Aluna Maharani dan Reza Mahesa sudah bersahabat sejak SMA. Mereka kuliah di jurusan yang sama, lalu bersama-sama bekerja di PT. Graha Pratama hingga hampir tujuh tahun lamanya.
Kedekatan yang terjalin membuat Aluna yakin, perhatian kecil yang Reza berikan selama ini adalah tanda cinta. Baginya, Reza adalah rumah.
Namun keyakinan itu mulai goyah saat Kezia Ayudira, pegawai kontrak baru, masuk ke kantor mereka. Sejak awal pertemuan, Aluna merasakan ada yang berbeda dari cara Reza memperlakukan Kezia.
Di tengah kegelisahannya, hadir sosok Revan Dirgantara. Seorang CEO muda yang berwibawa dari perusahaan sebelah, sekaligus sahabat Reza. Revan yang awalnya sekadar dikenalkan oleh Reza, justru membuka lembaran baru dalam hidup Aluna. Berbeda dengan Reza, perhatian Revan terasa nyata, matang, dan tidak membuatnya menebak-nebak.
Sebuah kisah tentang cinta yang salah tafsir, persahabatan yang diuji, dan keberanian untuk melepaskan demi menemukan arti kebahagiaan yang sebenarnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iqueena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CERITA MASA LALU
Waktu pun berlalu hingga sore. Jam dinding kantor menunjukkan pukul 17.30. Suasana lobi, penuh dengan karyawan yang bersiap pulang. Reza sudah lebih dulu menunggu lift bersama Aluna, pandangannya sesekali jatuh pada kaki Aluna yang masih terlihat menahan sakit.
Di saat itu, Kezia muncul dengan senyum khasnya. Ia melangkah mendekat sambil berlari kecil.
"Kak Reza, aku ikut pulang bareng Kak Reza lagi, ya?" ucapnya dengan nada manja.
Reza menoleh sebentar, lalu menggeleng sopan.
"Maaf, Cia. Hari ini aku nggak bisa. Aku harus nganter Aluna pulang, kakinya masih sakit."
Raut wajah Kezia berubah, jelas kecewa meski berusaha menutupi.
"Oh… yaudah, hati-hati di jalan, Kak Reza,"
Ia tersenyum tipis, lalu menatap ke arah Aluna. "Kak Aluna, cepat sembuh ya."
Aluna membalas senyumannya, "Terima kasih, Kezia"
Kezia kemudian melangkah pergi, ke lift ujung yang sudah terbuka. Tak lama, lift yang ditunggu oleh Reza dan Aluna pun juga terbuka.
Reza menepuk pelan bahu Aluna. "Yuk, aku antar pulang sekarang."
****
Langit sore menampilkan warna jingga keemasan saat Reza mengemudikan mobilnya. Senja seolah ikut menemani perjalanan mereka.
Aluna duduk di kursi penumpang, matanya menatap keluar jendela, sementara pikirannya masih memikirkan kejadian pagi tadi.
"Za…" panggil Aluna lirih. "Makasih banyak ya, sudah mau ngantar aku pulang."
Reza yang mendengar kalimat asing itu tertawa kecil.
"Apaan sih, Na. Biasanya juga aku anterin kalau lagi nggak sibuk."
Aluna terdiam sejenak, ia tersadar betapa canggung dirinya akan perasaan cemburu yang diam-diam menyelimuti hatinya.
"Ya ... nggak apa-apa, emang salah aku ngomong begitu?"
"Nggak salah sih, cuma aneh aja dengarnya." ucap Reza sambil tertawa.
Aluna menghela napas pelan, lalu tersenyum tipis.
"Pagi tadi aku kaget banget, waktu tahu yang nyerempet aku itu ternyata sahabat kecilmu."
Reza terkekeh kecil.
"Iya, dia keliatan panik banget waktu cerita sama aku. Dia bilang nggak sengaja, lagi buru-buru. Tapi Revan itu orangnya tanggung jawab kok. Aku tau, pasti dia tadi paniknya bukan main."
"Iya, dia baik sih, sampai nganter aku ke kantor juga," timpal Aluna.
"Revan memang begitu, Na. Dari dulu kami udah kayak saudara. Dia baik banget, aku sampai takut kalau kebaikannya dimanfaatkan sama orang."
Aluna menoleh, matanya menatap dengan penuh rasa penasaran.
"Tapi aku penasaran, Za. Kamu sama Revan itu udah temenan dari kapan sih?"
Reza tersenyum samar, matanya seakan dibawa ke masa lalu.
"Aku sama Revan udah temenan dari kecil, Na. Dari awal masuk SD sampai SMP selalu bareng. Tapi pas masuk SMA, kami sempat lost contact. Ternyata dia lanjut sekolah di luar negeri. Aku baru ketemu dia lagi sekitar tiga bulan lalu, nggak sengaja, pas di depan kantor."
"Serius? Lama banget ya berarti kalian nggak ketemu?" tanya Aluna dengan mata berbinar.
"Iya, bertahun-tahun. Dan aku kaget waktu itu, ternyata gedung di samping kantor kita itu milik keluarganya. Lebih kaget lagi pas tahu kalau sekarang dia yang jadi CEO di sana."
Aluna mengangguk dengan ekspresi kagum, namun Reza melanjutkan lagi.
"Tapi meski jabatannya tinggi, dia masih sama kayak dulu. Nggak banyak berubah. Masih suka bercanda, masih tulus. Itu yang bikin aku seneng bisa ketemu dia lagi."
Aluna tersenyum hangat.
"Kamu beruntung punya sahabat kayak dia, Za."
Reza meliriknya sekilas, tersenyum teduh.
"Iya. Aku rasa memang gitu. Kayak saudara sendiri."
Percakapan itu berlanjut ringan tapi penuh makna. Senja kian meredup, lampu-lampu jalan mulai menyala. Aluna larut mendengar cerita Reza, sementara hatinya diam-diam ikut hangat.
****
Pukul 18.45, mobil berhenti di depan apartemen Aluna. Reza segera turun, membukakan pintu penumpang.
"Udah sampai. Hati-hati naik ke atas ya," ucapnya sambil menunggu Aluna berdiri.
Aluna menoleh, tersenyum lembut.
"Makasih banyak, Za. Aku bener-bener nggak enak udah bikin kamu repot seharian."
Reza menggeleng cepat.
"Na. Aku seneng kalau bisa bantu kamu. Yang penting kamu istirahat, dan jangan maksa kerja ya, kalau kaki kamu masih sakit."
Mereka berjalan bersama sampai depan pintu apartemen. Aluna berhenti, dan menatapnya.
"Kamu hati-hati ya, Za."
Reza membalas dengan tatapan hangat.
"Iya. Kamu juga jaga diri baik-baik. Aku pamit, ingat kalau perlu apapun, hubungi aku."
Aluna tersenyum dan mengangguk. Reza pun berbalik menuju lift, sementara Aluna hanya bisa menatap punggungnya yang perlahan menjauh.
Ada rasa hangat yang sulit ia definisikan, tersisa di dada setelah senja benar-benar tenggelam.
...----------------...
buat ga ketawan kelas kita dibawah dia
mamah dirgantara ga niat mau angkat anak lagi
boleh Lo Ama saya🤣🤣🤣🤣🤣🤣
🤣🤣🤣