Mati sebelum kematian, itulah yang dirasakan oleh Jeno Urias, pria usia 43 tahun yang sudah lelah dengan hidupnya. keinginannya hanya satu, mati secara normal dan menyatu dengan semesta.
Namun, Sang Pencipta tidak menghendakinya, jiwa Jeno Urias ditarik, dipindahkan ke dunia lain, Dunia Atherion, dunia yang hanya mengenal kekuatan sihir dan pedang. Dunia kekacauan yang menjadi ladang arogansi para dewa.
Kehadiran Jeno Urias untuk meledakkan kepala para dewa cahaya dan kegelapan. Namun, apakah Jeno Urias sebagai manusia biasa mampu melakukannya? Menentang kekuasaan dan kekuatan para dewa adalah hal yang MUSTAHIL bagi manusia seperti Jeno.
Tapi, Sang Pencipta menghendaki Jeno sebagai sosok legenda di masa depan. Ia mendapatkan berkah sistem yang tidak dimiliki oleh siapa pun.
Perjalanan panjang Jeno pun dimulai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ex_yu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30. Eleanor Cedric Guinevere.
Bab 30. Eleanor Cedric Guinevere.
Angin Gunung Sesat menampar wajah dengan kejamnya ketika Rinka, Ren, Kael, Toma, dan Doru bergegas menuruni lereng berbatu. Napas mereka terengah dalam udara tipis, namun langkah mereka tidak pernah goyah. Sikap disiplin yang telah diasah melalui puluhan misi berbahaya telah mengubah kelelahan menjadi kekuatan untuk bertahan hidup.
Namun yang membuat mereka berlari bukanlah ketakutan biasa, tapi aura sihir yang baru saja mereka rasakan dari arah gua, gelombang kekuatan yang begitu dahsyat hingga membuat realitas itu sendiri bergetar dan masih terasa di kulit mereka. Itu adalah kekuatan Jeno Urias, namun bukan lagi sosok manusia yang mereka kenal. Ini adalah sesuatu yang lain, sesuatu yang lebih fundamental dan mengerikan.
"Apa kalian tidak merasa, setiap kali kita bertemu Jeno, kekuatannya semakin kuat?" bisik Kael, suaranya nyaris hilang tertelan angin.
Rinka tidak menjawab. Ia tidak bisa. Bagaimana menjelaskan perasaan bahwa mereka baru saja menyaksikan sosok pria muda yang sangat kuat, padahal usianya tidak jauh berbeda.
Ketika kaki mereka akhirnya menyentuh dataran rendah Lembah Lethe, pandangan mereka tertumbuk pada pemandangan yang membuat lima petualang veteran itu terdiam dalam keterkejutan yang mendalam.
Di kejauhan, berkibar bendera dengan kemegahan yang menyakitkan mata, bendera emas-ungu Kerajaan Lumina. Bukan sekadar sehelai kain, bendera itu adalah simbol kekuasaan yang telah menindas hidup mereka selama bertahun-tahun, kini muncul di tempat yang seharusnya tidak dikunjungi oleh para bangsawan.
"Sial," umpat Ren, gigi taringnya bergemeretak. "Dari semua waktu dan tempat..."
------
Di jantung formasi militer yang megah itu, duduk dalam gerbong kereta mewah yang dihiasi ukiran emas dan berlapis perlindungan sihir berlapis-lapis, Putri Eleanor Cedric Guinevere menatap lurus melalui tirai sutra yang tertutup. Wajahnya, yang telah menjadi legenda kecantikan di seluruh wilayah Kerajaan Lumina, kini keras seperti marmer yang dipahat dengan kemarahan.
Kedua tangannya terkepal begitu erat di atas lutut hingga buku-buku jarinya memutih, namun postur tubuhnya tetap tegak dengan keangkuhan seorang yang dilahirkan untuk memerintah. Ini bukan lagi gadis muda yang pernah bermimpi tentang keadilan dan kebenaran, ia adalah pewaris tahta yang telah belajar bahwa kekuasaan adalah satu-satunya kebenaran yang benar-benar penting.
Di sisinya, Amelia Silverleaf duduk dengan gelisah yang tidak bisa disembunyikan. Penyihir Agung Tingkat 3 dari Akademi Royal Arcana itu baru saja selesai menuturkan versinya tentang pertemuan dengan Jeno Urias di Kota Velden: sebuah narasi yang telah ia manipulasi dengan keterampilan seorang diplomat veteran.
Tentu saja, ia tidak menyebut kekalahan yang menghancurkan harga dirinya. Yang ia tekankan adalah betapa "luar biasa" dan "menakjubkan" kekuatan pemuda itu, bagaimana Jeno mengalahkan Arbelista sang Kesatria Suci di arena hanya dengan satu serangan, yang bahkan tidak bisa dijelaskan oleh hukum sihir yang ia pelajari selama ini.
Dengan kecerdikan yang licik, Amelia bahkan menyalahkan Viconia dari Kerajaan Greaves atas kematian Arbelista, mengalihkan tanggung jawab dari Jeno kepada rival politik mereka.
Mendengar nama musuh lama itu disebut, mata biru Eleanor menyipit dengan kebencian yang telah mengakar selama bertahun-tahun. "Arbelista adalah tanggung jawab Count Levis dari Kota Emerdan," gumamnya dengan suara yang dingin seperti es musim dingin. "Namun jika pemuda bernama Jeno itu berani menolak tawaran murah hati Kerajaan Lumina..."
Ia tidak menyelesaikan kalimatnya, namun ancaman tersirat dalam setiap kata yang tidak terucap. Kekuasaan tidak mengenal penolakan, hanya mengenal kata kepatuhan atau kehancuran.
"Kita akan merekrutnya secara paksa," lanjutnya dengan nada yang seolah membicarakan cuaca. "Atas nama Ayahanda, tentu saja."
Di barisan depan pasukan yang menunggangi kuda berjumlah lima ratus prajurit elite, dua sosok menunggangi kuda putih dengan aura otoritas yang tak tergoyahkan. Sir Kaiden Volmer, Kesatria Suci yang telah mengabdikan hidupnya untuk Kerajaan Lumina, membawa tombak sihir yang bercahaya putih seperti bintang yang jatuh ke bumi. Setiap langkahnya meninggalkan jejak cahaya samar, tanda dari berkat ilahi yang mengalir dalam nadinya.
Di sisi kirinya, Lady Mireille du Veigne menunggangi kuda putih dengan keanggunan mematikan seorang aristokrat yang dilahirkan dengan pedang di tangan. Zirah ringan berwarna perak-merah miliknya berkilau seperti darah yang dicampur moonlight, sementara pedang pendek yang menggantung di pinggangnya bergetar dengan antisipatif akan pertumpahan darah.
Mereka berdua adalah representasi sempurna dari kekuatan Kerajaan Lumina, kombinasi antara fanatisme religius dan keangkuhan bangsawan yang telah ditempa dalam puluhan pertempuran.
Tiba-tiba, Sir Kaiden mengangkat tangan kirinya, gesture sederhana yang langsung menghentikan seluruh pasukan di belakangnya. Di hadapan mereka, Tim Serigala Pemburu berdiri dengan postur yang siap untuk melarikan diri kapan saja.
Lady Mireille melangkah ke depan dengan gerakan yang mengalir seperti predator yang mengejar mangsa. Mata hijau cerahnya menatap Rinka dengan intensitas yang bisa membakar lubang di dinding batu.
"Identifikasi diri kalian," perintahnya dengan suara yang tajam seperti bilah pedang yang baru diasah. "Dan jelaskan apa keperluan kalian memasuki wilayah Lembah Lethe yang telah dinyatakan sebagai zona operasi militer tingkat bahaya maksimal."
Rinka memberikan hormat singkat, bukan karena rasa hormat yang tulus, tetapi karena survival insting yang telah dipelajarinya selama bertahun-tahun berinteraksi dengan bangsawan arogan. "Kami baru saja menyelesaikan misi investigasi atas perintah Serikat Petualang," katanya berbohong dengan suara yang stabil meskipun jantungnya berdegup seperti drum perang. "Namun di dalam gua, kami melihat ada tiga ekor Skorax Wyvern yang tidak seharusnya ada di wilayah ini."
Ia berbohong dengan keahlian seorang yang telah belajar bahwa kebenaran seringkali adalah kemewahan yang tidak bisa mereka beli. Yang sebenarnya terjadi adalah mereka diajak oleh Jeno Urias dalam perburuan, yang kini berubah menjadi sesuatu yang jauh melampaui pemahaman mortal biasa.
Sir Kaiden dan Lady Mireille saling bertukar pandangan, tatapan komunikasi silent yang hanya bisa dilakukan oleh partner yang telah bertempur bersama dalam ratusan pertempuran. Wajah mereka menunjukkan keterkejutan, karena laporan intelijen terakhir tidak menyebutkan keberadaan Skorax Wyvern dalam jumlah tersebut.
Namun sebelum mereka bisa melanjutkan interogasi, langit tiba-tiba menjadi gelap. Kemudian suara raungan yang membuat tulang bergetar bergema dari langit, suara yang tidak pernah dimaksudkan untuk didengar oleh telinga manusia. Puluhan ekor Wyvern muncul dari arah barat seperti awan hitam yang bergerak, menyelimuti langit sore dengan bayangan kematian yang mendekat.
"Formasi pertahanan!" Sir Kaiden berteriak dengan suara yang bisa membangunkan orang mati. "Lindungi Putri Eleanor! Siap serang dengan formasi berlian!"
Seluruh pasukan bergerak dengan presisi yang telah diasah melalui latihan tak terhitung, pergerakan mereka seperti mesin perang yang sempurna yang kini menghadapi tantangan hidup dan mati.
Lady Mireille dan Sir Kaiden berlari kembali ke tengah formasi, memberikan laporan kilat kepada Putri Eleanor dan Amelia Silverleaf bahwa jumlah Wyvern jauh melampaui estimasi laporan intelijen terakhir.
Amelia turun dari kereta dengan gerakan yang anggun namun penuh kemarahan, kemarahan seorang yang merasa permainannya diganggu oleh monster-monster bodoh. Putri Eleanor menyusul dengan zirah Paladin-nya yang berkilauan seperti matahari terbit, setiap lempeng logam yang melekat di tubuhnya memancarkan aura sihir ilahi yang membuat udara bergetar.
Namun ketika mereka melihat jumlah sebenarnya dari kawanan yang mendekat, ekspresi percaya diri mereka berubah menjadi kewaspadaan yang menusuk. Ini bukan serangan acak, ini adalah koordinasi yang menunjukkan kecerdasan yang tidak seharusnya dimiliki oleh beast biasa.
Di tengah kekacauan persiapan pertempuran itu, Rinka dan timnya terpaku dalam keterkejutan yang menyakitkan ketika mereka mengenali sosok Amelia Silverleaf yang berdiri di samping Putri Eleanor. Ingatan tentang pengejaran obsesif penyihir itu terhadap Jeno, seperti seorang wanita yang jatuh cinta namun dibalas dengan penolakan, dan masih segar dalam pikiran mereka.
Mata mereka saling bertemu dalam sebuah komunikasi silent yang penuh dengan amarah yang telah mengendap selama bertahun-tahun. Kerajaan Lumina telah mengambil terlalu banyak dari mereka: keluarga, rumah, masa depan. Dan sekarang, bahkan tempat pelarian terakhir mereka pun dikotori oleh kehadiran mereka.
"Ayo pergi," bisik Kael dengan suara yang hampir tidak terdengar, namun penuh dengan urgensi yang tidak bisa diabaikan. "Sebelum mereka mengenali kita."
Namun langkah mereka dihentikan oleh suara otoritas Sir Kaiden yang memotong udara seperti cambuk. "Tunggu sebentar. Siapa yang memberikan izin kalian untuk memasuki wilayah operasi militer?"
Rinka merasakan keringat dingin mengalir di punggungnya, namun sebelum ia bisa merumuskan jawaban yang aman, Ren, pria dari suku Darewolf menjawab dengan nada santai yang berbahaya, tapi ketenangannya seperti predator yang sedang memutuskan: apakah mangsa di hadapannya layak untuk dimakan atau tidak.
"Kami hanya menjalankan misi investigasi rutin dari Serikat Petualang," katanya dengan senyuman yang tidak mencapai mata. "Tidak lebih dari itu."
Sir Kaiden tampaknya tidak terlalu tertarik untuk mendalami masalah ini lebih lanjut. Mungkin ia menganggap mereka tidak lebih dari petualang kelas menengah yang tidak perlu diperhitungkan, tapi sikapnya yang sombong adalah kesalahan penilaian yang akan ia sesali di kemudian hari.
Namun saat Tim Serigala Pemburu hendak melangkah pergi, Amelia Silverleaf menghentakkan tongkat sihirnya ke tanah dengan kekuatan yang membuat bebatuan di sekitarnya retak. Matanya yang hijau emerald menyala dengan intensitas yang mengerikan, ia ingat betul wajah-wajah mereka dari pertemuan di Kota Velden.
Cahaya biru yang tidak alami menyala di bola kristal pada ujung tongkatnya, sebuah manifestasi kekuatan yang membuat langkah Tim Serigala Pemburu terhenti secara refleks. Ini bukan sekadar pertunjukan, ini adalah ancaman yang sangat nyata.
"Rinka," suara Amelia keluar dingin seperti es yang baru terbentuk, setiap kata mengandung racun yang bisa melumpuhkan. "Apa kau bertemu dengan Jeno Urias?"
Pertanyaan itu menggantung di udara seperti pedang yang siap jatuh. Rinka berusaha mempertahankan ketenangan, meskipun jantungnya berdegup begitu keras hingga ia yakin seluruh pasukan bisa mendengarnya.
"Ya," jawabnya dengan suara yang stabil, sebuah prestasi acting yang luar biasa mengingat situasinya. "Dia masih di dalam gua raksasa itu. Kami baru saja keluar karena... situasi menjadi terlalu berbahaya."
Ia menunjuk ke arah gua yang terletak dekat dengan puncak Gunung Sesat, tempat di mana mereka meninggalkan Jeno dalam pertempuran yang mungkin akan mengubah nasib dunia.
Dalam sekejap, transformasi terjadi di wajah Amelia. Senyum cerah yang muncul di wajah cantiknya yang biasanya galak adalah sesuatu yang mengerikan untuk disaksikan, seperti matahari terbit di atas medan pembantaian.
"Sempurna," katanya dengan nada yang penuh kepuasan. "Kau akan mengantarku ke sana. Sekarang."
Itu bukan permintaan, itu adalah perintah dari seseorang yang tidak pernah mendengar kata 'tidak' dalam hidupnya.
Dalam hati, seluruh tim Rinka mengumpat dengan kata-kata yang akan membuat setan tersipu malu. Namun sebelum mereka sempat merumuskan penolakan yang diplomatik, raungan Wyvern semakin dekat, dan langit menjadi gelap dengan bayangan sayap-sayap raksasa.
Pertempuran pun pecah dengan keganasan yang membuat tanah bergetar.
Pasukan Kerajaan Lumina bergerak dengan presisi militer yang sempurna, membentuk formasi berlapis yang melindungi bagian tengah di mana kereta dan bangsawan berada. Amelia Silverleaf meluncur ke udara dengan bantuan sihir es, tubuhnya bergerak seperti penari kematian yang meluncurkan tombak-tombak es yang mematikan kepada setiap Wyvern yang berani mendekat.
Putri Eleanor, dengan pedang yang menyala dengan cahaya divine magic, bergerak seperti avatar perang itu sendiri. Setiap ayunan pedangnya memotong leher Wyvern dengan presisi yang mengerikan, darah monster-monster itu membasahi zirah emasnya hingga ia tampak seperti dewi perang yang baru bangkit dari neraka.
Di tengah kekacauan yang indah dan mengerikan itu, Rinka dan timnya melihat peluang emas.
"Sekarang!" seru Toma dengan suara yang nyaris tenggelam dalam dentuman pertempuran.
Tanpa ragu-ragu, mereka berlari dengan kecepatan yang telah diasah melalui bertahun-tahun hidup dalam pelarian. Dalam hitungan detik, mereka telah melesat keluar dari medan tempur.
Namun saat mereka berlari, Rinka tidak bisa mengabaikan perasaan bahwa ini bukan akhir, ini hanya permulaan dari sesuatu yang jauh lebih besar dan lebih mengerikan dari yang pernah mereka bayangkan. Naluri yang tajam, memintanya untuk menunggu Jeno.
Situ Sehat ??!