Arabella seorang anak perempuan yang menyimpan dendam terhadap sang Ayah, hal itu diawali sejak sang Ayah ketahuan selingkuh di tempat umum, Ara kecil berharap ayahnya akan memilih dirinya, namun ternyata sang ayah malah memilih wanita lain dan sempat memaki istrinya karena menjambak rambut selingkuhannya itu.
Kejadian pahit ini disaksikan langsung oleh anak berusia 8 tahun, sejak saat itu rasa sayang Ara terhadap ayahnya berubah menjadi dendam.
Mampukah Arabella membalaskan semua rasa sakit yang di derita oleh ibunya??
Nantikan kisah selanjutnya hanya di Manga Toon
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayumarhumah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19
Dirga semakin membuang pandangannya karena tidak kuasa melihat kemolekan gadis muda yang anggun dengan balutan dress hitam itu, matanya mulai tidak berhenti berkedip bahkan jakunnya terlihat naik turun.
"Om," sapa Amel sambil membuka pintu mobilnya.
Dirga semakin salah tingkah, bahkan kerap kali pria itu membuang pandangannya ke luar jendela mobil.
"Om, kenapa buang muka ke luar terus apa aku terlihat menakutkan ya," kata Amel.
Dirga semakin gugup dibuatnya sementara Amel, gadis itu tahu apa yang harus ia lakukan sekarang. "Om, jangan gitu," ucap Amel sambil menyentuh pundak Dirga agar melihat ke arahnya.
"Mel, kita jalan aja ya," ajak Dirga, sambil melajukan mobilnya.
Di dalam perjalan perbincangan antara mereka pun mengalir begitu saja bahkan Amel sempat bertanya-tanya untuk mengurangi rasa canggung yang dirasakan oleh pria itu. "Jalan kemana dulu, Restaurant atau ke club langsung," sahut Amel.
"Aku gak tahu Mel, dan aku gak mau main di tempat umum takut ada yang mengetahui," ujarnya, seketika bayangan ia terpergok Sena di masalalu mulai melintas.
"Oh gitu ya Om, terus kita mau pergi kemana?" tanya Amel yang berpura-pura lugu.
"Eeeemb ... kamu mau kita pergi ke apartemenku," ajak Dirga dengan tatapan yang berbinar.
Amel pun mulai mengangguk karena memang ia baru mendapatkan instruksi dari Ara, untuk menuruti apa yang diinginkan oleh pria disampingnya itu.
Sementara itu di jalan yang sama malam ini seorang anak masih sibuk bergelut dengan pekerjaannya sendiri, meskipun tadi Ara sudah memberinya uang untuk memborong tisunya, namun tetap saja ibu Naira menyuruhnya untuk berjualan lagi.
"Tisu ... Tisu ...," ucap Naira yang menggema diantara gelapnya malam dan lampu jalanan.
Di saat lampu mulai menunjukkan warna merah, anak itu dengan cekatan menawarkan jualannya ke pengendara yang berhenti, ia pun mulai berkeliling, namun sebagian dari mereka melambaikan tangannya sebagai isyarat tidak membeli jualannya.
Dan saat yang bersamaan pula gadis kecil itu menghampiri mobil mewah yang baru saja berhenti, menghampiri mobil mewah tersebut, awalnya pria itu diam saja bahkan cenderung cuek, namun gadis muda di sampingnya menyuruh pria itu untuk membelinya.
"Om, itu bocah kasian sekali jam segini masih jualan, sana borong saja bila perlu," suruh Amel, seketika Dirga mulai sedikit terkejut, apalagi ketika ia melihat penampakan anak tersebut yang terlihat kucel dan dekil, namun di dalam dasar hatinya, ada rasa yang tidak bisa ia ungkapkan.
"Baiklah kalau begitu aku boring saja, lagian kok ada orang tua yang eksploitasi anak sekecil ini," ujarnya penuh sedikit rasa iba.
"Adik tisunya berapa?" tanya Dirga.
"Sepuluh ribu saja Om," sahut anak itu dengan sopan.
"Itu tinggal berapa?" tanya Dirga kembali.
"20 biji Om," kata anak itu.
"Ya sudah Om borong ya," ujar Dirga.
Seketika wajah lelah itu tersenyum bahagia melihat jualannya di borong oleh orang baik yang peduli dengan dagangannya.
"Makasih banyak ya Om," sahut anak itu.
"Ya sama-sama, ini uangnya aku lebihin, pulanglah ini sudah malam gak baik udara malam untuk anak sekecil kamu," ucap Dirga dengan tatapan yang sulit untuk diutarakan.
Uang sudah ada di tangan, anak kecil itu merasa bahagia karena beban yang ia pikul terasa ringan, semua sisa tisu sudah laku terjual, kaki kecilnya langsung menuju ke arah pulang.
Malam-malam seperti ini mental gadis kecil itu sudah terlatih, tidak ada rasa takut untuk melewati gang-gang sepi, bahkan jalanan ini bisa mengancam nyawa siapapun, jika bertemu dengan orang jahat.
Namun bagi gadis kecil itu tidak ada rasa takut, yang ia takuti siksaan dari ibunya jika ia tidak pulang membawa uang.
Sesampainya di rumah Naira langsung memanggil ibunya dengan suara seru, penuh dengan semangat. "Ibu ... Ibu ...."
Tidak ada jawaban, anak itu mencoba untuk memasuki rumah tersebut tapi tidak ada jawaban, dan ketika kaki kecil mulai menginjak ke ruang utama yang sempit dan kumuh, ia sedikit terkejut melihat kakak laki-lakinya yang sedang berpesta miras bersama dengan teman-temannya.
"He anak pungut mau ngapain?" tanya Doni sambil sedikit sempoyongan.
"Aku mau cari Ibu," sahut Naira sambil memundurkan langkahnya.
"Ibu gak ada dia masih di warung sebelah beliin Abang rokok," kata Doni tatapannya sambil melirik ke arah uang yang dipegang oleh Naira.
"Apa yang kau pegang itu?" tanya Doni.
"Gak gak ada." Naira segera menyembunyikan tangannya ke belakang.
Namun tangan Doni secepat kilat menarik tangan kecil itu, dan mengambil yang Naira tanpa tersisa sepeserpun.
“Lepasin, Bang! Itu uangku, hasil aku jualan!”
Naira berusaha menarik tangannya, tapi kekuatan Doni jauh lebih besar.
“Kerja keras? Hah! Anak kecil kayak kamu tahu apa soal kerja keras!” bentak Doni sambil mendorong tubuh adiknya hingga terjatuh ke lantai.
“Abang jahat!” seru Naira sambil menahan air mata yang mulai menggenang.
Namun Doni justru tertawa sinis. “Jahat? Aku ini yang paling tahu caranya bertahan di rumah ini! Kamu pikir Ibu peduli? Ibu cuma mau uang!”
Teman-teman Doni yang duduk sambil meneguk minuman keras hanya tertawa melihat adegan itu, seolah penderitaan gadis kecil itu adalah hiburan malam mereka.
“Udah, jangan lebay, Don. Biarin aja bocahnya nangis,” ujar salah satu dari mereka.
Tapi Doni malah mendekat lagi, wajahnya memerah karena alkohol.
Ia merogoh kantong uang itu dan menyimpannya di saku celana. “Uang ini buat beli rokok, miras, dan buat Ibu. Lagian kamu pikir uang ini bakal nyelametin hidup kamu?”
Naira menunduk, air matanya jatuh tanpa suara.Dia tidak berani melawan lagi, hanya memeluk lututnya yang kotor dan lecet karena terjatuh.Dalam hatinya, ia hanya bisa berdoa pelan, “Tuhan, kalau aku punya ayah, aku nggak mau kayak gini terus...”
Beberapa menit kemudian, Ibu Naira yang bernama Sita datang dengan wajah yang terlihat judes dan bengis melihat Naira yang sedang meringkuk.
"Naira, kamu tahu waktu gak, kenapa malam-malam harus menangis seperti ini sih!" bentak Sita.
Naira langsung mengangkat wajahnya berharap mendapatkan pembekalan dari apa yang sudah sudah dibuat oleh abangnya. "Bu, abang sudah ambil uangku," adu Naira.
Seketika darah Sita mendidih, bukan karena uang yang diambil oleh anak lelakinya, tapi karena Naira tidak pintar menjaga uang tersebut.
"Apa! Uang itu diambil Doni!" dengusnya dengan kesal.
"Dari dulu kamu selalu goblok gak ada pandai-pandainya, pokonya ibu tidak mau tahu kamu harus cari uang lagi bagaimanapun caranya!" gertak Sita yang memang selalu memperlakukan Naira dengan tidak adil.
"Bu, tapi ini sudah malam Naira capek Bu," ungkap anak itu.
"Gak peduli mau capek atau ngesot pun aku gak peduli," sentaknya kembali.
Tubuh kecil itu tidak punya pilihan lagi, dan terpaksa ia harus pergi ke jalanan, namun ketika ia sampai di jalanan, tiba-tiba saja ia melihat segerombolan orang berlari, dan ternyata ada razia dan mau tak mau membuat gadis kecil itu ikut bersembunyi juga.
"Razia ... Razia ...!" teriak para pedagang asongan dan juga orang-orang jalanan lainnya.
Anak kecil itu dengan cepatnya bersembunyi dibalik tong sampah yang cukup besar, dengan hati yang berdebar ia mulai menahan bau busuk yang menyeruak.
Setelah beberapa menit ia pun keluar dari tong sampah tersebut, dan tidak tahu harus melangkah kemana lagi, namun disaat pikirannya kalut seperti ini seketika bayangan teduh Ara dan Arkana terlintas di dalam benaknya.
"Ya Allah apa malam ini aku harus ke rumah Kak Ara saja," ucapnya penuh dengan tekad.
janji "aja tuh