berjalan menuju mobil hitam yang sudah terparkir. Sebelum masuk, ia sempat menoleh sebentar ke arah Zia yang masih berdiri di tempat.

“Jangan ganggu Aksa. Dia malesan tapi otaknya jenius. Kalo dia ngamuk, ribet,” ucapnya pelan, seolah memberi peringatan tapi juga menunjukkan sisi kakak yang protektif.

Mobil itu pun melaju pelan meninggalkan mansion.

Zia menatap mobil itu sampai menghilang di gerbang. Hatinya mendadak aneh. Ada rasa... deg-degan.

“Baru juga kerja beberapa jam, kenapa hati aku begini sih?” gumamnya pelan sambil memegang dadanya.

Tiba-tiba…

“Woy!” suara Aksa terdengar dari arah balkon lantai atas. “Jangan ngelamun! Kucing aja punya kerjaan!”

Zia mendongak, menghela napas panjang. “Ya ampun, hidup aku beneran kagak beres beres.”

_____

Di dalam kamar, Zia baru saja selesai mandi sore. Rambutnya masih sedikit basah, dan tubuhnya kini dibalut piyama berwarna merah maroon yang telah disiapkan oleh Oma Ririn di dalam lemari.

Pandangan Zia terhenti pada meja rias di sudut kamar. Di atasnya tertata rapi berbagai macam skincare dengan merek yang belum pernah ia dengar sebelumnya.

“Oma memperlakukan aku kayak cucunya sendiri…” gumam Zia sambil tersenyum tipis.

Ia lalu duduk di depan meja rias, memandangi satu per satu botol skincare itu. Tangannya ragu menyentuh salah satunya, kemudian membaca tulisan di bagian belakang.

“Pakenya di mana aja sih…” bisiknya bingung, karena selama ini dia tak pernah sekalipun merawat wajah dengan skincare.

Zia menoleh ke arah handphone jadul miliknya yang tergeletak di meja nakas. Ia tersenyum.

“Aku liat tutorial di YouTube aja deh,” ucapnya mantap.

Beberapa menit berlalu. Zia sibuk menonton tutorial, sesekali mengangguk-angguk mencoba mengikuti langkah-langkahnya. Ia meniru cara membersihkan wajah, mengoleskan toner, lalu mengaplikasikan pelembap.

“Wahh… aku nampak lebih segar,” gumamnya dengan takjub pada bayangan di cermin.

Setelah merapikan semua peralatan, Zia keluar dari kamar. Ia berjalan pelan di koridor lantai atas, sambil menarik napas panjang.

“Huh… bosen banget deh. Harusnya aku banyak pekerjaan, bukan kayak gini,” keluhnya sambil menatap tangannya yang kosong. “Apa aku ke kamar Aksa aja ya? Sekalian mendekatkan diri, biar aku nggak takut lagi sama dia.”

Tanpa pikir panjang, Zia melangkah ke arah kamar Aksa. Tangannya mengepal pelan sebelum mengetuk pintu.

Tok tok tok.

“Masuk,” suara Aksa terdengar dari dalam, datar.

Zia membuka pintu perlahan. Namun, matanya langsung membelalak melihat kemasan snack yang berserakan di lantai dan tempat tidur.

“Aksa!” serunya dengan suara tegas.

“Apa?” jawab Aksa ketus tanpa menoleh, masih asyik menatap layar monitor gamenya.

“Enggak… hehe,” Zia jadi ciut sendiri, suaranya berubah gugup.

“Mau apa lo ke sini?” tanya Aksa ketus lagi.

“Aku… mau ketemu kamu aja, supaya kita lebih deket… Terus aku nggak takut lagi deh sama kamu.”

Aksa melirik ke arah Zia. “Emang gue genderuwo yang bisa lo takutin?”

“Iya, soalnya mirip,” canda Zia sambil nyengir.

“Apa lo bilang?” Aksa menoleh cepat.

“Eh, hehe… bercanda! kamu nggak kayak genderuwo kok,” kata Zia panik.

Aksa hanya mendengus, lalu kembali fokus ke gamenya.

Zia menarik napas. Ternyata mendekati Aksa tidak semudah itu. Ia melirik sekitar kamar yang acak-acakan, lalu mulai memunguti kemasan snack satu per satu.

Beberapa menit kemudian, kamar itu sudah jauh lebih rapi. Zia duduk di sofa kecil di pojok ruangan, memperhatikan Aksa yang sibuk dengan konsol gamenya.

“Itu… apa?” tanya Zia, menunjuk ke stik konsol di tangan Aksa.

“Lo kagak tau?” Aksa menjawab tanpa berpaling.

“Enggak,” jawab Zia polos.

“Eh iya… gue lupa. Lo kan miskin, mana tau barang begini.”

“Iya, aku miskin,” sahut Zia tanpa tersinggung. “Jadi, sekarang kasih tau dong. Terus ajarin cara pakenya.”

“Kagak mau. Ntar rusak gara-gara lo,” tukas Aksa sinis.

“Enggak akan… plis… ajarin…” rayu Zia dengan suara manja.

“Ck. Yaudah, sini. Duduk di samping gue,” ucap Aksa akhirnya, meski terkesan ogah-ogahan.

“Asikk!” Zia bersorak kecil sambil meloncat pelan ke arah tempat duduk Aksa.

Aksa yang melihat itu mencuri pandang dan tersenyum tipis—hanya sekilas, lalu buru-buru kembali bersikap dingin. Tapi dari sorot matanya, jelas bahwa hatinya sedikit mencair.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!