NovelToon NovelToon
MANTU RAHASIA

MANTU RAHASIA

Status: sedang berlangsung
Genre:Dikelilingi wanita cantik / Nikah Kontrak / Dokter Genius / Cinta Seiring Waktu / Kebangkitan pecundang / Kelahiran kembali menjadi kuat
Popularitas:3.5k
Nilai: 5
Nama Author: zhar

"HABIS MANIS SEPAH DI BUANG" itu lah kata yang cocok untuk Rama yang kini menjadi menantu di pandang sebelah mata.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zhar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 7 Mantu Rahasia

"Ini... apakah kita mulai pengobatannya sekarang? Nggak perlu persiapan dulu?" tanya Pak Agus, agak ragu.

"Tidak usah, kita mulai sekarang saja. Silakan duduk," jawab Rama dengan serius.

"Baiklah kalau begitu."

Pak Agus pun duduk. Namun, dalam hatinya masih ada keraguan. Sulit baginya percaya bahwa Rama bisa menyembuhkannya tanpa alat, tanpa obat, dan tanpa pemeriksaan apa pun.

Lagi pula, ini soal penyakit jantung!

Rama menarik napas dalam-dalam dan menutup matanya.

Dalam sekejap, metode penyembuhan penyakit jantung terlintas jelas di pikirannya.

Beberapa detik kemudian, Rama membuka mata, lalu mengangkat tangannya dan meletakkannya tepat di dada bagian kiri Pak Agus, tempat jantung berada.

Dengan sedikit rasa gelisah di hatinya, Rama mulai mengikuti instruksi dari pikirannya, menggunakan kekuatan Darah Pendekar miliknya untuk memperbaiki jantung sang pasien.

Alasan kegelisahan Rama adalah karena ini merupakan percobaan pertamanya. Ia sendiri belum tahu apakah akan berhasil atau tidak.

Namun saat Rama mencoba mengarahkan energi misterius dalam tubuhnya, ia justru terkejut karena alirannya sangat lancar.

Di balik pupil matanya, cahaya samar berkedip. Rama dapat melihat dengan jelas setiap bagian tubuh Pak Agus, seolah tubuh itu menjadi transparan.

Ia memusatkan perhatian pada jantung, lalu mulai mengalirkan energi lembut dari dalam tubuhnya untuk menyembuhkannya.

Pak Agus merasakan sebuah kekuatan hangat dan lembut terus mengalir ke dalam dadanya, memberi kenyamanan luar biasa yang belum pernah ia rasakan.

Sementara itu, Rama menyaksikan langsung bagaimana jantung yang tadinya lemah perlahan-lahan mulai berdetak kencang dan kuat kembali, seperti mesin baru yang baru dihidupkan.

Beberapa menit berlalu. Rama menarik tangannya. Dahinya sudah penuh keringat.

“Sudah selesai, Anda harus kurangi merokok, kurangi minum alkohol. Kalau tidak percaya, silakan cek ulang ke rumah sakit nanti,” katanya ringan.

“Tabib Rama… aku sungguh percaya padamu!” Pak Agus tertawa lega, “Sekarang tubuhku terasa bertenaga seperti dulu lagi. Kau benar-benar Tabib Sakti! Aku sangat berterima kasih!”

Ia membungkuk dalam-dalam, penuh rasa haru.

Tak ada orang yang lebih mengenal tubuhnya selain dirinya sendiri.

Dan kini, Pak Agus bisa merasakan dengan jelas bahwa jantungnya seperti kembali ke kondisi saat ia berumur dua puluh tahun.

“Agus, wajahmu cerah, matamu berbinar, dan auramu luar biasa; sepertinya kau benar-benar sudah pulih. Mantap,” kata Pak Adi sambil tersenyum puas.

“Iya Pak, semua ini berkat keajaiban penyembuhan dari Tabib Sakti Rama,” jawab Agus penuh semangat.

“Pak Agus, jangan lupa perjanjian yang sudah kita buat. Besok, saya akan meminta istri saya untuk membicarakan proyek itu dengan Anda. Cukup diskusi sebentar, lalu langsung teken kontraknya,” kata Rama.

“Tenang saja, Mas Rama. Saya tidak akan mengecewakan,” jawab Pak Agus dengan penuh keyakinan.

Di belakang, Gunawan tampak benar-benar terpana.

Bagaimana mungkin Rama bisa sehebat ini?

“Wawan, kenapa kamu cuma diam berdiri di situ? Tidak mau berlutut dan minta maaf ke Mas Rama?” tegur Pak Agus dengan keras.

"I-iyah!"

Gunawan buru-buru melangkah maju.

“Ga usah.”

Rama menghentikannya dengan nada datar, “Ingat baik-baik apa yang terjadi hari ini di rumahmu. Tutup rapat-rapat mulutmu. Kalau sampai bocor, keluargamu tidak akan sanggup menanggung akibatnya.”

“Terima kasih, Tabib Rama. Saya bersumpah tidak akan bilang ke siapa pun,” ucap Gunawan dengan wajah pucat.

“Baik, Pak Agus. Boleh kita tukaran nomor HP? Supaya komunikasi lebih gampang ke depannya.” tanya Rama.

“Oiyaaa, saya sampai lupa! Tentu saja harus tukeran nomor!” kata Pak Agus sambil tertawa canggung.

Beberapa saat kemudian, setelah Rama menyimpan nomor itu, ia berkata, “Kalau begitu, saya pamit dulu.”

"Anak Muda yang terhormat, tunggu sebentar!” seru Pak Adi, buru-buru melangkah maju. “Nak, Saya ini sudah menderita karena cedera meridian selama bertahun-tahun. Bolehkah saya memohon padamu untuk mengobati saya juga? Syarat apa pun, sebut saja. Kalau saya mampu, saya pasti penuhi.”

“Tidak hari ini,” jawab Rama. “Saya sudah menguras tenaga cukup banyak untuk menyembuhkan Pak Agus. Mungkin lain waktu saja. Suruh Si Gunawan menghubungi saya nanti. Saya pergi dulu.”

Setelah berkata demikian, Rama langsung pergi tanpa menoleh lagi.

Begitu Rama menghilang dari pandangan, wajah Pak Agus langsung berubah gelap dan murka. Ia melotot pada Gunawan yang masih berdiri dengan tubuh gemetar.

“Wawan, kamu ini tolol banget! Bukankah kamu bilang menantu Keluarga Ningrum itu orang tak berguna? Kamu hampir saja menyeret seluruh keluarga kita ke dalam bencana!”

“A-ayah, Aku benar-benar tidak tahu kalau dia sehebat itu… Kalau Aku tahu, jangankan satu, seratus nyali pun Aku takkan berani macam-macam,” kata Gunawan dengan suara ketakutan.

“Okee..Syukurlah tidak terjadi apa-apa kali ini. Tapi ingat baik-baik! Jangan pernah dekati Si Ayu lagi. Bahkan makhluk tertinggi mana pun takkan bisa menyelamatkanmu kalau kamu melanggarnya!” bentak Pak Agus dengan suara penuh tekanan.

Pak Adi yang ada di dekat situ juga menimpali dengan nada berat:

“Nak Gunawan, Rama itu bukan orang biasa. Kalau dia sudah menyuruhmu tutup mulut, maka tutuplah. Atau akibatnya akan lebih mengerikan dari yang bisa kamu bayangkan.”

**

Di luar, Rama berjalan santai sambil makan camilan ringan, menyesuaikan waktunya agar tiba tepat ketika Ayu selesai bekerja di kantornya.

Setelah menunggu cukup lama di depan gedung perusahaan, akhirnya Ayu keluar. Tapi ia tidak sendirian. Di sebelahnya berjalan seorang wanita lain.

Wanita itu tinggi dan ramping, dengan bibir merah merona dan senyum yang memancarkan pesona. Meski kecantikannya tidak setara dengan Ayu, tapi jelas sangat memikat.

“Ayu, suamimu jemput juga? Tumben banget,” kata wanita itu dengan tawa kecil.

“Yana, jangan Rese,” jawab Ayu santai.

"Ya sudah, aku pulang duluan ya."

Yana melambaikan tangan, lalu pergi dengan langkah anggun dan pinggul bergoyang manja.

Melihat itu, Rama langsung mendekat, “Sayang, mobilmu masih di bengkel ya?”

“Jangan panggil aku sayang. Iya, mobilku belum selesai, tapi bukan berarti kamu harus jalan kaki jemput aku,” kata Ayu dingin.

“Istriku tercinta, soal proyek HAR, tadi aku mampir ke rumah Keluarga Hartono. Besok kamu bisa follow-up lagi, kemungkinan besar kontraknya bisa kamu teken,” ucap Rama sambil tersenyum.

“Serius?” Ayu terlihat terkejut. “Kok bisa? Semudah itu?”

"Aku cuma ngobrol sebentar tadi. Keluarga Hartono cukup terbuka kok. Kamu tinggal telepon mereka malam ini juga bisa langsung tahu,” jawab Rama santai.

“Kalau memang nggak bisa bantu, ya udah. Tapi jangan ngaku-ngaku bisa atasi semuanya. Kayak anak kecil aja.”

Ayu melangkah pergi dengan sepatu hak tingginya, wajahnya tetap cuek.

Rama hanya tersenyum tipis dan berjalan mengikuti dari belakang. Mereka lalu memesan taksi dan pulang ke rumah.

Begitu sampai di rumah, Bu Heni, yang sedang selonjoran di sofa sambil main HP, langsung berseru, “Rama, ke dapur sana! Cuci sayur sekalian cuci piring!”

Kalau dulu, Rama pasti langsung menurut tanpa banyak bicara.

Tapi sekarang, Rama sudah tidak mau lagi diperlakukan seperti anjing yang selalu disuruh-suruh.

"Bu, aku lagi kurang enak badan. Aku nggak mau nyuci dulu," kata Rama pelan.

Alis Bu Heni langsung terangkat, menandakan ketidaksukaannya. “Kalau begitu, kamu masih mau makan atau nggak? Kalau nggak, ya jangan makan sekalian! Biar kamu nggak usah ngapa-ngapain juga.”

"Ya sudah," jawab Rama singkat, lalu langsung menjauh dan naik ke atas, kembali ke kamarnya.

Itu adalah pertama kalinya dia berani membela dirinya sendiri sejak tinggal di keluarga Ningrum.

Bu Heni terdiam sesaat, lalu marah besar. “Anak nggak tahu diri ini, sudah berani melawan sekarang? Ayu, bawa dia ke sini sekarang juga! Mau makan atau nggak, dia tetap harus kerja. Kalau nggak mau, ya keluar saja dari rumah ini. Dia malah bikin repot semuanya!”

“Bu, Rama baru saja siuman dan belum pulih betul. Mungkin dia memang lagi nggak enak badan. Tapi soal sikapnya, iya… memang kurang ajar. Nanti aku omongin,” kata Ayu, mencoba meredakan suasana.

“Ayu, ibu nggak mau kamu buang-buang waktu lagi buat si Rama itu. Udah saatnya kamu mulai dekatin Gunawan. Cari cara buat deal sama dia, Pepet terus, biar urusan ini cepat kelar. Gimana menurut kamu?”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!